Resmi Tersangka Korupsi Proyek Dermaga Sabang | Bupati Bener Meriah Rugikan Negara Rp116 Miliar

Pelaksana tugas (plt) pimpinan KPK Johan Budi (kanan) didampingi Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK Priharsa Nugraha (kiri) menyampaikan keterangan pers tentang penetapan tersangka baru di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (4/8). Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Bupati Bener Meriah, Ruslan Abdul Ghani sebagai tersangka terkait dugaan korupsi pembangunan Dermaga BPKS Sabang, Aceh tahun 2011. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A./15
Pelaksana tugas (plt) pimpinan KPK Johan Budi (kanan) didampingi Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK Priharsa Nugraha (kiri) menyampaikan keterangan pers tentang penetapan tersangka baru di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (4/8). Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Bupati Bener Meriah, Ruslan Abdul Ghani sebagai tersangka terkait dugaan korupsi pembangunan Dermaga BPKS Sabang, Aceh tahun 2011. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A./15

Jakarta | Jurnal Asia
Bupati Bener Meriah, Provinsi Aceh, Ruslan Abdul Gani ditetapkan sebagai tersangka korupsi pengembangan kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas Sabang atau yang dikenal dengan istilah Dermaga Sabang tahun 2011 lantaran diduga merugikan negara senilai Rp 116 miliar.

Pelaksana Tugas Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johan Budi Sapto Pribowo menjelaskan kasus ini merupakan pengembangan dari kasus Dermaga Sabang yang telah menjerat dua terpidana lain, yakni Heru Sulaksono dan Ramadhan Ismy.

“Setelah melakukan gelar perkara, disimpulkan penyidik telah menemukan dua alat bukti permulaan yang cukup dan ada tipikor yang diduga dilakukan oleh RAG (Ruslan Abdul Gani),” kata Johan ketika jumpa pers di kantornya, Jakarta, Selasa (4/8).

Johan menjelaskan, meski kini Ruslan menjabat sebagai bupati namun tindak pidana korupsi diduga dilakukan saat Ruslan menjabat sebagai Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Sabang.
“RAG melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo 55 Ayat 1 ke-1 KUHP jo 65 Ayat 1 KUHP,” kata Johan.

Modus korupsi yang dilakukan Ruslan adalah dengan menggelembungkan biaya proyek pembangunan kawasan tersebut. Selain itu, Ruslan diduga terlibat dalam penunjukan langsung perusahaan rekanan pemenang proyek tanpa melalui proses lelang.

Dalam kasus tersebut, Heru Sulaksono merupakan Bos PT Nindya Karya, perusahaan penggarap proyek. Heru divonis oleh pengadilan tingkat pertama dengan hukuman sembilan tahun bui dan denda Rp 500 juta subsider empat bulan kurungan. Selain itu, hakim memvonis Heru untuk membayar ganti rugi negara senilai Rp 12,6 miliar.

Dalam proyek tersebut, Heru merupakan pimpinan Nindya Sejati Joint Operation, perusahaan yang menggarap proyek pada tahun 2004 dan 2006 hingga 2011. Joint operation tersebut merupakan kerja sama antara PT Nindya Karya dengan perusahaan lokal PT Teguh Sejati. Penunjukan Nindya Sejati JO dilakukan tanpa melalui lelang tender.

Dalam realitanya, meskipun pekerjaan tidak selesai 100 persen, Heru menerima pembayaran utuh. Dari rangkaian korupsi selama lima tahun, penyidik KPK menemukan selisih penerimaan riil dan biaya riil tahun 2006 sampai dengan 2011 sebesar Rp 287 miliar. Sementara itu, kekurangan volume terpasang tahun 2006 sampai dengan 2011 sebesar Rp 15,9 miliar. Sedangkan penggelembungan harga satuan dan volume pada kontrak subkontraktor sebesar Rp 10,162 miliar. Selain itu, negara merugi Rp 313 miliar.

Sementara itu, Ramadhan Ismy yang merupakan Deputi Teknis Badan Pengusahaan Kawasan Sabang (BPKS), berperan sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam proyek tersebut. Ramadhan divonis enam tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin, 22 Desember 2014 lalu. Ismy terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi pada proyek tersebut. Alhasil, negara merugi Rp 313 miliar.

Dalam berkas putusan Ismy yang dibacakan majelis hakim, Ismy terbukti melakukan tindak pidana korupsi bersama dengan Ruslan Abdul Gani. Ismy terbukti memuluskan joint operation Nindya Sejati JO pimpinan Heru Sulaksono, sebagai perusahaan penggarap proyek tanpa pelelangan pada tahun 2006. Ismy juga terbukti melakukan penunjukan langsung tanpa pelelangan kepada perusahaan PT Nindya Sejati. Ia hanya melakukan evaluasi kelengkapan dokumen penawaran.

Dalam realitanya, meskipun pekerjaan tidak selesai 100 persen, Ismy menerima hasil pekerjaan tahap pertama dan membuat Berita Acara Serah Terima Pertama tanggal 15 Desember 2006. Alhasil, Ismy terbukti memperkaya Heru Sulaksono sebesar Rp 2,6 miliar dan perusahaan lokal yang bekerja sama dengan Heru, PT Tuah Sejati sebesar Rp 396 juta.

Selang satu tahun, pola yang sama kembali terjadi. Ismy tidak melakukan pelelangan proyek melainkan menetapkan Nindya Sejati JO sebagai penggarap. Ismy didakwa memperkaya Heru senilai Rp 9,2 miliar dan mengakibatkan kerugian keuangan Negara sebesar Rp 9,4 miliar.

Pada tahun 2008, sejumlah pekerjaan tak digarap oleh perusahaan Nindya Sejati JO. Meski demikian, terdapat penggelembungan anggaran. Alhasil, Ismy mengantongi duit Rp 710 juta dan memperkaya orang lain salah satunya Heru senilai Rp 2,2 miliar. Duit sebesar Rp 6,5 miliar juga melenggang mulus ke PT Nindya Karya dan sebanyak Rp 6,05 miliar ke PT Tuah Sejati. Konsekuensinya, negara merugi Rp 45 miliar.

Masih dalam proyek yang sama, pada tahun 2009, Ismy terbukti memperkaya dirinya senilaj Rp 1,6 miliar dan Heru senilai Rp 1,79 miliar. Korporasi penggarap yakni PT Nindya Karya meraup keuntungan ilegal senilai Rp 10,8 miliar. Kerugian negara pada tahun tersebut yakni Rp 71 miliar.

Pada tahun 2010, Ismy mengantongi Rp 260 juta dan Heru senilai Rp 2,39 miliar. Selain itu, PT Nindya Karya merapu keuntungan ilegal sebesar Rp 10 miliar dan PT Tuah Sejati sebanyak Rp19 miliar. Pada tahun yang sama, negara merugi Rp 68 miliar. Tahun 2011, Ismy mendapat Rp 3,2 miliar dan Heru sebesar Rp 34 miliar.

Dari rangkaian korupsi selama lima tahun, penyidik KPK menemukan selisih penerimaan riil dan biaya riil tahun 2006 sampai dengan 2011 sebesar Rp 287 miliar. Sementara itu, kekurangan volume terpasang tahun 2006 sampai dengan 2011 sebesar Rp 15,9 miliar. Sedangkan penggelembungan harga satuan dan volume pada kontrak subkontraktor sebesar Rp 10,162 miliar. (cnn/ant/dtc)

Close Ads X
Close Ads X