Suara Calon Tunggal Persempit Peluang Sengketa Pilkada

Oleh : D.Dj. Kliwantoro

Perolehan suara pasangan calon tunggal di sembilan kabupaten/kota yang menggelar pemilihan kepala daerah, 15 Februari 2017, tampaknya mempersempit peluang terjadinya sengketa pilkada.

Pasalnya, perbedaan pe­rolehan suara antara pasangan calon tunggal dan kotak kosong agaknya tidak memenuhi syarat untuk mengajukan permohonan perkara perselisihan hasil pe­milihan (PHP) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Ketentuan bisa-tidaknya me­ngajukan permohonan seng­keta pilkada ke MK termaktub di dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 4 Tahun 2015 ten­tang Pedoman Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota dengan Satu Pasangan Calon.

Pasal 11 Ayat (2) PMK No. 4/2015, disebutkan bahwa ka­bupaten/kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 250.000 jiwa, pengajuan per­mohonan dilakukan jika terdapat perbedaan perolehan suara paling banyak 2 persen antara “setuju” (pasangan calon tunggal) dan perolehan suara “tidak setuju” (kolom kosong) berdasarkan hasil penghitungan suara oleh termohon.

Ketentuan berikutnya jumlah penduduk lebih dari 250.000 s.d. 500.000 selisihnya paling banyak sebesar 1,5 persen; lebih dari 500.000 jiwa s.d. 1.000.000 jiwa, terdapat perbedaan perolehan suara paling banyak sebesar 1 persen; lebih dari 1.000.000 jiwa selisihnya 0,5 persen.

Jika kita melihat hasil se­mentara (vide web KPU pil­kada2017.kpu.go.id) sembilan ka­bupaten/kota di antara 101 daerah yang menggelar pil­kada serentak tahap kedua, 15 Februari 2017, tampaknya tidak sampai MK memutus per­kara perselisihan penetapan perolehan suara hasil pilkada di sembilan daerah itu.

Misalnya, di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, pasangan calon tunggal H Haryanto SH MM MSi dan H Saiful Arifin meraih 74,52 persen (519.610 suara) atau selisihnya relatif jauh dengan kotak kosong yang meraih suara sebanyak 25,48 persen (177.694 suara).

Begitu pula, di Kota Te­bing­tinggi, Sumatera Utara, pasangan calon tunggal Ir H Umar Zunaidi Hasibuan MM dan Ir H Oki Doni Siregar me­raih 71,39 persen (41.937 suara), sedangkan kotak kosong sebanyak 28,61 persen (16.807 suara).

Berikutnya, di Kabupaten Tulang Bawang Barat, Provinsi Lampung, pasangan calon tunggal Umar Ahmad SP dan Fauzi Hasan SE MM meraih 96,75 persen (167.512 suara), sedangkan kotak kosong tercatat 3,25 persen (5.625 suara).

Pasangan calon tunggal dr Karolin Margret Natasa dan Herculanus Heriadi SE di Ka­bupaten Landak, Kalimantan Barat, meraih 96,72 persen (226.378 suara), sedangkan kotak kosong meraih 3,28 persen (7.673 suara).

Kotak kosong di Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara, per­sentasenya lebih banyak da­ripada delapan daerah lain yang pesertanya juga satu pa­sang calon. Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Buton Samsu Umar Abdul Samiun SH dan Drs La Bakry MSi meraih 55,08 persen (27.512 suara), sedangkan kotak kosong meraih 44,92 persen (22.438 suara).

Di Kabupaten Maluku Tengah (Maluku), pasangan calon tunggal Tuasikal Abua SH dan Martlatu L Leleury SE meraih 70,82 persen (146.078 suara), sedangkan kotak kosong meraih 29,18 persen (60.187 suara).

Selanjutnya, di Kabupaten Tambrauw, Papua Barat, pa­sangan calon tunggal Gabriel Asem SE MSi dan Mesak Metusa­la Yekwam SH meraih 85,98 persen (4.876 suara), sedangkan kotak kosong meraih 14,02 persen (795 suara).

Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Sorong, Papua, yang juga hanya diikuti satu pasang calon, kotak kosong hanya mampu meraih 21,75 persen (17.159 suara), atau lebih unggul pasangan calon tunggal Drs Ec Lamberthus Jitmau MM dan dr Hj Pahima Iskandar dengan jumlah 61.742 suara atau 78,25 persen.

Pilkada di Kota Jayapura, Papua, pasangan calon Dr Drs Benhur Tomi Mano MM dan Ir H Rustan Saru MM meraih 84,54 persen (105.610 suara), sedangkan kotak kosong 15,46 persen (19.310 suara).

Keberadaan Pemantau Ke­beradaan pemantau pemilihan dalam pilkada dengan satu pa­sangan calon sebenarnya cukup berperan karena bisa mengajukan permohonan per­kara perselisihan hasil pilkada ke MK.

Praktisi pemilu Dr Teguh Purnomo mengemukakan, bah­wa tidak hanya pasangan calon yang bisa mengajukan per­mohonan perkara perselisihan hasil pemilihan kepala daerah dengan satu pasangan calon, tetapi juga pemantau pilkada.

Teguh yang juga Koordinator Divisi Pencegahan dan Hubu­ngan Antarlembaga Bawaslu Pro­vin­si Jawa Tengah menegaskan bahwa pilkada dengan satu pasang calon berpeluang terjadi sengketa pilkada meski para pendukung “kotak kosong” tidak bisa mengajukan permohonan ke MK.

Kendati demikian, lanjut Teguh, hanya pemantau pe­milihan yang bersertifikat yang bisa mengajukan permohonan itu ke MK.

Ia menegaskan, bahwa pe­mantau yang tidak terdaftar dan tidak memperoleh akreditasi dari KPU kabupaten/kota tidak bisa mengajukan permohonan itu, sebagaimana ketentuan di dalam PMK No. 4/2015.

Yang menjadi pertanyaan, apakah di sembilan daerah itu sudah ada pemantau yang mengantongi akreditasi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) kabupaten/kota setempat? Khu­sus di Pati, menurut ang­gota KPU Kabupaten Pati Supriyanto yang menangani Divisi Pemantauan, Pemungutan, dan Penghitungan Suara, Data, dan Informasi, pihaknya belum mengeluarkan akreditasi untuk pemantau pe­milihan.

“Sampai dengan 2 Januari 2017, batas akhir pendaftaran pemantau, tidak ada pemantau dalam negeri yang mendaf­tar untuk mendapat akreditasi dari KPU Kabupaten Pati,” kata Supriyanto.

Sementara itu, waktu pen­daftaran pemilih berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 3 Tahun 2016 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tahun 2017, mulai 1 Juni 2016 sampai dengan 14 Januari 2017.

Jika tidak ada permohonan perselisihan hasil pemilihan (PHP), KPU kabupaten/kota setempat menetapkan pasangan calon terpilih pada tanggal 8 s.d. 10 Maret 2017. (ant)

Close Ads X
Close Ads X