Tergerusnya Moral Pelajar

Oleh : Satriana Sitorus

Sebagai seorang guru, penulis merasa miris melihat perilaku siswa-siswi Sekolah Menengah Atas (SMA) masa kini. Pasalnya, siswa sekarang memiliki pola hidup gelamor (mewah) layaknya kehidupan FTV.

Untuk siswi, mereka berdandan mengikuti gaya para bintang sinetron TV, rambut pirang, make-up tebal, menggunakan soflents berwarna di mata. Bahkan, yang lebih parahnya lagi sebagian besar siswi tidak malu menggunakan pakaian ketat dan mencolok.

Sementara untuk siswa, biasanya mengikuti dandanan anak band masa kini. Celana kuncup seperti pensil, rambut gondrong berponi dan berjambul plus kebiasaan jarang membawa buku. Hal ini sangat berbeda jauh dengan masa penulis SMA dahulu (2007).

Saat itu, kami tidak terlalu mencolok dalam berdandan. Siswa di zaman itu lebih suka tampil apa adanya tanpa mengandalkan dandanan mencolok. Bahkan kami tidak sungkan ke sekolah dengan mengendarai sepeda. Keadaan ini sangat bertolak belakang 180 derajat dengan pelajar masa kini yang biasanya memilih untuk membawa kendaraan pribadi (motor dan mobil).

Memprihatinkan

Sebagai seorang guru, pastinya sangat jengkel ketika sedang menerangkan pelajaran tetapi siswanya justru asyik dengan smartphone yang mereka genggam. Alhasil bahan dan materi yang disampaikan tidak sampai dan tidak dapat dipahami oleh sebagian siswa.

Hal ini tentu saja mempengaruhi prestasi mereka setiap semesternya. Yang lebih lucunya lagi, ketika usai Ujian Akhir Sekolah (UAS) sebagian siswa berbondong-bondong menjumpai guru bidang studi yang bersangkutan untuk meminta agar nilai dapat diperbaiki, sampai-sampai mereka tidak sungkan untuk menyertakan orangtuannya.

Setiap guru pasti akan merasa serba salah, jika dihadapkan dengan kondisi seperti ini. Disatu sisi, sebagai seorang guru alangkah sangat tidak bijaksana jika menerima pemberian dari siswa yang notabenya masih menjadi tanggungan orangtua.

Namun di sisi lain, pastinya hati nurani akan membrontak melihat orangtua memohon di hadapan guru untuk memperbaiki nilai anaknya.

Kebiasaan buruk inilah yang merusak nilai-nilai luhur pendidikan Indonesia. Sebagai seorang guru seharusnya membimbing dan memotivasi siswanya di sekolah untuk menjadi lebih baik lagi.

Membimbing, mengarahkan serta mengasuh murid dengan baik dan benar sesuai dengan pendapat Ki Hadjar Dewantara ‘Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mbangun Karso, Tut Wuri Handayani’. Begitu juga para siswa jika ingin mendapatkan nilai yang baik belajarlah dengan benar dan tekun. Bukannya menempuh jalan pintas yang praktis dan ekonomis.

Pendidikan dan Kekerasan

Sistem pendidikan di Indonesia sudah menyimpang dari tujuan utama. Pasalnya, sampai saat ini masih banyak oknum guru yang memilih atau bahkan menggunakan kekerasan dalam proses belajar mengajar.

Ada oknum guru yang menggunakan cara-cara kekerasan sebagai solusi terbaik dalam mendidik siswanya, seperti memukul atau mencubit murid yang tidak mengerjakan PR atau enggan disuruh untuk mengerjakan soal.

Sungguh miris rasanya melihat kondisi ini, bagaimana mungkin seorang guru yang berperan sebagai orangtua kedua di luar rumah, justru menyakiti anak didiknya. Budaya inilah yang membuat pendidikan di Indonesia semakin mundur setiap tahunnya.

Menurut Education For All Global Monitoring Report 2012 yang dikeluarkan oleh UNESCO setiap tahunnya, pendidikan Indonesia berada di peringkat ke-64 di seluruh dunia dari 120 negara. Data Education Development Index (EDI) Indonesia, pada 2013 Indonesia berada di peringkat ke-69 dari 127 negara. (okezone.com).

Jika hal ini dibiarkan begitu saja, bangsa ini akan kehilangan harapan pada generasi-generasi penerusnya yang berbudi pekerti luhur dan berkeilmuan. Bukan hanya itu, Indonesia bisa menjadi negara yang terbelakang dan tertinggal. Lantas bagaimana cara untuk menangani permasalahan ini.

Pertama, orangtua harus lebih memperhatikan anaknya baik di rumah maupun di luar. Meski orangtua memiliki segudang harta yang melimpah, kesibukan bisnis disana-sini untuk memenuhi kebutuhan finansial keluarga, hingga tidak memperdulikan anak-anaknya.

Orangtua harus mencintai anaknya dengan kasih sayang yang tulus. Pada hakekatnya cinta yang tulus itu seperti ombak di laut yang dapat meruntuhkan batu karang raksasa di tepi pantai.

Kedua, siswa harus sadar dan bermawas diri dengan menjalankan amanat orangtua untuk belajar dengan baik dan tidak menyalah gunakan berbagai bentuk fasilitas yang di berikan.

Sementara untuk guru, harus menjalankan tugas dan kewajibannya dengan baik jadikan siswa itu sebagai prioritas utama bukan dijadikan sapi perah untuk dieksploitasi. Semoga pendidikan di Indonesia menjadi lebih baik lagi. Aamiin.

*) Penulis Alumni FAI UMSU

Close Ads X
Close Ads X