Oleh : Salmah Naelofaria MPd
Pancasila: satu Ketuhanan Yang Maha Esa, dua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, tiga Persatuan Indonesia, empat… (dst). Kalimat demi kalimat ini sering kali kita dengar diucapkan oleh siswa Sekolah Dasar (SD) di dalam kelas. Tidak terkecuali kita sendiri pada belasan atau puluhan tahun lalu.
Saat guru mengultimatum dengan wajah setengah memaksa untuk menghafal butir-butir Pancasila. Sedikit bercerita tentang pengalaman seorang anak SD, biasanya hafalan tersebut dilantunkan setiap memasuki kelas tepatnya setelah do’a belajar dimulai. Saat melafalkan butir-butir tersebut, banyak slide-slide imajinasi yang muncul dari sang anak.
Salah satunya ketika melafalkan butir “Ketuhanan Yang Maha Esa”, si anak selalu membayangkan bahwa Tuhan memiliki nama panggilan Esa. Berhubung anak tersebut pernah menonton sinetron yang salah satu pemainnya bernama Esa. Berbulan-bulan tertanam paradigma yang demikian, sampai suatu saat karena sangat penasaran akhirnya menanyakan kepada guru “nama panjang Tuhan itu apa?”, apakah Esa Andriani, Esa Hartono atau yang lain-lain.
Beberapa teman menertawai, tetapi ada juga yang memasang raut wajah bingung. Sontak sang guru tertawa dan menjelaskan bahwa “Esa” adalah Bahasa Sansekerta yang artinya adalah satu, Tuhan kita hanya satu. Tapi intinya waktu penulis sama sekali tidak tahu apa itu Bahasa Sansekerta, siapa dan di belahan dunia mana orang memakai bahasa itu.
Beranjak dari cerita di atas, tentu kita bisa melihat sebagian potret pendidikan Indonesia yang masih mengandalkan sistem menghafal (memorization) dalam menyajikan materi pembelajaran. Saya tidak habis pikir anda saja saya tidak menanyakan nama panjang Tuhan, saya tidak tahu kapan guru tersebut akan memberitahukannya kepada kami, karena terbukti rasa penasaran itu sempat berusia bulanan.
Kenapa masih seperti itu? Apakah dengan menghafal, siswa akan menguasai seluruh pengetahuan yang ada di muka bumi ini? Apakah dengan menghafal siswa bisa menyelesaikan persoalan pecahan atau soal bangun ruang? Apakah dengan menghafal siswa bisa mempraktekkan cara membuat layangan sebagai bahan kerajinan tangannya? Atau dengan menghafal siswa mampu menentukan mana benda padat atau benda cair? Pada satu sisi sistem ini memang mampu memacu siswa untuk menyimpan segala sesuatu yang berhubungan dengan materi pelajaran di dalam memorinya.
Namun di sisi lain, apakah hafalan itu dapat ia fahami? Apakah hafalan itu dapat bertahan lama diingatannya? Apakah hafalan itu akan membantunya mengaplikasikan segala bentuk pengetahuan yang telah ia peroleh selama pembelajaran berlangsung? Daryanto menyatakan bahwa ciri belajar efektif antara lain adalah memiliki proses belajar yang cepat dengan konteks segala perolehan dalam pembelajaran dapat bertahan lama dalam ingatan, siswa mampu menginternalisasi masukan baru dan mengintegrasikannya ke dalam kehidupan serta membentuk kreativitas.
Hal ini menunjukkan cakupan sistem pembelajaran harus mencapai target yang cukup besar yakni menginternalisasi masukan baru, mengintegrasikannya dan mencipatakan segala sesuatu yang bermanfaat dengan hasil kreasinya. Pembelajaran memang memiliki proses yang mampu mengubah rasa ketidaktahuan menjadi tahu, rasa tidak bisa menjadi bisa. Tujuan ini tidak akan tercapai jika guru hanya mengandalkan sistem memorization. Sistem ini hanya mengandalkan kemampuan siswa mengingat dan acap kali tidak dibarengi dengan kemampuan memahami konteks yang dihafal.
Dalam hal ini guru hanya menyampaikan materi yang bersifat ilmu pengetahuan dengan tujuan agar siswa tahu dan mengingatnya. Sistem tersebut sangat didukung oleh test di Indonesia yang didominasi oleh test objektif pilihan ganda. Bentuk tes yang demikian benar-benar mendukung konsep memorization.
Tes ini tidak akan menghasilkan gambaran mana siswa yang menjawab benar dan faham serta bisa mengaplikasiikan atau siswa yang kebetulan menjawab benar tanpa memahami apalagi menginternalisasikan masukan baru untuk pengetahuan yang berhasil dijawabnya. Fenomena yang demikian sangat menganggu sistem pembelajaran bahkan sumber daya manusia kita sendiri.
Sistem memorization yang tidak diiiringi dengan pemahaman dan pengaplikasian secara kontekstual hanya melahirkan genarasi benar salah tanpa alasan yang logis serta pertimbangan nurani (dalam konteks tertentu). Konteks ini akan berkembang menjadi bentuk tingkah laku siswa dimana ia akan menilai benar jika yang dapati sesuai dengan yang ia hafal.
Tapi saat menemukan suatu hal yang ia anggap berbeda dengan hasil memorinya maka ia menyatakan itu salah. Produktivitas manusia tidak akan bisa dinilai dari satu sudut pandang saja, keberadaan suatu benda atau objek juga tidak bisa diputuskan dengan satu teori saja, di samping teori kita butuh pengalaman (empiris), kita butuh pandangan nilai, pola hidup dan sebagainya. Maka memorization akan menyempitkan kepentingan-kepentingan itu sehingga sudut pandang yang dipakai adalah sesuatu yang kecil serta tidak jarang diikuti oleh pemahaman yang dangkal.
Kembali ke pengalaman saat melafalkan butir-butir Pancasila tadi. Beberapa dari siswa tidak dapat memahami apa yang sebenarnya mereka ungkapkan, ia menyadari bahwa Pancasila adalah lantunan yang wajib dihafal oleh semua siswa, jika tidak maka dia bukanlah siswa yang baik. Mendapat hukuman saat tidak melafalkan dengan benar, mendengarkan lafal itu di setiap pelaksanaan upacara bendera sambil cekikikan memperhatikan pembina upacara yang bertubi-tubi membaca teksnya di depan.
Itu sekelumit gambaran memorization dalam skop kecil. Sedikit mengajak pembaca berimajinasi, jika saja sebelum memerintahkan siswa menghafal butir-butir tesebut guru menceritakan apa makna setiap kata di dalamnya mungkin tidak sedikit siswa yang mampu mengubah dirinya menjadi seseorang yang khidmat saat melafalkannya. Tapi tidak, di lapangan sering kita temukan manusia dewasa yang tidak mampu mengejawantah dirinya menjadi seorang perenung saat butir-butir dasar negara tersebut didengungkan. Begitulah hasil dari pengetahuan yang sekedar tau tanpa pemahaman, tanpa pengaplikasian dan tanpa mengenal konteks.
Apakah sistem pembelajaran kita bisa bertahan dengan hal yang demikian? Sepertinya jika pembelajaran terus-menerus belum membangun dirinya mengolah budaya memorization menjadi memorization yang benar-benar tersimpan di memori dan jiwanya maka kita tidak akan bisa menghasilkan sumber daya manusia seperti yang termaktub di dalam tujuan pendidikan nasional kita.
Memorization yang tidak terkordinir dengan baik akan menghasilkan banyak ketimpangan dalam dunia pendidikan kita, antara lain siswa akan terbiasa dengan menggunakan paradigma satu arah ; selalu menilai dengan benar/salah tanpa alasan. Jika sesuai hafalan maka benar, jika tidak maka salah. Dalam konteks kehidupan lama kelamaan sikap ini akan membentuk kepribadian yang menilai segala sesuatu namun tidak mampu memberikan alasan bahkan pemecahan terhadap masalah tersebut.
Sistem ini akan membuyarkan ide-ide yang kedudukannya tidak lagi kuat. Kebungkaman ide akan menutup jalanya tukar pikiran atau sharing antar siswa, karena mereka telah memakai indikator hafalan sehingga tidak membutuhkan lagi pertukaran pengalaman, ide, pandangan dan sebagainya. Kenyataan yang demikian tentu berdampak pada komunikasi, di mana komunikasi tidak lagi dibutuhkan dalam memecahkan masalah ataupun pembahasan pengetahuan. Etika dalam berkomunikasipun tidak akan pernah terlintas dalam paradigma mereka.
Yang penting apa yang telah ada di dalam memori itulah yang benar. Memorization yang disalahgunakan pun akan menjadikan siswa tidak terlatih berpikir kreatif. Siswa hanya tahu dan tahu pengetahuan (ilmu sosial dan alam) dasar yang tertulis dalam buku teks. Siswa hanya dipacu untuk menggunakan daya ingatnya saja, tidak daya nalarnya. Siswa cuma dibentuk sebagai pengganti kamus pintar.
Bagaimana siswa akan menggunakan daya pikirnya dengan maksimal jika pemahamannya diikat begitu saja ke dalam konteks yang begitu monoton di dalam hafalan? Tidak ada emosi yang terpakai dalam sistim pembelajaran tersebut.
Jika diibaratkan dengan electrocardiogram (alat pendeteksi detak jantung manusia) maka skema gangguan adalah hal yang cocok untuk menggambarkan keberadaan memorization dalam sistem pembelajaran. Tidak menghasilkan goretan naik atau turun sama sekali, tidak ada kreativitas semua terkunci dalam hafalan. Sementara sistem pembelajaran yang baik adalah sistem pembelajaran yang melibatkan emosi.
Emosi dalam hal ini adalah rasa keingintahuan, tanggung jawab, kemauan serta berbagai sikap belajar siswa yang lainnya dalam menunjang keberhasilan pembelajaran. Pembelajaran yang baik tidak hanya menunggu perkembangan kognitif saja melainkan menuju perkembangan sikap ke arah yang lebih positif.
Di dalam memorization tidak akan ada ditemukan pembentukan sikap kecuali sikap memacu agar segera hafal dan bisa menjwab sesuai hafalan. Memorization akan menutup kemungkinan siswa untuk melibatkan diri dan emosinya dalam objek pengetahuan yang ia hafal, siswa tidak akan tertarik untuk menemukan apa yang ia pelajari dalam kehidupan nyata, siswa tidak akan menemukan kesalahan dan cara memperbaiki kesalahan terkait dengan ide pengetahuan yang ia dapatkan. Ia hanya terpacu di dalam konteks memori yang telah diwarnai oleh hafalan-hafalan pelajaran sepanjang hari.
Kita perlu mengatasi kekurangan dari sistem pendidikan hafalan yag sudah dari dulu dikenal di Indonesia, perubahan dengan melakukan pembenahan dalam cara mengajar. Cara mengajar yang hanya dititikberatkan pada penyampaian materi pelajaran satu arah harus dirubah dengan cara ajar-mengajar yang mengajak siswa untuk berpikir dua arah.
Berpikir secara mandiri dan bersama-sama dengan siswa lain dan guru sebagai satu kelompok. Berpikir dan mengemukakan hasil pemikirannya dalam bentuk pendapat kepada siswa lain dan guru. Ini bisa diwujudkan dalam bentuk cara belajar yang interaktif.
Keseimbangan antara pemikiran, emotif, dan kebijakan untuk mengaplikasikan pengetahuan siswa akan terbetuk dengan sistem pembelajaran yang aktif. Guru harus memiliki banyak waktu luang untuk menghapus kebiasaan perintah memorization pada siswa. Guru merupakan fasilitator yang mengarahkan dan membimbing siswa dalam memperoleh pengetahuannya, bukan yang mengkungkungnya di dalam satu kardus hafalan yang mematikan kreasi anak itu sendiri.
Penetapan tujuan pendidikan tidak hanya terpaut dalam hasil namun orientasi juga dialaskan pada kesuksesan proses. Guru harus mampu menekankan materi pelajaran dengan perintah menganalisa dan menghasilkan, tanpa didominasi oleh pelafalan dan penjawaban benar salah tanpa alasan.
Dengan demikian keberhasilan belajar tidak hanya terlihat dari kemampuan dan proses belajar siswa namun pada perubahan pemikiran dan paradigma siswa dalam menyikapi pegetahuan guna aplikasi ke depan yang dapat memberikan makna bagi kehidupannya maupun orang di sekitarnya.
Dengan demikian, kikis sistem hafalan tanpa bimbingan dan arahan. Virus memorization tidak akan memberi banyak warna bagi kehidupan belajar siswa, ia akan membekuk siswa dalam lingkaran kecil tanpa kreativitas dan kepekaan sekitar.
*)Penulis Dosen Fakultas Bahasa dan Seni – Universitas Negeri Medan
(1)