Utang Kampanye Bang Pohan

DI INDONESIA, politik dan uang belum sepenuhnya bisa dipisahkan. Demi kekuasaan semua cara dihalalkan. Proses demokrasi yang suci mereka anggap bisa dibeli. Dalam pandangan sebagian orang di negeri ini, uang dan politik memang identik.

Contohnya saja, Ramadhan Pohan yang terpaksa berurusan dengan polisi, akibat memiliki hutang belasan miliar rupiah. Bukan tanggung, angka fantastis itu ternyata diduga dari dana yang terpakai saat kampanye 2015 dahulu. Merupakan ‘setoran’ dari kolega-koleganya untuk pemenangan beliau ke kursi Medan-1. Namun apa daya, meski demikian, Pohan tetap saja kalah dan Eldin yang naik menduduki tahta Walikota medan.

Sebenarnya, hal ini sudah dianggap lazim. Praktik kotor terselubung, marak dalam dukung-mendukung sang jagoan. Namun ada yang diam bila kalah, nah sekarang malah berkoar-koar akibat uang pinjaman bejibun tak dibayar. Seperti inilah insiden dialami konco-konco dari Ramadhan. Pusing karena utang tak kunjung dilunasi, terpaksa melapor dan ‘menggunakan’ tangan polisi, agar sang politikus Demokrat tersebut mau membayar.

Fenomena ini juga sangat lazim terjadi, bukan hanya kepada Pilkada saja, melainkan juga ketika hendak mencalonkan diri menjadi anggota dewan. Demi sebuah jabatan atau menjadi anggota dewan, seseorang rela mengeluarkan uang miliaran rupiah. Dalam prosesnya uang disebar selama masa kampanye atau sebelum terpilih. Celakanya tak semua uang yang disebar merupakan dana pribadi, ada sebagian yang merupakan utang.

Akibatnya calon yang gagal terpilih banyak yang mengalami stres. Apalagi mereka yang telah mengeluarkan uang hingga miliaran rupiah. Banyak kita dengar calon anggota legislatif yang stres, karena gagal menjadi anggota dewan. Khususnya mereka yang tidak siap mental dan tidak mengukur kemampuan keuangan. Sosialisasi kampanye yang menghabiskan dana besar dan tekanan sosial menjadi penyebab utamanya.

Pola pikir keliru, kalau dalam menjabat selama lima tahun maka modal akan kembali. Meski modal awalnya besar, mereka yakin dalam waktu sebentar akan terbayar setelah resmi menjadi anggota parlemen ataupun kepala daerah.

Tidak mengherankan seorang caleg atau Kepala dareah memiliki kejiwaan buruk, bakal menghalalkan segala cara untuk mengembalikan modalnya, termasuk berbuat korupsi. Kondisi kejiwaan seseorang yang labil dan tidak siap mental cenderung memicu perilaku korup. Mereka itu ngutang gila-gilaan dan banyak ngomong sosialisasi ke masyarakat. Kalau enggak siap mental dan resikonya ya stres. Sering tidak realistis dan tak mengukur kemampuan sendiri.

Dari awal seharusnya partai politik bisa kritis dalam menyaring kualitas Kepala Daerah, ataupun calon legislatif dengan kriteria yang ketat. Bukan hanya memprioritaskan uang semata atau popularitas. Persoalan ini dilihat masih membingungkan karena banyak diantara mereka yang tidak jelas kualitas kemampuan dan latar belakangnya. Kalau tak keluar banyak duit ya santai. Tapi, yang keluar duit banyak ini yang perlu dilihat. Imbasnya ya seperti sekarang.

Lagi-lagi polisi diibaratkan jadi penagih hutang, sebagai perpanjangan tangan dari korban kepada pelaku. Sayangnya dalam kasus Ramadhan Pohan, yang bersangkutan lepas dari penahanan meski memiliki hutang Rp15,3 miliar. Oalah…!!!! (*)

Close Ads X
Close Ads X