Kasus ‘Papa Minta Saham’ Setya Novanto Mundur?

Anggota DPR Fraksi PDIP Adian Napitupulu (kiri) bersama  anggota DPR Fraksi Nasdem Taufiqulhadi (kedua kiri), anggota DPR Fraksi Hanura Inas Nasrullah (kedua kanan) dan anggota DPR Fraksi PKB Arvin Hakim Thoha (kanan) mengangkat tangan bersama sebelum menyampaikan pernyataan sikap di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (20/11). Mereka menggulirkan mosi tidak percaya kepada Ketua DPR Setya Novanto dan mendesak Mahkamah Kehormatan Dewan segera memproses laporan Menteri ESDM Sudirman Said atas tindakan Setya Novanto. ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/foc/15.
Anggota DPR Fraksi PDIP Adian Napitupulu (kiri) bersama anggota DPR Fraksi Nasdem Taufiqulhadi (kedua kiri), anggota DPR Fraksi Hanura Inas Nasrullah (kedua kanan) dan anggota DPR Fraksi PKB Arvin Hakim Thoha (kanan) mengangkat tangan bersama sebelum menyampaikan pernyataan sikap di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (20/11). Mereka menggulirkan mosi tidak percaya kepada Ketua DPR Setya Novanto dan mendesak Mahkamah Kehormatan Dewan segera memproses laporan Menteri ESDM Sudirman Said atas tindakan Setya Novanto. ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/foc/15.

Jakarta | Jurnal Asia
Ketua DPR Setya Novanto sempat diberitakan mundur oleh kantor berita internasional Reu­ters. Dalam situs berita tersebut, mereka mengunggah sebuah be­rita berjudul “Indonesian speaker of the house resigns amid ethics pro­be-party official” pada Jumat 20 November 2015, pukul 13.33 WIB.

Dalam berita itu, Reuters me­ngutip salah satu politikus senior Golkar, Fahmi Idris. “Setya No­vanto has resigned as speaker of the house but he still remains a member of parliament,” Fahmi Idris, a senior Golkar official, told Reuters by phone. (Setya Novanto telah mengundurkan diri se­bagai Ketua DPR, tapi ia masih menjadi anggota parlemen,” kata Fahmi Idris kepada Reuters saat dihubungi Reuters melalui sambungan telepon.

Berita tersebut dilaporkan oleh wartawan Singapura, Kanupriya Kapoor, ditulis oleh Fergus Jensen, dan diedit oleh Edmund Klamann. Saat dimintai konfirmasi me­ngenai berita tersebut, po­litikus Golkar, Yorrys Raweyai, mengatakan tidak semudah itu Setya Novanto mengundurkan diri. “Ada prosedurnya. Sekarang lagi diproses MKD kan,” ujarnya.

Setya Novanto dilaporkan ke Mahkamah Kehormatan DPR oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said. Dia dituding mencatut nama Presiden Jo­ko Widodo dan Wakil Presiden Ju­­suf Kalla untuk meminta jatah sa­­ham kepada PT Freeport In­donesia.

Legawa
Mantan Menteri Keuangan era Presiden Soeharto, Fuad Bawazier meminta Setya Novanto mundur dari jabatannya sebagai Ketua DPR. Pun begitu dengan Menkopolhukam, Luhut Binsar Panjaitan.
Menurut Fuad, Setya Novanto sebagai pihak yang terlibat dalam dugaan pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden untuk memperoleh saham Freeport. Sedangkan Luhut, jelas dia, namanya disebut-sebut dalam isi rekaman lobi perpanjangan kontrak Freeport.

“Secara moral politik orang-orang yang tersangkut me­ngun­durkan diri dari jabatannya. Baik Setya Novanto maupun Luhut,” tegas Fuad melalui sambungan te­lepon, Jumat (20/11) pukul 15:25 WIB.

Sampai selesainya proses pe­me­riksaan di Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), Set­ya Novanto dan Luhut harus mem­berikan pelajaran etika politik yang baik, mundur sementara dari jabatan masing-masing. “Harus mundur Setya Novanto dan Luhut sampai pemeriksaan selesai. Belajarlah beretika politik yang baik,” pesannya.

Apalagi sikap Setya Novanto, Fuad menilai, telah mencoreng muka bangsa ini di mata dunia khu­susnya Amerika Serikat seba­gai negara asal Perusahaan terbuka Freeport. “Freeport itu, perusahaan terbuka. Kalau ada pengeluaran sebesar yang diminta itu, akan mudah ketahuan dan ter­lacak oleh badan pengawas Bursa Efek AS,” jelas Fuad.

Bahkan, kata dia, pengeluaran sebesar itu juga akan diketahui oleh FBI, dan Ditjen Pajak AS. “Tindakan ini semakin merosotkan negara kita di mata AS sebagai negara mafio. Malu-maluin itu,” tegas Fuad.

Lebih lanjut dia menyayangkan selaku ketua DPR, Setya Novanto bertemu dan mencatut nama Presiden dan Wakil Presiden untuk mendapatkan saham dari Freeport. “Dalam rekaman yang beredar itu kan tidak dibantah oleh Setya Novanto. Tapi, itu bukan bidang tugasnya DPR,” ucapnya mengakhiri.

Pasti Ada Sanksi
Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla mengatakan jika ada pelanggaran etika besar dalam polemik pencatutan nama Presiden dan Wapres pasti akan ada sanksi yang diberikan. “Saya tidak tahu aturannya. Tapi kalau terjadi pelanggaran etika besar pasti ada sanksi,” kata Wapres JK di Bandara Internasional Halim Perdanakusuma Jakarta, Jumat (20/11), ketika mengantar Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang berangkat menghadiri KTT ASEAN di Kuala Lumpur, Malaysia.

JK sendiri menegaskan telah menyerahkan proses polemik tersebut kepada Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) untuk memprosesnya. Menurut dia, di DPR ada aturan-aturan kesantunan atau etika termasuk peraturan perundangan terkait hal itu yang bisa menjadi rujukan. Ia sendiri menilai wajar ketika persoalan etik yang terjadi itu seolah ditarik ke masalah politis.

“Ya di DPR kan memang lembaga politik. Kalau bicara DPR itulan pasti sebagai lembaga politik tentu dibicarakan juga dalam konteks politik tapi tentu intinya ialah etika,” katanya.
Terkait pernyataan Menkopolhukam Luhut Panjaitan tentang langkah Menteri ESDM Sudirman Said yang tanpa restu Presiden melaporkan pencatutan nama tersebut kepada MKD, JK mengaku tidak mengetahui pembicaraan tersebut.

“Saya tidak tahu apakah pembicaraannya. Tapi setahu saya yang disampaikan Sudirman kepada saya itu dia melaporkan ke Presiden. Saya tidak tahu apa pembicaraannya terkait itu,” katanya.
JK mengaku menerima laporan itu dan karena merupakan masalah pribadi otomatis dia marah. “Ya melaporkan ke Presiden dan melaporkan ke saya karena ini masalah kami berdua, pribadi. Jadi otomatis dong musti kita marah,” katanya.

Ia mengatakan prosedur pertama penanganan masalah tersebut yakni di tingkat DPR hingga kemudian tergantung pada perkembangannya jika kemudian memungkinkan untuk ditindaklanjuti pada ranah kepolisian.

Sebagaimana diketahui, polemik pencatutan nama Presiden dan Wapres dalam renegosiasi perpanjangan kontrak karya PT Freeport Indonesia yang melibatkan Ketua DPR Setya Novanto hingga kini masih terus bergulir.

Sebelum terbang ke Kuala Lumpur, Jokowi dan JK melakukan pertemuan tertutup di Bandara Halim Perdanakusuma. JK mengaku membicarakan banyak hal termasuk salah satunya melaporkan hasil perjalanannya ke Manila, Filipina, untuk menghadiri acara APEC.

Tak Pernah Akui
Ketua DPR Setya Novanto mengakui adanya pertemuan dengan Presidr PT Freeport dan pengusaha minyak Reza Chalid. Namun Novanto tak mengakui rekaman dan transkrip pembicaraan yang dilaporkan Menteri ESDM Sudirman Said ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR.

“Saya tidak pernah akui rekaman itu, belum tentu suara saya. Bisa saja diedit dengan tujuan menyudutkan saya. Saya merasa dizalimi,” ucap Novanto sebelum berangkat ke Hambalang, di gedung DPR, Jakarta, Jumat.

Novanto untuk kesekian kalinya membantah mencatut nama Presiden dan Wapres dalam pertemuan yang diduga membahas perpanjangan kontrak PT Freeport dan disebut Sudirman meminta saham itu. “Kenapa saya harus mencatut Presiden Jokowi mengenai perpanjangan kontrak? Ngapain harus catut? Orang perpanjangan kontrak kan harus persetujuan DPR,” ujar politisi Golkar itu.

Novanto juga menegaskan dia memahami kode etik sebagai anggota dewan apalagi pimpinan yang tidak boleh menjanjikan sesuatu untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Novanto bersedia agar rekaman Sudirman itu dibuka secara utuh. “Banyak di dalam skrip yang tidak masuk, banyak yang diedit. Nanti pada saatnya kami pasti akan sampaikan. Saya minta dibuka utuh dan saya belum mengakui itu,” tegasnya.

Presiden Belum Beri Arahan
Di tempat terpisah, Kapolri Jenderal Badrodin Haiti mengaku belum mendapat arahan Presiden terkait kasus pencatutan nama dalam perbincangan Ketua DPR Setya Novanto dengan bos Freeport. Oleh karena itu Badrodin meminta agar proses MKD diselesaikan terlebih dahulu.

“Belum ada arahan Presiden. Begini, nanti duplikasi dengan kegiatan MKD. Pasti kan dia minta rekaman barang bukti. Kalau polisi minta juga kan jadi rebutan. Biar clear, silakan diselesaikan dulu (MKD), kan diserahkan di sana,” kata Badrodin di Istana Negara, Jl Veteran, Jakarta Pusat, Jumat.

Kapolri sendiri mengaku belum mengetahui detail substansi permasalahan. Belum ada laporan pula kepada polisi untuk kasus ini. “Makanya, kan saya belum tahu substansi materinya apa saja. Kan kita tahunya di media. Jadi menurut saya lebih baik diselesaikan dulu di MKD itu,” ungkap Badrodin.

Tetapi Kapolri membuka kemungkinan apabila mendapat pelimpahan dari MKD. Untuk itu Badrodin mengajak publik untuk mengawal proses di MKD. “Kami beri kesempatan pada MKD, silakan saja. Kan itu terbuka juga, bisa dikuti media,” ujar Kapolri. (tc/kc/ant/dtc)

Close Ads X
Close Ads X