Riset: Berusaha Terlihat Bahagia Justru Membuat Seseorang Makin Sedih

Penelitian, yang diterbitkan dalam jurnal Emotion, menemukan bahwa terlalu berupaya terlihat bahagia bisa membuat orang cenderung terobsesi dengan kegagalan dan emosi negatif, di mana hal tersebut membawa mereka ke risiko stres yang lebih tinggi dalam jangka waktu panjang.

“Kebahagiaan adalah hal yang baik, tetapi menjadikannya sebagai sesuatu yang wajib dicapai justru membuatnya kerap gagal,” jelas salah satu penulis penelitian itu, Brock Bastian, seorang psikolog sosial di University of Melbourne School of Psychological Sciences di Australia.

Dikutip dari Time.com pada Minggu (12/8), penelitian ini melibatkan dua eksperimen terpisah. Pada mulanya, sekelompok mahasiswa psikologi Australia diminta memecahkan 35 anagram dalam tiga menit, tetapi, tanpa sepengetahuan mereka, 15 di antaranya tidak dapat dipecahkan.

Tiga puluh sembilan siswa menyelesaikan tugas ini di sebuah ruangan yang dihiasi poster, catatan, dan buku motivasi. Pengawas di ruangan ini juga diberi tahu oleh para peneliti untuk berbicara dengan riang, dan dengan tidak sengaja menyebutkan pentingnya rasa bahagia.

Sementara itu, 39 siswa lainnya menyelesaikan tes yang sama di ruangan yang lebih netral, baik dari segi suasananya ataupun pengawas yang berjaga. Adapun kelompok ketiga dari 38 siswa menyelesaikan tugas yang dapat dipecahkan di sebuah ruangan yang menekankan kebahagiaan yang sama dengan ruang pertama.

Setelah itu, para peneliti meminta semua siswa untuk melakukan latihan pernapasan, di mana mereka secara berkala ditanya tentang pola pikirnya. Dibandingkan dengan dua kelompok lainnya, siswa yang melakukan tugas mustahil di “ruang bahagia” lebih cenderung memikirkan kembali kegagalan masa lalu, yang pada gilirannya terkait dengan perasaan emosi negatif.

Mereka yang menyelesaikan tugas mustahil di ruangan netral dan mereka yang menyelesaikan tugas ringan di ruang bahagia, tidak berbeda secara signifikan dalam seberapa besar upaya memikirkan kembali latihan meraih rasa bahagia.

Bukan Kutukan

Peneliti juga menyebut bahwa ketika seseorang menempatkan tekanan besar pada diri untuk merasa bahagia, atau berpikir bahwa orang lain di sekitar terlihat emosional dalam memandang pengalaman negatif, maka mereka akan cenderung lebih banyak mengirim sinyal kegagalan yang berujung pada sikap depresif.

Hal ini dijelaskan bukan sebagai “kutukan” untuk mencoba bahagia, melainkan sebaliknya untuk menggarisbawahi pentingnya mengetahui dan menerima bahwa perasaan tidak bahagia terkadang normal dan sehat.

“Kita sebagai manusia telah berevolusi untuk mengalami serangkaian keadaan emosional yang kompleks, dan sekitar setengahnya tidak menyenangkan. Ini tidak berarti hal tersebut kurang berharga, atau membuatnya mengurangi kualitas hidup kita,” jelas Brock Bastian.
(lp6/hut)

Close Ads X
Close Ads X