Toleransi Versus Intoleransi

Bila muncul pertanyaan, mana lebih mudah, menjadi toleran atau intoleran, maka sementara ini harus diakui, menjadi intoleran lebih mudah daripada menjadi toleran. Faktanya, tindakan intoleran seperti kekerasan, intimidasi, penyerangan sebuah kelompok terhadap kelompok lain, bahkan terorisme telah menjadi laku dari sebagian kelompok atau ormas.

Karena itu, fakta intoleransi telah menyita perhatian banyak pihak untuk melihatnya sebagai problem yang harus diselesaikan selekas mungkin. Tidak terelakkan, dari Presiden hingga masyarakat biasa umumnya resah dan gelisah atas meluasnya aksi-aksi intoleran.

Pemerintah berkali-kali menyampaikan keseriusannya untuk menindak ormas yang menggunakan dan menyebarkan kekerasan. Tidak sedikit dari elemen masyarakat meminta agar pemerintah mengambil sikap, baik membekukan maupun membubarkan ormas yang menggunakan kekerasan. Polemik tidak terhindari seputar perlunya merevisi Undang-Undang Ormas termasuk dalam memperjelas larangan penggunaan kekerasan dalam kegiatannya.

Fakta bahwa sebagian ormas menjadikan kekerasan sebagai bagian aktivitasnya, membuka kesadaran kolektif perihal pentingnya mengubah fakta intoleransi menjadi fakta toleransi.

Transformasi dari intoleransi menjadi toleransi merupakan salah satu ukuran maksimal keadaban dan peradaban sebuah bangsa. Semakin toleran sebuah bangsa, tingkat keadaban publik dan peradabannya akan maksimal.

Karena itu, toleransi merupakan nilai dan sikap yang harus ditumbuhkembangkan dalam dan bagi seluruh warga, khususnya ormas sebagai bagian dari masyarakat sipil yang sejatinya dapat memedomani keadaban publik, bukan kekerasan atas publik.

Michael Walzer (1997) memandang toleransi sebagai keniscayaan dalam ruang individu dan ruang publik karena salah satu tujuan toleransi adalah membangun hidup damai (peaceful coexsistance) di antara pelbagai kelompok masyarakat dari pelbagai perbedaan latar belakang sejarah, kebudayaan, dan identitas.

Toleransi, menurut Walzer, harus mampu membentuk kemungkinan-kemungkinan sikap, antara lain sikap untuk menerima perbedaan, mengubah penyeragaman menjadi keragaman, mengakui hak orang lain, menghargai eksistensi orang lain, dan mendukung secara antusias terhadap perbedaan budaya dan keragaman ciptaan Tuhan. Yang terakhir kemudian populer dengan istilah multikulturalisme.

Karena itu, diperlukan pemikiran baru tentang toleransi. Hidup toleran harus diterapkan pada individu dan kelompok sesuai amanat konstitusi. Bila ada warga negara yang melapor adanya intimidasi dan teror akibat perbedaan pandangan, pemerintah semestinya melindungi hak warga negara itu, apa pun latar belakang kelompok dan kelasnya.

Bila pemerintah tidak melakukannya, dikhawatirkan akan muncul reaksi balik dari kalangan moderat dan toleran untuk mengambil alih peran yang tidak dilakoni pemerintah. Artinya, akan muncul benturan di antara kelompok masyarakat.

Bila itu yang terjadi, bangsa ini seperti anak ayam kehilangan induk. Pepatah Arab berbunyi, Antara ada dan tidak ada sama saja (al-wujûd ka al-‘adam). Karena itu, pernyataan dan janji pemerintah untuk menindak tegas ormas yang mengusung dan melakukan anarkisme harus dibuktikan sesuai amanat Pancasila dan UUD 1945.

Siapa, kapan, dan bagaimana tindakan intoleran itu dilaksanakan, sebenarnya seluruh penghuni republik ini tahu. Kita tunggu keberanian dan tindakan tegas pemerintah. (*)

Close Ads X
Close Ads X