Menempatkan Sastra sebagai Kebutuhan Jiwa

Psikolog Abraham Maslow pernah mengatakan, salah satu kebutuhan manusia yang paling mendasar adalah need of actualization dan need of esthetics. Kebutuhan aktualisasi diri dan kebutuhan estetika.

Kebutuhan aktualisasi diri biasanya dipunyai oleh para seniman dan penyair, sedangkan kebutuhan estetika menimpa masyarakat umum yang sudah established dalam kebutuhan duniawinya. Artinya setiap orang yang sudah terpenuhi kebutuhan duniawinya dia akan beralih kepada kebutuhan non duniawi, kebutuhan spiritual alias kebutuhan estetika tadi.

Itulah teori yang diyakini Maslow. Kalau begitu, bila teori ini kita hubungkan dengan sastra sebagai salah satu komoditi estetika, kita bisa menyimpulkan tingkat kebutuhan macam apakah sastra menurut teori ini? Pastilah dengan teorinya itu Maslow setuju bila sastra dimasukkan dalam komoditas elit.

Hanya masyarakat golongan the have yang punya sastra karena segala kebutuhan duniawinya sudah terpenuhi. Lain lagi dengan konsep sastra dangdut yang pernah diyakini Yudistira ANM. Sastra adalah komoditi semua orang. Semua lapisan. Merata.

Seperti lagu dangdut, masyarakat semua golongan boleh berdangdut. Memang mula-mula dicap kampungan, tapi lama-lama dengan rasa malu-malu kalangan atas menyukai dangdut. Kita tidak akan mendebatkan dua konsep di atas yang dengan argumen masing-masing kelihatannya sama-sama bisa diterima. Berbicara soal kebutuhan, lebih baik kita melihat dari kacamata pasar.

Sering terjadi keluhan akan kelesuan pasar sastra tidak hanya di Sumatera Utara tapi sempat menjadi keluhan sastrawan Indonesia. Mengapa muncul keluhan ini? Jawaban yang sering kita dengarkan, sastra kita tidak berbobot, tidak kreatif. Alasan lainnya, masyarakat kita yang kurang apresiatif karena tidak punya ilmu menikmati sastra.

Mengapa bisa demikian? Begitulah. Sangat mudah mencari kambing hitam. Kalau tidak, kita bisa menghibur diri dengan dalih: karya sastra yang bermutu memang sulit dipasarkan. Dalih serupa memang cukup ampuh untuk menghibur beberapa cabang kesenian lainnya seperti film dan teater. Terlepas dari polemik itu, karya sastra kategori kebutuhan macam apakah sebenarnya?

Sosial Ekonomi
Kembali pada teori Abraham Maslow. Persoalan mengapa karya sastra kurang diminati lebih dikaitkan dengan tingkat sosial ekonomi masyarakat. Tapi, ingat, teori Abraham Maslow menyesuaikan dengan lingkungan asalnya, dunia Barat. Kalau dilihat dari segi ini, tentu teorinya belum tentu cocok di negeri kita yang memiliki dimensi spiritual yang masih kental. Dalam kondisi itu, apakah seseorang akan memenuhi kebutuhan bathinnya setelah kebutuhan dunia terpenuhi? Belum tentu.

Kalau kita sepakat dengan pendapat tersebut, mengenai sebab-sebab melesunya konsumsi masyarakat akan karya sastra, sama sekali tidak ada hubungannya dengan faktor ekonomi ataupun elitisitas seseorang. Ataupun kalau ada kecil sekali faktornya. Banyak faktor lain yang harus ditelusuri dan ini harus dikaji tesendiri.

Ingatlah, kepribadian bangsa kita tidak pernah meletakkan dimensi material di depan dimensi spitual, melainkan unsur keseimbanganlah yang ingin kita capai sesuai dengan falsafah negara kita. Jadi apakah sastra dangdut, pop, country atau sastra jazz sekalipun bukanlah monopoli orang kaya alias kaum the have semata.

Sastra adalah kebutuhan manusia semesta yang masih memandang bahwa cinta adalah kebutuhan, bahwa kasih sayang kebutuhan, keindahan hidup dan iman adalah kebutuhan. Siapakah yang tidak memandang semua ini sebagai kebutuhan? Ketika zaman secanggih sekarang, orang akan ramai-ramai memburu kebahagiaan. Tapi kebahagiaan itu di mana? Di laptop seri mutahir, handphone paling canggih, pesawat ruang angkasa, kondominium mewah, atau di mana?

Bila orang masih mendambakan keutuhan rumahtangga bahagia, dunia yang penuh cinta dan kedamaian, hati yang tenteram sebagai kebutuhan jiwa, bila iman masih menjadi keyakinan manusia, maka orang tak salah memilih sastra sebagai kebutuhan pula. Penulis yakin bahwa pendambaan

akan kebutuhan itu milik semua oang. Tidak hanya monopoli yang kaya bukan? Kesimpulannya, karya sastra sebagai media pemenuhan kebutuhan rohani tidak tergantung kaya dan miskin. Persoalannya, untuk saat ini diperlukan komunikasi yang akrab dan sikap familiar para sastrawan dan karyanya terhadap kehidupan, terutama kehidupan yang digumuli bangsa Indonesia agar sastra benar-benar membumi dan merasuk ke dalam sanubari serta dicintai masyarakat.*
*Penulis, penikmat sastra dan jurnalis.

Close Ads X
Close Ads X