Kenaikan Listrik Dongkrak Service Charge Mal Saham Industri Tekstil Melorot

Jakarta | Jurnal Asia
Tarif baru kenaikan listrik secara berkala yang dikenakan pemerintah terhadap industri, dipastikan bakal berdampak. Salah satu yang terkena adalah pusat perbelanjaan (mal). Keputusan ini bakal mengerek biaya service charge (tambahan) di luar ongkos sewa kios atau toko. Bahkan angkanya berkisar hingga 20-30 persen. Penegasan tersebut disampaikan Ketua Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Handaka Santosa. Ia menyatakan kenaikan tarif dasar listrik (TDL) sudah pasti berdampak, terutama pada kenaikan biaya tambahan (service charge) di pusat perbelanjaan (mal).

Biaya tambahan di luar ongkos sewa tempat itu diperkirakan bakal naik 20-30 persen. Menurut Handaka, kenaikan tarif listrik untuk golongan B2, termasuk pusat perbelanjaan, sudah diberlakukan sejak tahun lalu. “Tapi kami baru merespons pada tahun ini setelah melakukan berbagai kalkulasi,” ujarnya pada Minggu (27/4). Seperti diketahui, pada bulan Mei pemerintah akan memberlakukan tarif listrik baru untuk golongan industri menengah (I3) yang sudah tercatat di bursa, industri besar (I4), rumah tangga besar (R3), bisnis menengah (B2), bisnis besar (B3), dan kantor pemerintah sedang (P1).

Service charge adalah biaya tambahan yang harus dibayar penyewa di luar tarif sewa. Tarif tersebut meliputi fasilitas, seperti pendingin ruangan, keamanan, dan kebersihan gedung, serta biaya tambahan lainnya. Pernyataan Handaka itu sesuai dengan hasil survei Colliers. Perusahaan konsultan properti ini menyatakan kenaikan service charge pusat perbelanjaan pada awal tahun ini kembali berlanjut, dengan rata-rata kenaikan lebih dari 8 persen dari kuartal sebelumnya. Angka ini naik paling tinggi sejak dua tahun terakhir.

Colliers International Indonesia menilai kenaikan yang terjadi saat ini membuat ratarata service charge pada kuartal pertama 2014 sebesar Rp95.397 per meter persegi per bulan. Bahkan salah satu mal kelas atas di pusat bisnis Jakarta mematok harga Rp155.000 per meter persegi per bulan. Sedangkan di pinggiran Jakarta rata-rata service charge Rp76.928 per meter persegi per bulan. Wakil Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Satria Hamid Ahmadi menyatakan peritel akan menaikkan harga jual produk 10-15 persen sebagai dampak kenaikan biaya. “Itu dampak kumulatif dari kenaikan berbagai faktor produksi dan operasional kami. Mau tidak mau, konsumen harus siap,” ujarnya. Saham Tekstil Melorot Seiring kenaikan tarif listrik industri, dipastikan juga bakal berdampak kepada harga saham.

Bahkan nilai jual saham industri hulu yang sudah melantai di bursa, diprediksi terjun bebas sehingga berpotensi rugi besar. “Walaupun hanya sekitar 5% perusahaan tekstil yang melantai di bursa, tetapi mereka tetap memiliki beban tinggi dan bingung harus seperti apa. Ada diskriminasi di sini dan API harus melindungi semua,” kata Sekjen Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jabar Kevin Hartanto, Minggu (27/4).

Kevin mengungkapkan sektor hulu selama ini mengambil beban biaya produksi untuk listrik mencapai 25%. Dengan adanya kenaikan ini, maka beban untuk tarif listrik akan naik lagi sekitar 10%. Selanjutnya, ketika biaya produksi bahan baku meningkat maka harga jual barang pun akan ikut menyesuaikan, dan di sini terjadi dampak pada sektor hilir. “Ketika harga bahan baku dari dalam negeri naik maka sektor hilir akan memilih bahan baku impor. Akhirnya sektor hulu sendiri yang tidak dapat memiliki daya saing,” sebutnya.

Dia menyesalkan pernyataan pemerintah yang bertolak belakang agar industri TPT tumbuh serta memiliki daya saing. “Daya saing yang baik tentu dapat dirasakan ketika industri secara keseluruhan dapat memiliki struktur yang kuat dari hulu hingga hilir,” jelasnya.

API menilai penaikan tarif listrik ini akan berimbas pada semua sektor tekstil dan produk tekstil (TPT), termasuk di sektor hilir. Kevin Hartanto juga mengatakan, pihaknya saat ini tidak bisa berpikir lagi untuk menemukan solusi atas kenaikan listrik ini karena sudah tertekan dengan berbagai kebijakan yang bertubi-tubi. “Kami mengharapkan adanya keringanan, untuk mengharapkan mekanisme yang adil.

Seperti negara lainnya, seharusnya industri yang menggunakan banyak tenaga listrik kami bisa memperolehnya dengan biaya lebih murah,” katanya. Dia menjelaskan pemerintah tidak bisa menilai industri I3 dan I4 ini sudah mapan sehingga tidak perlu disubsidi kembali. Padahal, katanya, untuk menjaga keberadaan industri tetap tumbuh, maka pemerintah harus menjaganya. (vv/bc/Tc)

Close Ads X
Close Ads X