Sri Lestari Ingin Lebih Banyak Berguna Bagi Lebih Banyak Orang

Sri Lestari tak pernah menyangka siang itu di tahun 1997, motor yang dinaikinya tertabrak truk yang remnya blong. Tiga ruas tulang belakang warga Desa Manis Renggo, Klaten, Jawa Tengah itu remuk hingga akhirnya lumpuh seumur hidup. Syok berat, namun ia segera menerima takdirnya. Kecelakaan tragis siang itu membuat hidup Tari tak pernah lagi sama. Ia menjadi penderita paraplegia atau lumpuh yang ‘terpasung’ di atas kursi selama hidupnya.

“Peristiwa itu terjadi begitu ce­pat. Saya pingsan, baru sadar setelah terbaring di rumah sa­kit. Tiga tulang belakang, dari tu­lang iga ke bawah, hancur. Ini yang membuat saya lumpuh, da­lam istilah kedokteran disebut para­plegia,” ujar perempuan kelahiran Klaten, 10 Desember 1973 itu.

Bicara mengenai peristiwa tragis itu, anak sulung pasangan Mu­jiraharjo dan Suminem ini tak urung merasa gamang. Ba­gaimana tidak? Kala itu usianya su­dah 24 tahun, bertubuh nor­mal dan memiliki banyak impian untuk masa depan. Ia ingin ber­karya setelah lulus dari Kursus Per­hotelan pada 1992. Tapi semua cita-cita itu harus berhenti di tengah jalan.

Tari sempat mengisahkan ba­gaimana ia menjalani hari-hari yang getir dan sulit untuk di­percaya. Dulu biasa gesit ke sa­na-sini, tapi kini tak lagi bisa ber­jalan. Tahun pertama sesudah kecelakaan masa yang sangat gelap dan mengerikan baginya.

“Dua bulan saya dirawat di ru­mah sakit. Kaki saya tidak be­rasa apa-apa, tapi kalau di­sentuh, bergerak. Saya dan orang tua tidak tahu kalau itu rupanya hanya kedutan, makanya kami tidak percaya kata dokter kalau saya bakal lumpuh seumur hidup,” ujar Tari, yang setelah keluar rumah sakit menjalani fisioterapi.

“Bapak dan Ibu terus berikthiar mengobati saya, mengajak ke tabib. Tapi, hasilnya nihil. Saya tambah tertekan, sekaligus ngeri melihat dirinya yang makin mirip bayi. Bagaimana tidak? Saya tidak bisa mengontrol buang air kecil. Tahu-tahu basah saja. Saya merasa jadi orang yang paling ti­dak berguna di dunia ini.”

Pengobatan tradisional de­ngan bermacam rempah dan akar-akaran itu justru membuat ke­adaan Tari bertambah parah. Ia jadi kurang gizi. Tulang bekas lukanya menonjol keluar. Tari juga me­ngalami bedsores, di mana kulit mengelupas dan berpeluang menjadi luka yang menganga bila dibiarkan. Akhirnya, Tari dibawa berobat ke Jakarta. Luka luarnya ditangani, dan yang pasti mata Tari dibukakan, bahwa ia memang lumpuh.

“Saya hanya bisa pasrah. Ini takdir saya. Perlahan-lahan saya beradaptasi dengan kondisi fis­ik saya yang baru: tidak bisa berjalan. Sebagai anak, saya juga ingin membantu keuangan keluarga, makanya saya mulai belajar keterampilan, dari mem­buat aksesori manik-manik, mem­bordir sampai menyulam,” lanjut Tari.

Di balik kesulitan pasti ada ke­mudahan, demikian janji Sang Khalik. Pada 2006, berarti 9 ta­hun kemudian, kesabaran Tari pun berbuah manis. Perlahan mu­lai terkuak pintu kemudahan itu ketika ia memutuskan untuk menjadi relawan dalam penulisan buku berhuruf Braille untuk para tunanetra. Seorang karyawan di yayasan itu bercerita, ada motor modifikasi yang bisa dikendarai oleh penyandang paraplegia se­perti dirinya. Dia cukup duduk di kursi.

Singkat cerita, beberapa tahun kemudian, terkumpullah bantuan dari para sponsor dan teman-temannya dari Belanda. Ia pun mem­beli motor khusus tersebut. Sejak itulah, kembali lagi Tari yang mandiri, aktif dan ceria.

“Bahagia sekali bisa menghirup udara luar. Bebas bergerak setelah hampir 10 tahun terkungkung di rumah. Dengan motor itu, seolah saya kembali memiliki kaki-kaki saya yang dulu. Kembali, saya ber­mimpi ingin membebaskan sau­dara-saudara senasib dengan saya untuk bangkit, gembira, dan berkarya,” lanjut Tari.

Jadi Pekerja Sosial
Tari pun aktif melakukan akti­vitas kemanusiaan sebagai re­lawan, misalnya membantu se­kolah anak tuna netra dan korban gempa yang menjadi penyandang disabilitas. Kemudian bergabung di Wheels for Humanity sebagai pekerja sosial.

Organisasi kemanusiaan ini mem­bantu penyandang cacat dengan memberi bantuan kursi roda. Mereka di antaranya pa­ra penyandang cacat tulang be­lakang, cerebral palsy (ke­lum­puhan otak) dan cacat akibat kecelakaan lalu lintas.

Di Indonesia cukup banyak jum­lah orang-orang seperti me­reka. Kondisi membutuhkan kursi roda, tapi tak punya cukup uang untuk membelinya. Tak jarang pihak keluarga terpaksa mengungkung mereka di rumah.

Pemerintah pada dasarnya memiliki program sosial serupa itu, tapi sangat terbatas. Jumlah kursi roda tidak mencukup semua kebutuhan. Belum lagi kursi roda yang disumbangkan kebanyakan untuk orang dewasa. Ketika dipaksakan digunakan oleh anak-anak, akibatnya malah berbahaya. Anak-anak mengalami skoliosis di mana tulang punggungnya berubah bentuk.

Dalam program membantu para difabel itu, telah lebih dari 700 kursi roda didonasikan oleh Wheels for Humanity untuk me­nolong mereka yang kurang ber­untung. “Dengan motor se­bagai ‘kaki-kaki’ saya yang baru, saya bisa berkeliling ke seluruh Indonesia. Saya menemui banyak pihak. Dari organisasi kemanusiaan, pekerja lapangan, juga komunitas masyarakat yang ada di berbagai tempat. Tujuan saya adalah ingin menggugah kesadaran masyarakat, meng­ins­pirasi dan memotivasi semua orang untuk peduli pada nasib kaum difabel. Sejatinya, mereka tak ubahnya seperti orang pada umumnya. Mereka juga ingin mandiri dan berkarya. Kita bersama-sama bisa membantu mereka,” ujar Tari.

Dalam giat menyebarkan semangat kepada kaum difabel itu Tari melakukan perjalanan keliling Indonesia di atas motor vespa yang telah dimodifikasi. Pada 2013 lalu, misalnya, ia ber­gerak dari Yogyakarta ke Bali selama 20 hari, dengan rute sejauh 1.000 Km melalui Solo–Sragen–Ngawi–Kertosono–Ngan­juk–Pasuruan–Situbondo–Ba­nyuwangi dan baru tiba di Bali. Ka­li lainnya, ia menempuh jarak 2.500 Km ke Jakarta lalu terus ke Aceh.

Banyak orang yang tersentuh melihat kiprah kemanusiaan Tari. Mereka tergugah, seorang yang tidak dapat berjalan seperti dia saja punya kemampuan lebih untuk peduli pada sesama. Se­pa­tutnya orang-orang dengan kelengkapan tubuh meniru jejak kepeduliannya.

Yang menggembirakan lagi, para penyandang disabilitas juga tergugah dan timbul semangat untuk berbuat untuk sesama. Kala blusukan ke daerah-daerah itu ikut bergabung dengan Tari sejumlah anggota Ikatan Motor Indonesia, Disabilitas Motor Club (DMC), TVS Motor Club (TMC) dan Motor Nusantara.

Aktif Terus di Sosial
Hingga kini, Tari terus aktif di kegiatan sosial. Senin sampai Jumat bekerja di UCP Roda Untuk Kemanusiaan di Yogyakarta sebagai pekerja sosial. Kemudian Sabtu atau minggu sering keliling me­ngunjungi teman-teman difa­bel yang masih tinggal di rumah saja.

“UCP Roda Untuk Kema­nus­iaan adalah Lembaga yang memiliki program layanan dan pelatihan, penyediaan alat bantu mobilitas yang tepat dan berkelanjutan. Kemudian melakukan advokasi hak-hak bagi penyandang disabilitas, melakukan pendampingan bagi kelompok komunitas, yang kami sebut sebagai FSG= Family Support Group. Saya di sini bertanggungjawab dalam mendata teman-teman penyandang disabilitas yang memerlukan alat bantu khususnya kursi roda, walker atau kruk,” urai Tari lagi.

Dari kegiatan kemanusiaan peduli difabel tersebut, Tari melihat para paraplegia biasanya malu dan pendiam. Tidak berani bicara jika tidak ditanya. Diberi tahu kalau dirinya juga bernasib sama dan tetap bekerja, mereka masih juga diam. Tapi begitu Tari bilang kalau dia bisa naik sepeda motor sendiri, baru mereka tersenyum. Raut muka berubah ceria dan mereka tertarik dan mau diajak berdialog.

“Saya senang bekerja di UCP Roda Untuk Kemanusiaan sejak pertama kali menjadi paraplegia. Saya ingin masyarakat tahu bahwa kaum difabel itu tetap bisa berkarya jika diberi kesempatan. Saya juga bisa menguatkan mental teman-teman untuk bangkit, juga orang tua kalau mereka wajib mendukung anak mereka yang difabel untuk maju,” ujar Tari, optimis.
Menulis dan Sebarkan Motivasi

Di masa depan, Tari punya keinginan menulis buku, dan melanjutkan perjalanan untuk menyebarkan motivasi peduli difabel. Tak ada hambatan untuk mewujudkan cita-citanya, terlebih keluarga mendukungnya.

“Dukungan keluarga sangat berarti bagi saya.Seingat saya, dari kecil dulu mereka memperhatikan saya. Orang tua mendesain rumah jadi ramah difabel, misalnya tidak membuat tangga di rumah, kamar mandi juga dibuat mudah diakses, dan banyak lagi.”

Hingga kapanpun, pehobi be­renang ini akan terus menjalin hu­bungan dengan anak-anak di­fabel yang ditemuinya. Di Aceh, misalnya, UCP Roda Untuk Kemanusiaan telah memberi 40 kursi roda dan saling terus menguatkan dan menyemangati.

“Sepeda motor telah membuat hidup saya berubah positif, bisa ber­karya kemana pun. Terima kasih untuk relawan di Yayasan Tuna Netra yang telah membuka wawasan tentang sepeda motor khusus itu. Terima kasih juga untuk tim di Bengkel Karina Klaten yang telah memodifikasi motor ini,” ujar empunya motto hidup, ingin lebih banyak berguna bagi lebih banyak orang setiap hari. (kbn)

Close Ads X
Close Ads X