Cuti Kerja demi Kesehatan Jiwa

Isu kesehatan mental memang kerap kali dikesampingkan dalam pembicaraan sehari-hari. Tidak sedikit yang menganggapnya tidak pantas untuk dibicarakan, menyiratkan aib seseorang, atau bahkan menyamakannya dengan perubahan suasana hati biasa yang tidak menuntut terapi atau perawatan intensif.

Dalam situs The Guardian diungkapkan, studi dari Time to Change lembaga asal Inggris yang memperhatikan isu-isu kesehatan mentalmenunjukkan bahwa 67 persen responden mengaku takut menyatakan diri mengidap gangguan kejiwaan kepada perusahaan atau calon perusahaan tempatnya akan bekerja. Mereka takut, begitu mengungkapkan masalah kesehatannya, kesempatan kerja, atau naik jabatan akan melayang.

Mendapati fakta seperti ini, tak heran bila cuitan Parker memunculkan simpati dari berbagai pihak, meski tak dapat ditampik, masih ada saja yang tak terkesan dan cenderung meremehkannya.

Timbulnya skeptisisme atau pandangan meremehkan isu kesehatan mental yang dimiliki seseorang tidak terlepas dari minimnya sosialisasi mengenai hal ini dan menyebarnya mitos-mitos atau stigma tentang penderita gangguan kejiwaan.

Ditulis situs Canadian Mental Health Association, terdapat sederet mitos yang dilekatkan kepada mereka yang mengalami problem mental.

Pertama, orang dengan problem mental berbahaya dan cenderung menjadi pelaku kekerasan. Faktanya, tidak semua penderita sesuai dengan mitos ini.

Sebaliknya, merekalah yang kerap menjadi korban. Dengan cara meminggirkan penderita gangguan kejiwaan, orang-orang sebenarnya telah melakukan tindak kekerasan terhadap mereka.

Pola asuh orangtua juga disebut-sebut sebagai penyebab utama timbulnya masalah mental. Meski hal ini tak salah, masih banyak faktor lain yang mungkin membuat seseorang terganggu jiwanya. Faktor genetis, biologis, lingkungan, dan pengalaman hidup tertentu berkontribusi terhadap situasi mental seseorang.

Tak sedikit orang yang dibesarkan dengan pola asuh baik mengalami gangguan kejiwaan. Bisa jadi perundungan di sekolah atau tempat kerja, serta pengalaman-pengalaman traumatis seperti paparan kondisi perang atau aksi kekerasan lainlah yang memunculkan problem-problem kejiwaan mereka.

Selain itu, sering kali orang dewasa menganggap perubahan sikap anak-anak atau remaja adalah bagian dari perkembangan yang lumrah. Pengabaian terhadap gejala depresi mereka pun tak terelakkan. Akibatnya, anak-anak dan remaja kian parah kondisi jiwanya.

Orang dewasa yang meremehkan perubahan sikap mereka juga malah membuat anak-anak dan remaja resisten untuk membicarakan masalahnya atau bahkan mendatangi para pakar psikologi untuk berobat.

(tid)

Close Ads X
Close Ads X