Merajut Keberagaman Lewat Dendang Dangdut

Di tengah usaha keras meredam isu intoleransi yang memanas, pendengar radio punya cara sendiri melebur perbedaan di tengah keberagaman. Mereka temu pendengar,sembari karaokeanmendendangkan lagu dangdut.

Begitu sederhana. Sambil bergembira ria mereka merajut persahabatan,bahkan memupuk persaudaraan tanpa membedakan asal usul dan golongan.

Aura kebersamaan itu begitu kuat saat memasuki sepetak ruang sederhana Studio Radio Istana MBC di Jalan Multatuli Medan, Jumat siang, dua pekan lalu. Belasan orang yang didominasi ibu rumah tangga, remaja putri dan beberapa orang pria, duduk-duduk di kursi yang mengepung meja tamu dengan hidangan berbagai jajanan rakyat, seperti kerupuk, keripik ubi, keripik pisang, risol, tahu isi dan pisang goreng.

Aneka cemilan itu dibawa oleh para fans radio secara spontan. Yusnita Tanjung, misalnya, pendengar setia warga Jalan Bromo Medan ini, hari itu membawa dua bungkus kerupuk yang dibeli di jalan buat oleh-oleh. “Saya tadi sedang mau bertemu relasi di Simpang Limun, mendengar siaran ada ramai-ramai di studio, saya merasa terpanggil dan datang ke sini bertemu teman-teman,” kata pengusaha bordir ini.

Bunda Pipit yang pedagang kue basah, hari itu membawa risol. Fitri membawa keripik ubi produksi sendiri dan yang lainnya membawa camilan yang biasa dijual rakyat di pinggir jalan. Kehadiran para fans dengan membawa camilan ini membuat suasana menjadi meriah, mirip arisan keluarga.

Sambil ngemil, mereka berbincang ramah, sesekali diselingi gelak tawa karena canda yang terjadi sesama mereka. Kegembiraan itu pun menjadi lengkap olehdendang lagu dangdut yang dilantunkan Magdalena Malini Barus (51) dari balik ruang berdinding kaca yang bersebelahan dengan ruang tamu.

Perempuan asal Tanjungmorawa, Deliserdang itu, sengaja jauh-jauh datang menumpang angkot untuk berkaraoke ria bersama para sahabat udara lainnya, yang hari itu berkumpul di studio. “Setidaknya, sebulan satu kali saya datang ke sini bahkan lebih. Daripada bengong di rumah, di sini bisa bergembira kumpul dengan teman-teman,” katanya.

Magdalena adalah satu dari belasan peserta acara “Berkaraoke di Radio Istana MBC” yang datang di hari itu untuk menyumbangkan lagu. Acara yang melibatkan partisipasi pendengar menyumbangkan lagu secara langsung itu digelar setiap hari Jumat, mulai pukul 09.00-12.00 WIB, dipandu Wahyu Aliando Purnama Hasibuan ST yang akrab dengan sapaan Kak Wahyu.

Meski tak semua berkaraoke, tak sedikit ‘emak-emak’ yang menjadi biduan dangdut dadakan. Selain Yusnita Tanjung, Bunda Pipit, Fitri dan Magdalena, ada Wulan Lampu I, Siti Fatimah Nasution pedagang pecal, Amelia, Putri,Maimunah, Tamara Sikumbang, Lek Nong-nong, Ardi Lubis, Ratna Emi, Juni Chaniago, Mama Lilik, Larasati dan lainnya.

“Tak sekadar mengekspresikan jiwa seni menyanyi, di sini saya dapat teman-teman baru. Kita kompak tidak membedakan asal usul satu dengan lainnya,” kata Amelia. Perempuan 50 tahun itu sehari-hari berjualan minuman ringan di sekitar Jalan Sisingamangaraja Medan. Demi ‘karaoke dangdut’ dia menitipkan jualannya untuk sekitar dua jam pada suami yang ternyata dengan senang hati mengizinkan.

Pemersatu
Menurut General Maneger Radio Istana MBC, Budaya Makmur Hasibuan, di tengah serbuan media informasi dan hiburan yang beragam, radio masih bisa mendapat tempat di hati pendengarnya. Media audio ini memungkinkan bertahan karena bisa dinikmati (didengarkan) sambil bekerja, tidak mengganggu aktivitas mereka. “Bahkan radio bisa menjadi semacam menu untuk menyegarkan semangat mereka dalam beraktivitas. Tak heran bila pendengar kami, rata-rata wanita pekerja, pemilik industri rumah tangga, mulai tukang pecal, pedagang gorengan hingga pengusaha konveksi, “kata pria yang pernah akrab dengan nama Dayon Arora.

Amatan Budaya Makmur, lebih dari sekadar media hiburan, radio merupakan sarana yang efektif untuk memupuk persatuan di tengah keberagaman. Karena itulah radio siaran yang dirintis Dr H Fauzi Usman MBA sejak tahun 1970 itu memilih sekmen umum dengan menonjolkan keberagaman budaya, pada beberapa mata acaranya. “Ada pantun Melayu, puisi, lagu-lagu India, Minang, Mandailing, Batak dan lainnya. Menariknya, acara-acara itu tidak menjadi milik etnis tertentu. Setiap mata acara, meskipun bernuansa budaya etnis tertentu, namun penggemarnya bisa berbagai etnis,” katanya.

Menurut Budaya Makmur, di kalangan pendengar radio, perbedaan etnis bukan isu yang laku. Justru dalam berbagai pertemuan pendengar atau canda di udara, mereka menikmati keberagaman dalam kebersamaan yang solid dan akrab. “Mereka menjadi penikmat keberagaman budaya itu dan bersatu dalam emosi kegembiraan menikmati musik India, Melayu, Minang dan lainnya. Mereka larut dalam emosi kegembiraan menikmati persahabatan, cuap-cuap, canda lewat lagu-lagu kiriman di udara atau dalam berbagai kesempatan jumpa fans di darat,” paparnya.

Meski demikian, tambah Budaya Makmur, semua itu tidak terlepas dari pengelolaan para pendengar setiap mata acara yang digawangi para penyiar.Istana MBC yang memancar di tune 99,9 FM memiliki penyiar dengan spesifikasi acara bernuansa etnis yang berbeda, diantaranya Budaya Makmur Hasibuan, Angku Ahmad Murni, Joko Sembada, Jul Lubis, Syahrul Kyioto dan Wahyu Aliando Purnama Hasibuan ST. “Namun fans tetap bersatu, tidak ada fans diklaim milik satu mata acara tertentu. Setiap hari Jumat,disediakan ruang karaokean bagi semua fans. Di acara itu mereka bersatu, merajut keberagaman dengan gembira sembari menyanyikan lagu dangdut,” pungkasnya.

(nasib ts)

Close Ads X
Close Ads X