Maryati, Marlena

Cerpen : Faris Al Faisal

BARU saja kereta jurusan Cirebon-Gambir tiba di stasiun Jatibarang dengan tenang. Saat itu pagi masih berkabut, terasa sekali pegangan pintu kereta masih ditempeli butiran embun yang bertimbulan, licin dan sedikit basah.

“Maaf bang,” ujarmu dengan tergesa yang baru saja tanpa sengaja menginjak sepatuku saat bergegas naik ke gerbong yang kebetulan sama denganku.

Aku harus bilang apa coba? Hanya senyum kecil kucoba sunggingkan untuk memaklumi keadaan itu. Perempuan itu balik tersenyum melewatiku sembari menganggukkan kepalanya. Kulihat penumpang di dalam gerbong masih bisa dihitung dengan jumlah jari tanganku.

“Maaf bang, rupanya kita duduk beriringan,” ucapmu dengan malu-malu menyisakan peristiwa tadi yang belum dua menit pun terjadi dan berlalu.

“Oh, silakan,” balasku dengan mencoba menggeser posisi dudukku dan memberi tempat duduk kepadanya agar bisa leluasa.

Perempuan dengan rambut dicat warna merah kecoklatan itu duduk di sebelahku yang sudah terlebih dulu menghempaskan punggungku di kursi kereta dekat jendela. Tak beberapa lama kereta pun bergerak meninggalkan stasiun yang memiliki empat peron dan pagi itu hanya ada dua penumpang yang naik ke gerbong kereta menuju Gambir.

Beberapa menit kemudian, berlalu stasiun Kedokan Gabus dan Cilegeh. Sepi hanya terlihat dua atau tiga orang petugas yang sibuk dengan pekerjaannya. Kereta tak berhenti.

Kulihat perempuan di sampingku itu tengah asyik menikmati musik dengan earphone di telinga dan kabelnya centang perenang di antara rambut panjangnya yang sengaja dibiarkan tergerai untuk menutupi bagian dadanya yang tak tertutup sempurna itu, bahkan nyaris dibiarkan terbuka agar kelihatan belahannya.

Kereta baru berhenti di stasiun Haurgeulis. Beberapa penumpang lelaki dan perempuan dengan barang bawaannya naik dan menempati kursi-kursi sesuai dengan nomor yang didapatkan. Lokomotif kereta kembali menarik belasan gerbong yang mengular itu. Beberapa pasang mata penumpang lelaki yang naik ke dalam gerbong sempat melirik ke arah perempuan di sampingku. Aku tersenyum menemukan tingkah lelaki-lelaki itu yang meskipun sudah duduk di kursi depan masih sempat-sempatnya menengok ke belakang demi melihat perempuan yang tengah membenahi posisi rambutnya dengan dibiarkan terjuntai ke pundaknya.

“Mau kemana bang?”

Aku terperangah melihat perempuan itu menghadap ke arahku dengan posisi kedua tangannya membenahi sanggul rambutnya lalu melepas earphone. Ada jantung yang berdegup dengan kencang di dalam rongga dada yang terasa menjadi sesak. Jelas itu bukan dadamu, melainkan dadaku.

“Ke Gambir.” Jawabku. Gugup namun tak terdengar gagap.

“Mbak turun di mana?” tanyaku berbalik dengan perasaan yang masih memburu.

“Sama, ke Gambir juga.”

Sepanjang rel kereta yang memanjang menuju Gambir, perempuan itu mengajakku berbincang-bincang tentang apa saja. Kota Indramayu yang menjadi tempat kelahiran, Jakarta yang menjadi kota tumpuan dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di daerah sendiri sekalipun aku dengannya satu kota.

“Apakah sudah punya istri?”

Aku tersentak. Tiba-tiba pertanyaan itu menyeruak tanpa ada penghubung dengan perbincangan tadi. Bukan terkejut tetapi sungguh terkejut. Ini bukan soal sukarnya menjawab pertanyaan itu, melainkan merasa pertanyaan itu akan diikuti dengan pertanyaan lainnya.

“Sudah, bahkan sudah punya anak.”

Kutengok ke arahnya. Kuperhatikan wajah perempuan itu pias, seperti bunga kertas menjelang gugur.

“Sudah kuduga,” ucapnya pelan, “ya sudahlah.”

Aku tercekat. Entah bagaimana mengembalikan perbincangan yang tadi hangat sekali tiba-tiba berubah menjadi dingin dan berembun.

“Mbak bekerja di mana?” kataku menghilangkan keheningan tadi.

Perempuan itu menjatuhkan kembali rambutnya di atas dadanya dan rambut itu menutupi pula rona pipinya seakan hendak disembunyikan dari pandanganku.

“Kerja?” ucapnya balik bertanya, terdengar seperti ada beban dalam kalimatnya itu, “kerja untuk memuaskan lelaki.”

Aku tersentak. Perempuan itu menundukkan wajahnya dalam-dalam. Aku merasa menyesal menanyakan hal itu kepadanya. Stasiun Kerawang, Bekasi dan Jatinegara sudah berlalu. Aku denganmu masih saja membisu.

Tiba-tiba terdengar suara ponsel berdering. Perempuan itu mengangkatnya dan berbicara kepada seseorang yang suaranya terdengar olehku begitu genit menggodanya.

“Iya om, nanti malam ya. Sudah dekat Gambir.”

Aku tertusuk-tusuk mendengarnya. Entah kenapa aku cemburu kepada lelaki penelpon itu? Entah kenapa pula aku merasa jijik mendengar pembicaraan dua lawan jenis yang saling membakar birahi itu.

Mataku menangkap sebaris kalimat di kaca jendela. Dadaku bergemuruh menahan amarah yang kutahan-tahan.

DALAM KEADAAN DARURAT KACA DAPAT DIPECAHKAN DENGAN PALU

Ah, rasanya aku ingin memecahkan kaca jendela kereta dengan palu yang menempel di dekat kaca lalu melompat keluar gerbong. Tetapi melihat rel berada di atas ketinggian rumah-rumah, toko-toko, gedung-gedung bertingkat itu bahkan masjid Istiqlal, hal itu membuat nyaliku ciut.

Nguong! Nguoong! Nguooong!

Kereta mendekati stasiun Gambir. Beberapa peringatan dari kru kereta agar penumpang jurusan Cirebon-Gambir bersiap-siap turun terdengar seperti petir yang menyambar-nyambar telingaku.

“Sampai jumpa ya bang,” ucapmu mengajakku bersalaman.

“Sampai ketemu di lain waktu,” jawabku.

Ada yang melekat di jemariku dan serasa akupun tak ingin melepasnya. Mata perempuan itu berembun, dua buah titik air menepi di pelupuknya.

“Boleh aku tanya sekali lagi?” ujarku dengan jujur.

Perempuan itu hanya mengangguk menatapku.

“Siapa namamu?”

“Maryati kalau di Indramayu, Marlena kalau sudah di Jakarta.”

Aku tersenyum geli mendengarnya. Namun tetap tak kupungkiri kesedihan melandaku saat melepas jabat erat tangannya. Dalam hiruk-pikuk stasiun Gambir, aku terus-menerus menatap punggungnya yang melangkah pasti meninggalkanku di peron. Tepat di tangga keluar yang menurun, Maryati menolehku. Kutatap wajahnya dengan perasaan sesak di dadaku dan kurasakan dua buah titik air meleleh di pipiku seiring tubuh Maryati menuruni tangga yang memisahan itu.

“Maryati, Marlena,” ucapku lirih. Perih sekali.

Close Ads X
Close Ads X