Sekalipun zaman sudah semakin modern, namun wanita tetap saja mengalami berbagai masalah, khususnya di dunia pekerjaan. Apa sajakah? Sejak masa R.A Kartini memperjuangkan hak wanita untuk bersekolah hingga kini, lebih dari seabad telah berlalu.
Mudah rasanya untuk merasa bangga dan puas terhadap kemajuan yang telah dinikmati di tengah-tengah perjalanan waktu tersebut: Memang banyak hak yang telah diklaim kaum wanita, namun tak sedikit juga kondisi yang masih jauh dari ideal.
Bahkan di dunia kerja—area yang hanya bisa diimpikan oleh Kartini dulu—pegawai wanita masih juga mengalami permasalahan spesifik berbasis gender. Tentu saja hal ini bukan berarti pegawai pria sama sekali tidak menghadapi masalah pelik di tempat kerja, namun sering kali isu yang dihadapi pegawai wanita dianggap sebagai sesuatu yang lazim dan harus diterima; kalau tidak suka, silahkan jadi ibu rumah tangga saja. Berikut permasalahan umum yang mereka hadapi sehari-hari di lingkungan profesional.
1. Peluang kerja Saat wawancara untuk kandidat wanita, kadang muncul pertanyaan mengenai status berkeluarga atau rencana menikah dan memiliki anak dalam waktu dekat. Pertanyaan ini muncul untuk ‘menyaring’ pegawai wanita karena perusahaan khawatir adanya konflik produktivitas saat terjadi kehamilan dan kewajiban membayarkan upah cuti hamil. Pertanyaan lain yang secara khusus mengecilkan niat kandidat wanita mencakup kebersediaan ditempatkan di kota terpencil atau pedalaman, dan bekerja lembur.
2. Kesenjangan gaji Dari data Qerja sendiri, ada ketimpangan gaji antara pegawai wanita dan pria di Indonesia sebesar 12,36 persen. Berbagai faktor yang mempengaruhi fenomena ini meliputi keengganan untuk melakukan negosiasi gaji hingga bias terhadap wanita yang sudah atau akan berkeluarga. Manajer cenderung berasumsi kalau pegawai wanita tidak akan mampu melakukan tugasnya dengan baik begitu mereka telah mempunyai anak. Hal serupa juga direfleksikan dari peluang pegawai wanita untuk dipromosi yang lebih kecil dibanding kolega pria.
3. Dilema berbusana Di banyak perusahaan lintas industri, pegawai wanita diwajibkan memakai pakaian atau aksesoris tertentu dengan peraturan spesifik seperti jenis sepatu yang dipakai, panjang rok, hingga warna lipstik yang dianggap pantas. Belum lagi mereka juga selalu terbebani dilema terkait penampilan: terlalu seksi, terlalu pendek, salah; kurang menarik, salah. Aturan yang mengikat ini jarang atau sama sekali tidak dihadapkan pada pegawai pria.
4. Pelecehan seksual Pelecehan muncul dalam berbagai bentuk dan bisa terjadi pada pegawai pria, tapi studi menemukan bahwa wanita lebih rentan terkena pelecehan karena secara umum, pria lebih banyak menempati posisi superior di tempat kerja dan struktur sosial menyebabkan wanita lebih mudah merasa terintimidasi. Lebih parahnya lagi, kasus pelecehan ini kadang tidak dilaporkan karena korban merasa malu, takut kehilangan pekerjaan, atau karena alasan lainnya.
5. Keseimbangan karier dan keluarga Menyeimbangkan antara kerja dan keluarga kadang masih menjadi beban pikiran wanita karier yang sudah berkeluarga. Tuntutan dari kedua sisi acap menimbulkan keresahan sehingga memaksa mereka memilih salah satunya dan seringnya, impian karier merekalah yang menjadi korban.
6. Persepsi negatif terhadap sikap ambisius Sebutan “bossy“, “terlalu agresif” dan “emosional” paling banyak ditujukan pada pegawai wanita, begitu hasil temuan survei Fortune terhadap lebih dari 200 ulasan performa di tempat kerja. Konotasi negatif yang mengikuti panggilan ini kadang kala bukan refleksi dari kepribadian si pegawai. Pegawai wanita yang cenderung ambisius dan blak-blakan banyak menerima sebutan tersebut karena prilaku mereka yang aktif mengejar kemajuan karier dianggap tidak sesuai dengan kepribadian tradisional wanita yang lemah lembut. Demikian ditulis situs Qerja.
(oz)