Oleh : Sagita Purnomo
Wilayah Indonesia bagian Timur, terutama Provinsi Papua, keberadaan infrastruktur sangatlah terbatas. Hal ini menjadi kendala yang sangat berarti bagi mobilitas logistik dan kegiatan lainnya, alhasil pembangunan di Papua menjadi sangat tertinggal dibandingkan dengan provinsi-provinsi lainnya secara nasional.
Pemerintah dari generasi kegenerasi terkesan kurang memberi perhatian pada provinsi dengan julukan surga yang tercecer ini, padahal potensi sumber daya alam bumi Papua merupakan salah satu yang terbaik di Indonesia dan paling sering diekploitasi.
Minimnya pembangunan dan infrastruktur seakan mengisolasi Papua. Bahkan untuk harga bahan bakar minyak (BBM) terutama di daerah pedalaman, harganya bisa mencapai sepuluh kali lipat dibanding harga normal.
Ini menjadi salah satu penyebab tingginya angka kebutuhan hidup di Papua. Untungnya pemerintah mulai menyadari masalah kesenjangan ini dengan mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) Nomor 36 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Kebijakan Bahan Bakar Minyak (BBM) Satu Harga yang mulai berlaku per 1 Januari 2017.
Dengan dikeluarkannya PP 36 Tahun 2016 ini, Pertamina harus merelakan sebagian kecil labanya untuk menutupi cost produksi sembari menanti pembangunan infrastruktur yang merata di Papua. Pasalnya, biaya operasional distribusi logistik (minyak) di Papua memerlukan dana yang tidak sedikit hingga ratusan miliar.
Sebagaimana kita ketahui bersama, minyak merupakan salah satu kekayaan negara yang dikelolah oleh negara dan diperuntukkan demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (amanat Pasal 33 ayat 3 UUD 1945).
Artinya, pemerintah harus mampu mengelolah dan menyediakan bahan bakar minyak dengan harga terjangkau (sama) di seluruh wilayah Indonesia. Dengan adanya perbedaan harga minyak di Papua selama ini merupakan bentuk ketidak mampuan Pemerintah dalam memenuhi kebutuhan rakyat.
Merugi?
Kebijakan BBM satu harga disambut baik oleh masyarakat Papua. Dengan kebijakan ini, beban masyarakat Papua dapat sedikit dikurangi (meski tidak terlalu signifikan). Namun sangat disayngkan, PT. Pertamina justru ‘rewel’ dengan program BBM satu harga.
Mereka berpendapat bahwa, dibanding menutupi biaya operasional logistik. Pasalnya, karena keterbatasan infrastruktur untuk mendistribusikan BBM di Papua, Pertamina hanya dapat menggunakan transportasi udara ke chekpoint pertama.
Selanjutnya BBM tersebut harus kembali dibawa mengarungi sungai deras berbatu menggunakan prahu kecil, atau diangkut dengan menunggangi kuda menyusuri lembah. Cost pengangkutan logistik ini jauh lebih mahal berlipat-lipat dibandingkan dengan harga BBM yang dibawa.
Karena kebijakan satu harga BBM, Pertamina menyebutkan bahwa ongkos distribusi ke Papua menimbulkan kerugian sebesar Rp800 miliar per tahunnya. Meski demikian, pemerintah menilai kerugian tersebut tidak terlalu berarti mengingat Pertamnia setiap tahunnya berhasil mengantongi laba kotor sebesar 40 Triliun.
Angka Rp 800 miliar untuk satu harga BBM tersebut tidak sebanding dengan kemajuan perekonomian di daerah-daerah pelosok. Oleh karenanya pemerintah tetap ‘memaksa’ pertamina mendukung PP 36 Tahun 2016 ini.
Pemerintah berdalih saat ini tengah mengebut pembangunan infrastruktur di Papua, oleh kerena itu pemerintah optimis akan memberlakukan kebijakan BBM satu harga meski harus mengurangi laba Pertamina.
Menurut Menteri ESDM Ignasius Jonan, menegaskan bahwa program pemerataan harga BBM di seluruh Indonesia tetap berjalan. “BBM satu harga sudah komitmen untuk tidak diubah apapun juga. Karena ini keputusannya untuk pemerataan pembangunan. Karena di UU migas pun migas untuk kesejahteraan rakyat. Nah ini bagian dari itu,” tuturnya.
Mantan Menteri Perhubungan itu juga menegaskan, dirinya tidak peduli jika keuntungan PT Pertamina (Persero) berkurang atas program tersebut. Dia juga meminta agar Pertamina tidak terus mengeluh untuk melaksanakan program BBM satu harga.(Jurnalasia.com)
Demi mewujudkan satu harga BBM secara nasional, pemerintah juga tidak dapat dikatakan bijaksana jika terus memaksa Pertamina untuk merugi. Bagaimanapun juga pembangunan infrastruktur dan sarana-prasana harus terus dikebut dan disediakan merata tanpa memandang status wailayah Barat, Tengah dan Timur.
Dengan meratanya pembangunan, akan memperlancar mobilitas logistik, memajukan dunia investasi dan mempercepat laju pertumbuhan perekonomian suatu daerah. Sumber masalah kesenjangan di Indonesia (terutama di Papua) dikarenakan ketidakmerataan pembangunan.
Sudah sepatutnya pemerintah menyelesaikan masalah ini demi memajukan kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
*) Penulis adalah Alumni UMSU 2014