Antarina SF Amir, Meneruskan Perjuangan Ki Hajar Dewantara

Keprihatinan terhadap sistem pendidikan Indonesia mendorongnya untuk mendirikan HighScope Indonesia. Lewat sekolah tersebut, peraih gelar MBA dari Pittsburgh University, Pennsylvania, Amerika Serikat ini ingin mencetak manusia yang tidak hanya pintar melainkan juga kreatif, berpikir kritis dan berkarakter kuat.

Dunia pendidikan nampaknya bukan hal yang asing bagi Antarina SF Amir. perempuan yang lahir 8 Juni 1962 ini merupakan cucu dari Tokoh Pejuang Pendidikan Indonesia, Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama Ki Hajar Dewantara. Tidak salah jika keluarga besar Antarina sangat mencintai bidang pendidikan terutama ibunda tercinta, Suwarmilah Surjaningrat.

“Ibu pernah bilang untuk pendidikan apapun akan diusahakan,” kenang bungsu dari tiga bersaudara yang mengaku sejak kecil sangat gemar belajar. Ketertarikannya pada dunia pendidikan diawali saat lulus dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia jurusan Akutansi pada tahun 1985 dan sempat menjadi asisten dosen di almamaternya. Didorong oleh keinginan untuk mandiri dan meninggalkan kenyamanan atas berbagai fasilitas yang diberikan keluarga, Antarina mulai mencari beasiswa ke Negeri Paman Sam. Pencariannya berbuah manis, Antarina diterima di Clarion University of Pennsylvania. Pada tahun 1988, ia kemudian melanjutkan Master of Business Administration dan Master of Science di University of Pittsburgh, Pennsylvania, Amerika Serikat.

Ketika studi di negeri Barack Obama itu, mata Antarina seolah terbuka lebar soal adanya dua paradigma sistem pendidikan. Seorang profesor yang mengajarnya mengatakan bahwa sistem pendidikan tradisional mengajarkan gambar bunga harus selalu merah dan daun berwarna hijau.

Profesor itu pun membacakan sebuah puisi karya Harry Chaplin berjudul Flowers are Red, yang mengisahkan tentang seorang anak yang depresi gara-gara tidak boleh menggambar bunga dengan warna lain. Otomatis, kehidupan anak itu pun terbentuk statis. “Nah, sistem pendidikan seperti itu sangat tidak mendorong kreativitas, ambition, curiousity, sense of adventure dan sebagainya,” terang Antarina.

Tragisnya, pengalaman memilukan dari cerita tersebut justru pernah dialami Antarina. “Selama belajar di sekolah sejak TK hingga kuliah di Indonesia, saya mengejar nilai yang bagus text book dan selalu mengikuti kata guru. Ternyata dalam dunia nyata itu tidak cukup. Banyak masalah yang harus kita hadapi sendiri tanpa didampingi guru dan saya merasa bodoh saat menyadari itu,” katanya menyesal.

Sekembalinya ke Tanah Air tahun 1990, Antarina seperti biasa tetap menjalankan rutinitasnya dengan tetap mengajar di UI dan STEKPI sekaligus bekerja sebagai konsultan. Saat itu ia melihat bahwa Indonesia masih menganut sistem pendidikan tradisional. Maka batinnya pun bergejolak dan ingin mengupayakan sistem pendidikan yang lebih kontruktivis.

Pada tahun 1994, Antarina yang hendak menyekolahkan anaknya mendengar di radio tentang sebuah sekolah bernama HighScope yang berpusat di Amerika dan memiliki filosofi kreativitas. Di situ sang penyiar membacakan puisi Flowers are Reds. Tanpa berpikir dua kali, Antarina langsung memburu info tentang sekolah itu dan bermaksud menyekolahkan anaknya di situ. Sayang, entah mengapa, HighScope yang berada di Jalan Theresia Jakarta itu baru satu tahun berdiri sudah ditutup.

Didorong oleh keingintahuan yang besar soal sistem pendidikan yang diterapkan HighScope, akhirnya Antarina melancong ke Singapura. Saat itu HighScope ada yang berada di Singapura walapun pusatnya tetap di Amerika. “Saya langsung ke Singapura untuk minta izin membuka sekolah itu lagi,” papar Antarina. Permohonan ijin pun akhirnya berhasil dikantonginya. Tepat pada 12 Agustus 1996 bersama ketiga teman, Antarina mendirikan sekolah untuk tingkat pra-sekolah atau ECEP (Early Childhood Educational Program).

Melihat kemajuan yang begitu pesat dalam waktu 15 tahun, Antarina mengakui bahwa dalam menjalankan HighScope bukan hanya sebagai panggilan hidup semata akan tetapi unsur Lihat Daftar Tokoh Pengusaha bisnisnya tetap ada. Tidak ada Lihat Daftar Tokoh Pengusaha bisnis yang sukses tanpa dicintai pemiliknya.

Antarina memulai dengan dana seadanya dimana setiap orang diharuskan menyetor uang sekitar Rp125 juta yang dipergunakan untuk membayar tempat, sumber daya manusia dan membeli peralatan sekolah. “Perlengkapan anak-anak bermain dan belajar di kelas semuanya baru.

Akan tetapi untuk perlengkapan di kantor saya dan teman-teman tidak ada yang baru, malahan banyak barang rumah kami bawa ke kantor, misalnya bangku plastik,” ucap Antarina. Awalnya, sekolah yang berlokasi di sekitar bilangan Pondok Indah Jakarta tersebut hanya memiliki murid berjumlah delapan orang. Tapi, di luar dugaan, setelah enam bulan berjalan, muridnya membludak menjadi 100 orang bahkan masuk dalam daftar tunggu.

Ditinggal Teman
Saat tengah asyik membuka jalan bagi pengembangan HighScope, istri Faried Amir ini perlahan-lahan ditinggalkan tiga temannya yang beralih ke kesibukan baru dan otomatis usahanya tersebut dipegangnya sendirian. Maka bisa dimaklumi jika ibu 4 putra ini mengalami stres akibat ditinggal teman-temannya itu.

Beruntunglah, kesedihan Antarina tidak sampai berlarut-larut. Ia justru dapat mengambil nilai positif di balik kejadian tersebut sebab konflik di antara rekanan dan SDM adalah hal yang wajar dan bagian dari proses penyesuaian hubungan personal ke arah bisnis profesional. Tidak hanya konflik internal dalam kurun 1996-1998 yang dirasakannya, banyak pihak di luar HighScope memandang sebelah mata bisnis yang dirintisnya.

Pada tahun 1999, Antarina meminta lisensi langsung HighScope dari Amerika. Setelah permintaannya dikabulkan, setahun kemudian Antarina mengembangkan HighScope dengan mengedepankan cara pembelajaran aktif (active learning).

Para siswa diarahkan aktif menyerap pelajaran akademik dan pembelajaran hidup melalui kegiatan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi (plan – do – review). Selain itu, HighScope juga membekali anak didiknya dengan pembentukan karakter dalam tumbuh kembangnya dimana siswa diarahkan aktif mengenal lingkungan dan budaya sekitar sehingga mampu menghargai toleransi dan mengenal indahnya perbedaan.

Berkat bantuan dari berbagai jaringan yang dimiliki baik melalui teman, konsultan hingga suami tercinta, HighScope perlahan-lahan membuka beragam kelas dimulai dari program prasekolah dan taman kanak-kanak untuk usia 1,5 tahun – 5 tahun.

Kini HighScope telah berkembang pesat dan tersebar di berbagai daerah. Keuntungan diperoleh bisa lebih dari Rp10 milyar per tahun. Dana yang didapatkannya itu diputar terus guna memperkuat kualitas SDM dan fasilitas. Tidak tanggung-tanggung, HighScope rela merogoh kocek Rp2 milyar per-tahun untuk membiayai penelitian dan pengembangan pendidikan.

Melihat kemajuan yang begitu pesat dalam waktu 15 tahun, Antarina mengakui bahwa dalam menjalankan HighScope bukan hanya sebagai panggilan hidup semata akan tetapi unsur bisnisnya tetap ada. Tidak ada bisnis yang sukses tanpa dicintai pemiliknya.

Kurikulum HighScope Indonesia yang dipegangnya saat ini dimulai pada tahun 1974 di Amerika Serikat namun baru dibawa ke Indonesia sekitar 22 tahun kemudian itu memiliki prinsip, “Ilmu anak seharusnya lebih tinggi dari orang tua. Seorang Bill Gates tidak mampu menciptakan karya besar kalau ilmunya di bawah orangtuanya.” Dan Antarina SF Amir berusaha menepis pendidikan anak sebagai pemuas ego orangtua apalagi tuntutan negara. Indonesia membutuhkan pembangunan karakter bukan perayaan label-label kecerdasan. Karena hingga saat ini, pendidikan Indonesia dianggapnya masih mengadopsi metode tradisional dan hanya memfokuskan unsur-unsur akademis.

Biaya pendidikan yang dipatok HighScope yang lumayan mahal juga kerap mendapat pertanyaan. TK B hingga kelas 5 dipatok sebesar Rp2,65 juta. Sementara kelas 6 sampai 9 sebesar Rp. 2,9 juta, biaya itu di luar biaya masuk (enrollment fee) yang berkisar Rp. 15 juta hingga Rp. 70 juta tergantung pendidikan yang dipilih. Menurut Antarina, “Jangan dilihat HighScope itu bagian dari kapitalis karena terkesan mahal. Tapi, lihatlah perjuangan kami untuk memajukan pendidikan Indonesia. Kami selalu mencetak SDM yang tidak hanya pintar melainkan juga berkarakter kuat.

Alasannya cukup masuk akal jika melihat kelas lanjutan sekolah atau biasa disebut K-5 untuk anak usia 6-12 tahun. Siswa diarahkan menjadi pemimpin berinisiatif tinggi dan memiliki keahlian dasar. Di kelas middle school (kelas 6-9) kemampuan analitis siswa dikuatkan. Siswa dibiarkan aktif mengembangkan ide, diujicobakan, untuk kemudian dianalisa dan dipaparkan di depan umum. Intinya, penekanan pada kekuatan kemandirian dan keterbukaan pikiran serta percaya diri dalam menghadapi segala situasi. Begitu pula di high school (kelas 10-12), siswa diberi penguatan untuk bisa menganalisa potensi dan kelemahannya untuk menghadapi dunia kuliah.

Merunut pada konferensi tahunan ke-65 gelaran ASCD (Association for Supervision Curriculum Development) tahun 2010 di Texas, Amerika Serikat dengan tema Critical Transformation, Antarina mengatakan bahwa pendidikan sudah memanfaatkan teknologi dimana anak-anak merupakan penduduk asli digital.

Yang menarik, Vietnam mengalami perkembangan yang cukup pesat dalam menyiapkan manusia abad 21 sehingga layak mendapat perhatian dari Amerika Serikat selain China, India, Brasil dan Rusia. Bagi Antarina sendiri, masuknya Vietnam cukup mengejutkan. Pasalnya, dilihat dari kemajuan negaranya, Indonesia jauh lebih baik. Tapi kelemahan Indonesia adalah masih berputar-putar pada ragam konflik akibat tidak siap menerima perbedaan. “Itu masalah besar kita. Minim respek plus minim kebiasaan berpikir yang benar. Itu mesti dibenahi,” tegasnya.

Visi Besar Pendidikan
Ia pun menuturkan mengenai visi besar pendidikan ialah bagaimana membentuk manusia kreatif, berpikir kritis dan berkarakter kuat. Perempuan yang mengaku hobi belajar ini semakin percaya bahwa karakter dibangun oleh lingkungan. “Contohnya begini, di sekolah anak diajari untuk taat aturan. Tapi di luar mereka melihat orang begitu mudah melanggar aturan, seperti itu kan susah,” tukasnya.

Atas dasar itulah, Antarina mulai dari sekolah yang dirintisnya. Pandangan bahwa lingkungan bisa mempengaruhi karakter, ia balik. “Saya ingin membuat budaya di sekolah sangat kuat yang dibangun oleh lingkungannya. Jadi di luar sekolah, individu itu justru dapat mempengaruhi lingkungan di luar,” imbuhnya.

Antarina juga menyoroti soal kurikulum yang ditetapkan oleh pemerintah tidak memadai terutama soal ujian nasional (UN). “Saya ingin sekali membuat penelitian kegunaan ujian nasional itu. Karena yang ada malah mendorong orang untuk tidak jujur mengerjakan,” ungkapnya berapi-api sebagaimana dikutip dari situs Media Indonesia.

Padahal menurutnya, tidak banyak anak dengan kemampuan intelegensia istimewa dan tinggi. Jumlahnya taksir Antarina hanya sekitar 20%. Nah yang 80% itu mesti diurusi pemerintah agar mereka lebih mengekplorasi kemampuan lain di bidang-bidang kreatif. Bukan dipaksa untuk mengejar pencapaian akademik melalui UN.

Untuk itu, ujian bagi anak didik tidak cukup hanya berpegang pada satu sisi, yaitu kemampuan akademik mereka yang hanya dibuktikan dengan angka-angka. Antarina mengatakan, bahwa kewajiban pendidik memberikan ujian kepada anak didiknya harus didasarkan pada dua hal, yaitu kemampuan analisa dan soft skills.

“Apakah anak didik sudah mampu menganalisis setiap materi yang diberikan oleh si guru dan apakah dia bisa menceritakan kembali berdasarkan kemampuan analisanya tentang materi itu kepada orang lain, baik itu temannya maupun gurunya, itulah yang harusnya diujikan,” kata Antarina.

Dia menambahkan, dengan cara itulah evaluasi kemampuan anak didik lebih bisa dipertanggungjawabkan, baik kepada sekolah, orangtua murid, maupun anak didik itu sendiri. Siswa tidak perlu membohongi diri sendiri dengan berbuat curang atas nilai-nilai yang pantas diraihnya. Pendidik pun bisa mengerti sejauh mana anak didiknya menyerap materi.

Pernyataan Antarina ini didasari dari pengalaman di HighScope dan pengalaman mengujungi berbagai konferensi pendidikan. Termasuk ke negara Meksiko demi mengetahui metode sekolah dwibahasa yang direkomendasikan pakar pendidikan.

Mengacu pada perkataan sang kakek, Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama Ki Hajar Dewantara tentang memerdekakan anak, “Anak harus dimerdekakan. Manusia mengisi sendiri pengetahuannya. Tugas pendidikan hanya sebatas fasilitator memberikan banyak pilihan dan mengeksplorasi. Bila kemampuan akademis anak kurang, pendekatannya harus diubah disesuaikan dengan kebutuhan anak.

Apakah ia lebih mudah menangkap pelajaran 1 dengan bergerak atau visual misalnya,” katanya seperti dikutip dari Media Indonesia. Namun, tak sedikit orangtua murid yang tidak sabar dengan pencapaian akademis anak-anak mereka. Padahal, orang sukses bukan semata karena kecerdasan intelektual. Yang perlu dibangun ialah kemandirian, kemampuan menyelesaikan masalah, mengambil keputusan, inisiatif dan menghargai barang dan menghormati sesama manusia. (tic)

Close Ads X
Close Ads X