Mendag Gobel Pastikan Eksportir Tak Wajib L/C

Jakarta | Jurnal Asia
Pemerintah mematiskan penangguhan penggunaan cara pembayaran Letter of Credit (L/C) bagi para eskportir minyak dan gas (migas). Hal ini tercantum dalam Permendag Nomor 26 Tahun 2015.
Menteri Perdagangan Rachmat Gobel menjelaskan, penangguhan hanya dapat dilakukan dengan memenuhi persyaratan yang sudah ditentukan.

Hal ini dimaksudkan agar para eksportir bisa menyesuaikan dan merevisi kontrak yang sudah dibuat dan ditanda tangani se­be­lum penetapan Permendag Nomor 04/2015 agar tidak menghambat proses ekspor.

“Berlaku per 1 April, supaya bisa mengetahui bagaimana follow up kebi­jakan L/C, perusahaan tambang yang merasa keberatan karena sudah punya kontrak, pemerintah tentu memperhatikan kontrak-kontrak tersebut,” ujar Gobel saat konferensi pers di Gedung Kementerian Perdagangan, Jakarta, Rabu (1/4/2015).

Gobel menyebutkan, penangguhan diberikan oleh Menteri Perdagangan setelah mendapat pertimbangan dari Menteri teknis terkait dan memenuhi persyaratan yang sudah ditentukan, dalam hal ini yaitu Menteri ESDM untuk produk minyak dan gas, batu bara, dan mineral (termasuk timah).

Dia menjelaskan, setelah penangguhan penggunaan cara pembayaran L/C un­tuk eskpor barang tertentu diberikan, selanjutnya akan dilakukan post audit oleh tim yang akan dibentuk oleh Menteri Perdagangan.

Jika hasil post audit tidak benar, maka akan dikenakan sanksi yaitu penghentian penangguhan sehingga eksportir tidak akan bisa melakukan eskpor kecuali dengan mengubah cara pembayaran dengan menggunakan L/C. Sanksi lainnya bisa sampai pencabutan usaha hingga pidana.

Pemberlakuan ketentuan tentu akan kita periksa kontrak-kontraknya apakah sesuai atau akal-akalan, kalau kontrak tidak benar maka akan kita cabut izinnya atau pidana,” tegas dia.
Cara pembayaran L/C selain melalui Bank Devisa di dalam negeri, juga dapat dilakukan melalui lembaga pembiayaan ekspor yang dibentuk oleh pemerintah yang wajib mengikuti ketentuan peraturan Bank Indonesia (BI) tentang devisa hasil ekspor.

Lebih jauh Gobel menjelaskan, tujuan penggunaan LC adalah untuk mengontrol terhadap semua jenis ekspor migas, mineral atau sawit.“Ekspor begitu besar tapi devisa yang masuk kok sedikit, makanya pemerintah menerapkan LC untuk mengontrol ke­luarnya SDA kita,” ujar dia.

Gobel menyebutkan, penangguhan penggunaan L/C bagi eksportir migas dilakukan karena selama ini transaksi perusahaan migas seperti volume dan harga migas sudah tercatat dengan baik.
“Dari diskusi menteri ESDM, kontrak-kontrak migas itu sudah diketahui pe­merintah, berapa ekspornya, harganya, dan di situlah diketahui, kalau yang lain tidak diketahui,” katanya.
Di tempat yang sama, Menteri ESDM Sudirman Said menjelaskan, jumlah pembeli di sektor migas tercatat tidak banyak dan mereka memiliki reputasi yang baik.

“Mereka terbukti sebagai buyer yang bonafide dan memenuhi seluruh ketentuan yang ada. Seluruh transaksi sangat aman artinya situasi ekspor migas sudah match dan sesuai dengan syarat Kemendag karena alokasi ekspor ke mana, harga berapa, dan asalnya dari mana semua tercatat dengan baik, SKK migas, BI juga mencatat, jadi transaksi migas ini sangat aman,” paparnya.
Kepala SKK Migas Amin Suryanadi menyebutkan, eskportir migas yang mendapatkan penangguhan penggunaan L/C yaitu perusahaan gas di Bontang, Kalimantan dan Tangguh, Papua.

Perusahaan gas Bontang memiliki 14 kontrak dari tahun 1977 sampai berakhir tahun 2022. Dari 14 kontrak perusahaan ada 9 mayoritas perusahaan asal Jepang kemu­dian Taiwan, Korea Selatan, dan Indonesia.

Sementara perusahaan gas di Tangguh ada 13 kontrak, ada 5 perusahaan asal Jepang, 3 Korea, Meksiko, China, dan 3 Indonesia.“Biasanya mereka yang memiliki kontrak jangka panjang,” sebut dia.

Deputi Menko Perekonomian Bidang Industri dan Perdagangan Kementerian Perekonomian Edy Putra Irawady menam­bahkan, penangguhan diberikan kepada eksportir tertentu dan perlu adanya komitmen dari eksportir.

Dia menyebutkan, penggunaan L/C dalam setiap transaksi ekspor dilakukan sebagai bentuk kepatuhan internasional untuk mencegah terjadinya ketidakco­cokan data (mismatch).
Dia mencontohkan, untuk ekspor minyak ke India tahun 2013 tercatat US$ 3,5 miliar, sementara catatan impor minyak India ke Indonesia sebesar US$ 6,4 miliar. Ini ada selisih angka yang besar.

Contoh lain ekspor CPO ke India di tahun 2013 tercatat US$ 2,3 miliar, sementara catatan India nilai impor CPO ke Indonesia sebesar US$ 4,9 miliar.Contoh di sektor migas, Indonesia mencatat ekspor ke Singapura di tahun 2013 sebesar US$ 79,7 juta, sementara catatan impor migas Singapura dari Indonesia sebesar US$ 487,8 juta.

“Artinya ada US$ 408,1 juta selisih, itu yang harus dikejar. Perbedaan data ini yang mau kita kejar, ini alasan kenapa kita lakukan LC. Selama ini yang paling banyak di sektor migas, kita fokuskan di sektor migas,” ucap dia. (dtf)

Close Ads X
Close Ads X