Waspada Karhutla Menyebar

Indonesia tengah menghadapi dua bencana asap sekaligus. Yang pertama merupakan bencana ‘hibrida’, kombinasi antara campur tangan manusia dengan alam. Yang kedua sepenuhnya buatan manusia. Yang pertama merupakan bencana yang punya semacam ulang tahun, kecuali di waktu-waktu tertentu ia bisa tak hadir. Yang kedua terus menerus terjadi, tak putus-putus, dan cenderung menjadi semakin buruk.

Mari kita bicarakan bencana asap yang pertama. Betul! Asap kebakaran hutan dan lahan. Biasa disingkat karhutla. Banyak pihak yang menyatakan bahwa bila belahan dunia sedang mengalami musim kering, lalu diperparah dengan El Nino, maka peluang kebakaran hutan dan lahan menjadi meningkat.

Bisa jadi begitu, namun penting untuk diingat bahwa si bocah nakal bernama El Nino itu tak pernah membawa korek. ‘Sang bocah’ tidak memantik api. Mungkin ada kebakaran hutan yang dipicu oleh kilat, tapi itu tak berapa banyak. Apalagi kilat itu tak sering-sering muncul di musim kering.

Partisipasi manusia dalam kebakaran hutan dan lahan jelas lebih tinggi proporsinya. Manusia modernlah yang membuka hutan dengan ceroboh. Dahulu, ketika masyarakat adat tinggal di hutan-hutan mereka melakukan perladangan berotasi. Mereka membakar hutan untuk membuka lahan, dan memanen rabuk buat tanaman mereka.

Tak pernah terdengar kasus hutan terbakar lantaran mereka. Tetapi, ketika modernisasi pengelolaan hutan dilakukan, HPH masuk ke tanah-tanah adat maupun tanah yang tak bertuan, transmigrasi merambah hutan, bencana kebakaran mulai terjadi. Lebih buruk lagi, ketika hutan-hutan dibuka untuk pencetakan sawah, untuk pertambangan, dan untuk perkebunan, bencana kebakaran semakin sering terdengar.

Presiden Jokowi juga merasa prihatin. Salah satu blusukan pertamanya adalah ke lokasi langganan karhutla di Riau, dan beliau memerintahkan berbagai tindakan konkret. Upaya pemerintah tidak cukup hanya sebatas menangkap pelaku pembakaran saja.

Sebab dibalik itu, ada faktor-faktor yang ikut andil dalam peristiwa tersebut. Tentu ada berbagai macam elemen yang ikut andil, seperti misalnya industri. Dalam kabar terakhir ADA perusahaan kehutanan yang terlibat beserta orang yang harus bertanggung jawab. Sikap para penegak hukum yang kurang tegas dan kurang transparan menjadi salah satu peluang bagi para penjarah hutan kian merajalela. Bahkan membebaskan para pembakar hutan itu. Miris.

Mencegah akan lebih baik daripada memadamkan kebakaran. Pencegahan dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain membuat zonasi dalam rencana tata ruang dan tata wilayah disertai pengetahuan budidaya tanaman hingga memberi sanksi administratif dan pidana tegas kepada pembakar hutan. Rakyat berharap pemerintah dapat mencegah kebakaran hutan dan lahan terulang lagi.

Motif pembakaran hutan adalah untuk membuka lahan baru atau melakukan pembabatan hutan yang dilakukan oleh para korporasi. Mereka melakukan pembakaran hutan itu untuk melanggengkan aktivitas perindustriannya.

Ketidaktegasan pemerintah dalam kasus pembakaran hutan mengakibatkan tidak adanya efek jera bagi pelaku pembakaran. Mengapa demikian? Hal itu karena sejauh ini proses hukum penyelesaian kasus pembakaran hutan dan lahan hanya ke arah personal individunya, bukan diarahkan pada kejahatan korporasi. Karena itu, tidak heran jika pembakaran tetap dilakukan oleh perusahaan yang sama.

Sebagaimana kita ketahui, hutan bukanlah sekadar tempat tinggal bagi tumbuhan dan hewan, melainkan juga sebagai penyeimbang dunia ini. Oleh karena itu, ketegasan pemerintah untuk berani menutup perusahaan yang telah terbukti melakukan pembakaran hutan merupakan langkah serius yang semestinya dilakukan. (*)

Close Ads X
Close Ads X