Tri Mumpuni | “Hidup Sekali Hiduplah yang Berarti”

Tri Mumpuni bersalaman dengan Pangeran Charles

Tri Mumpuni1

Tri Mumpuni1
Siapa perempuan yang bisa menggugah warga desa untuk ”membuat” listrik murah dan menjualnya kepada PLN? Dialah Tri Mumpuni Wiyatno, insinyur pertanian lulusan Institut Pertanian Bogor. Hampir setiap waktu, perempuan itu selalu bergerak bak kutu loncat. Hari ini, ia bisa ada di Jakarta. Namun besok harinya, tak mustahil ia ada di sebuah desa terpencil di Sulawesi. Lain waktu, ia juga hadir dalam sebuah pesawat menuju Filipina, tapi lusa bisa jadi ia tengah berkuda menembus hutan untuk mencapai dusun terisolasi di Sumbawa.
”Tuntutan kerja memang menghendaki demikian, tapi saya nikmati kok,” katanya sembari tersenyum. Hidup Tri Mumpuni seolah tak mengenal kata lelah.

Pengabdiannya kepada masyarakat, terutama yang ada di desa-desa, memang luar biasa. Karena upaya dia dan kawan-kawanya di Ibeka (Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan), ratusan desa di seluruh Indonesia bisa menikmati cahaya listrik. Padahal, sebelumnya, tempat-tempat yang ”diterangkan” oleh Puni—panggilan akrab dia—adalah kawasan yang tak terjamah teknologi.

Tercatat sejak 1990-an, Puni aktif melakukan pemberdayaan masyarakat desa. Salah satu bentuk keberhasilannya adalah membuat pembangkit mikrohidro—pembangkit listrik air berkekuatan kecil namun ramah lingkungan– di Desa Curugagung, Subang, Jawa Barat.

”Saya dan para petani di sana, membuat itu dengan memanfaatkan Sungai Ciasem,” kata ibu dari dua putera itu.
Karena pembangkit listrik berkekuatan 13 kilowatt tersebut, 121 rumah di Desa Curugagung menjadi terang bederang. ”Padahal, modal awal hanya Rp 44 juta,” katanya.
Dari mana modal awal itu berasal? ”Hasil patungan para petani. Sisanya kami pinjam dari Bank Eksim,” ujar perempuan kelahiran Semarang 43 tahun lalu itu. Untuk mengembalikan modal awal, listrik kemudian dijual kepada warga setempat dengan harga Rp 300 kilowatt per jam.

Namun, baru empat tahun berjalan, tiba-tiba PLN memutuskan untuk masuk ke Curugagung. ”Padahal, sebelumnya mereka punya komitmen akan masuk ke Curugagung sepuluh tahun kemudian,” kata Puni.
Setelah ditelisik, penyebab terburu-burunya PLN datang ke sana, ternyata terkait dengan ambisi politik Bupati Subang saat itu. Dalam Pemilu 1997, bupati tersebut menginginkan partai politik yang ia dukung menang di Curugagung.
”Saya protes keras ke PLN dan pemerintah saat itu, tapi tak pernah digubris,” kenang direktur Ibeka itu.
Masuknya PLN ke sana, membuat hari-hari kelabu bagi Puni dan para petani yang mengelola pembangkit mikrohidro di Curugagung. Bisa dipastikan, hampir sebagian besar warga pindah ke listrik PLN yang harganya hanya Rp 112 kilowatt perjam.

Kenapa lebih murah? Jelas, menurut Puni, karena PLN mendapat subsidi yang sangat besar dari pemerintah. ”Jumlahnya bisa mencapai puluhan trilyun rupiah,” katanya.
Kecemasan kemudian melanda para petani. Mereka khawatir, dengan pindahnya sebagian besar pelanggan ke PLN, maka perusahaan listrik rakyat yang mereka kelola akan gulung tikar. Apalagi, mereka baru setengahnya menyicil utang ke bank.
”Saking stresnya, Pak Subarnas, petani yang ditugasi menjadi koordinator kami, jatuh sakit,” kata Puni dalam nada pelan.

Tiga hari setelah listrik PLN jalan, Subarnas pun akhirnya meninggal. Untuk menghilangkan kekhawatiran petani lainnya, akhirnya Puni pinjam sana-sini, termasuk meminjam uang pada mertuanya.
”Alhamdulillah, akhirnya utang ke bank lunas juga,” ujar istri dari Iskandar Budisaroso Kuntoadji itu.
Lantas, bagaimana nasib perusahaan listrik mereka? Tetap berjalan, kendati tanpa laba. ”Kami terpaksa menyesuaikan harga dengan listrik punya PLN.”

Namun bagi Puni, perjuangan tak mengenal kata henti. Dengan berbagai cara, dia terus berupaya agar listrik para petani itu dibeli oleh PLN. ”Tak jarang saya mendatangi langsung para pejabat di Jakarta,” ujarnya.
Namun, hasilnya tetap nihil. Perjuangan Puni bersama para petani Curugagung baru menemukan hasilnya saat pemerintahan Gus Dur. PLN akhirnya mau membeli listrik mereka dengan harga Rp432 kilowatt perjam. Tentu saja jika dibanding biaya rata-rata produksi PLN yang Rp1000 kilowatt per jam, harga tersebut jauh lebih murah.
Setelah sukses di Curugagung, Puni banyak diminta untuk membuat pembangkit listrik mikrohidro di berbagai daerah. ”Saat ini masih ada 34.000 desa di Indonesia yang pada malam hari gelap gulita,” kata peraih penghargaan Climate Hero 2005 dari World Widlife Foundation (WWF) International itu.
Untuk listrik rakyat itu, bersama suami tercinta, kadang ia harus menempuh medan yang liar dan sulit. ”Beberapa kali tidur di gubug pun pernah kami jalani,” katanya sambil tertawa. Tapi, seperti pengakuannya, ia iklhlas dan selalu bersemangat melakukan itu semua.

Membangun komunitas
Karena memegang prinsip listrik hanya alat untuk membangunkan potensi masyarakat desa, cara kerja Puni dan Iskandar adalah membangun komunitas, mengajak mereka menyadari pembangkit listrik itu milik mereka dan mereka harus memelihara bukan hanya turbinnya, tetapi juga keajekan aliran air sepanjang tahun.
“Awalnya, kami yang memang senang jalan-jalan ke desa melihat ada sungai yang alirannya bagus dan belum ada kabel listrik PLN lalu kami temui kepala desanya.”
“Kami tidak berani memberi harapan. Biasanya Mas Iskandar akan bilang, kebetulan dia diberi pengetahuan lebih untuk mengadakan listrik. Ibu ini—maksudnya saya—yang akan mencarikan uangnya,” kenang Puni. “Setelah itu saya akan cari uang ke mana-mana.”

Desa-desa yang mereka bantu biasanya terpencil. Salah satunya Dusun Palanggaran dan Cicemet, enklave di Gunung Halimun, Sukabumi, Jawa Barat, yang mereka terangi dengan listrik tahun 1997. Untuk mencapai tempat itu harus berjalan kaki sembilan jam atau naik motor yang rodanya diberi rantai sebab jalan setapaknya licin.
“Uang dari listrik dipakai membangun jalan berbatu yang bisa dilalui kendaraan four wheel drive. Ini membuka peluang membantu 10 dusun lain,” kata Puni.

Sebelum membangun pembangkit listrik, Ibeka selalu mengumpulkan data untuk melihat kemungkinannya secara teknis. Iskandar lalu membuat rencana teknik dan menghitung rencana anggaran biaya. Setelah itu tugas Puni “berjualan”.
“Yang banyak membantu kedutaan Jepang,” kata Puni.

Setelah dana ada, Ibeka lalu mengirim tim sosial yang biasanya tinggal mulai dua minggu sampai satu bulan di desa. Di sini proses membangun komunitas dimulai, saat masyarakat diajak berdialog.

“Kami akan mencari orang-orang berpengaruh di desa itu lalu membuat pertemuan dengan masyarakat di gereja bila komunitasnya Kristiani, di masjid kalau komunitasnya Muslim, atau di rumah adat seperti di Kalimantan,” kata Puni.
Masyarakat diminta membuat organisasi yang akan mengurus turbin, menentukan siapa ketua, bendahara, sekretaris, sampai orang yang bisa bongkar-pasang mesin sebagai operator. Mereka juga diajak menghitung biaya yang harus dibayar pelanggan sebagai dana abadi dan dana untuk memelihara pembangkit listrik itu.
“Ternyata orang desa nyambung diajak bicara hal-hal seperti itu,” kata Puni.

Ketika kemudian tim teknis tiba, mereka sudah tahu siapa operator turbin. Dia akan diajak ikut memasang turbin karena Ibeka selalu mengajak masyarakat bergotong royong membangun.

Kekecualian terjadi di Desa Krueng Kala, Kecamatan Lhoong, Aceh Besar. Menurut Puni, masyarakat di sana sama sekali tidak membantu karena mereka lelah setelah konflik berkepanjangan dan kemudian disapu tsunami pada 24 Desember 2004.
“Di sana tersisa hanya satu desa dengan 215 keluarga,” kata Puni. Lembaga swadaya internasional juga bertanggung jawab dengan membuat proyek Cash for Work.

“Orang dibayar Rp50.000-100.000 sehari untuk mengangkut batu dan membersihkan sampah di rumah mereka sendiri.”
Ketika enam bulan Puni kembali ke sana, hal tak disangka terjadi. “Kas desa terisi Rp 23 juta. Lalu ada aturan baru desa yang melarang menebang pohon apa pun dalam jarak 50 meter di kiri dan kanan sungai. Mereka menanam pohon buah-buahan supaya bisa dapat hasil dari buah itu. Padahal, sebelumnya sulit sekali menentukan uang langganan karena mereka merasa tidak punya uang.”
Sama-sama untung

Dalam sistem yang dibangun Ibeka, menurut Puni, bukan hanya masyarakat desa yang untung. PLN dan pemerintah juga untung.
Desa yang belum ada aliran listrik PLN (off grid) mendapat pemasukan dari uang langganan yang dibayar penduduk.
Di desa yang ada jaringan PLN, Ibeka menggunakan skema on grid yang menguntungkan dua pihak. “Kalau tidak salah ingat, pada 26 Desember 1999 ketika Pak Susilo Bambang Yudhoyono menjabat Menteri Pertambangan dan Energi saya menjelaskan agar sistem ini diterapkan di Indonesia,” kata Puni.
Rakyat tidak perlu terpinggirkan dalam pembangunan, bahkan punya dana abadi karena listrik yang menjadi aset desa dijual kepada PLN. “Ini bukan hanya capacity building, tetapi equity building karena kepemilikan rakyat sangat dihormati,” kata Puni.

PLN tidak perlu investasi. “Karena yang investasi rakyat dengan bantuan donor,” tambah Puni. “Sebenarnya pemerintah juga bisa investasi, tetapi saya tidak mengerti mengapa sampai sekarang tidak dilakukan.”
PLN menerima listrik bersih karena sumber energinya air, bukan bahan bakar fosil. Dari sisi teknis, di ujung-ujung jalur distribusi kualitas listrik PLN tetap terpelihara bila di ujung-ujung itu listrik PLN disuntik listrik rakyat.
Keuntungan untuk pemerintah, harga listrik mikrohidro lebih murah, Rp 425 dan Rp 432 per kWh. “Setahu saya listrik dari swasta dijual 6-7 sen dollar AS sebelum negosiasi,” kata Puni.

“Bila pemerintah sepakat membangun 500 megawatt listrik dari tenaga mikrohidro, lalu rata-rata satu pembangkit menghasilkan 100 kWh, berarti ada 5.000 pembangkit. Bila semua dijual ke PLN, ada pemasukan uang ke desa sebesar Rp1,29 triliun per tahun. Bayangkan ekonomi desa yang akan tumbuh karena itu.”
Bila pembangkit itu dioperasikan masyarakat, berarti ada 5.000-an usaha kecil di desa yang menyerap 39.000 tenaga kerja bila tiap pembangkit dioperasikan tiga-enam orang. Orang desa pun akan bertahan di kampungnya karena ada kegiatan ekonomi di sana.

“Penghematan bahan bakar mendekati satu miliar liter setahun atau senilai kira-kira Rp 4,3 triliun, sementara biaya yang dibayarkan PLN kepada orang desa hanya Rp 1,29 triliun,” ujar Puni.
Keuntungan lain berhubungan dengan konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam menurunkan emisi gas rumah kaca, yaitu Protokol Kyoto.

“Karena sumber energinya bersih, maka Clean Development Mechanism pembangkit mikrohidro dapat menjual Certified Emission Reduction kepada negara maju. Nilai untuk 5.000 pembangkit listrik tadi adalah 6 juta dollar AS per tahun. Dana ini dapat dipakai untuk membangun lebih banyak desa.
(net)

Close Ads X
Close Ads X