Sorot Perusak Danau Toba

Kerusakan danau toba memang sudah berlangsung bertahun-tahun lamanya. Namun hal ini baru mulai dibahas secara serius, sejak keinginan pemerintah yang dikoordinir Rizal Ramli selaku Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, ingin menjadikan kawasan ini sebagai Monaco of Asia. Rizal Ramli bakal menuntut sejumlah perusahaan perikanan yang beroperasi dan dinilai merusak ekosistem perairan yang ada di Danau Toba

Sikap tegas Pemerintah ini haruslah dikawal dan jangan biarkan Menteri Rizal Ramli jalan sendiri. Untuk itu, semua Pecinta Danau Toba, pemerhati, perorangan, atau apapun sebutan lainnya, termasuk LSM, organisasi, partai, lembaga bantuan hukum dan lainnya harus secara bersama-sama menggugat para perusak lingkungan ini.

Pokok-pokok pikiran semua pihak karena Danau Toba butuh pembenahan, pengelolaan yang komprehensif danketerpaduan berbagai pihak. Hanya dengan niat, motivasi dan keterpaduan, kerusakan yang ada di Danau Toba dapat dipulihkan dan dikembangkan sehingga Kawasan Danau Toba dapat diandalkan sebagai daerah wisata yang dikagumi, diunggulkan dan bermanfaat bagi warga Dunia. Kalau tidak, Danau Toba hanya sebuah kenangan sejarah yang indah saja

Siapa yang tak mengakui keindahan dan dahsyatnya pesona alam kawasan Danau Toba? Setiap orang yang melihatnya niscaya akan takjub berdecak kagum akan keindahan panorama dan permai alamnya.

Namun di balik keindahannnya, Danau Toba adalah tragedi dan nestapa. Perlakuan terhadap Danau Toba tak seindah panorama yang dipancarkannya kepada manusia. Entah karena kesengajaan, atau kejahatan, dalam waktu yang lama kawasan Danau Toba (sengaja) dibiarkan begitu saja.

Alih-alih dijadikan aset atau objek vital nasional yang dijaga dan dilindungi, dengan alasan investasi, kawasan Danau Toba justru ‘dibiarkan’ menjadi kawasan yang “bebas” untuk dieksploitasi. Celakanya, praktik pembiaran perusakan tersebut sepertinya berlangsung sistemik karena melibatkan nyaris semua aktor pemangku kepentingan di republik ini.

Nyaris tidak ada insiatif cerdas dan kreatif yang sifatnya komprehensif, terintegrasi, dan berkelanjutan untuk menyelamatkan Kawasan Danau Toba. Mereka asyik berdalih, otoritas dan peran tersebut ada di pemerintah pusat, bukan di pemerintah daerah.

Padahal kalau mereka serius, dan bila dikaitkan dengan desentralisasi politik, pemerintah daerah sejatinya memiliki banyak ruang dan peluang untuk mengembangkan sebuah strategi komprehensif mengelola kawasan Danau Toba, tanpa harus menunggu “petunjuk” Pemerintah Pusat.

Namun kenyataannya pemerintah daerah justru mengelola dan menyelamatkan kawasan Danau Toba dengan “apa adanya”, salah satunya dengan menggelar “ritual” Pesta Danau Toba dan seremoni penanaman pohon. Sepintas agenda tersebut terlihat mulia. Namun kalau ditelisik lebih mendalam, agenda pesta ini cenderung tak lebih dari sekadar agenda “ecek-ecek” karena pada akhirnya hanya menjadi ajang pencitraan elit, dengan menjadikan Danau Toba sebagai etalasenya.

Kesimpulan tersebut didasarkan sejumlah alasan. Pertama, penyelenggaraan agenda “ritual” tersebut telah mereduksi upaya mengatasi nestapa Danau Toba menjadi sebatas seremoni. Agenda pesta tersebut seolah ingin mengobati ‘sakit kanker’ Danau Toba dengan obat flu. Menggelar pesta dan menanam pohon boleh-boleh saja. Namun pengelolaan dan penyelamatan kawasan Danau Toba bukan soal menanam pohon dan pesta semata.

Walau menohok para pemangku kepentingan, tulisan ini tentu saja bukan sekedar mencari “kambing hitam” atas nestapa danau Toba. Namun untuk lebih menyelamatkan danau toba, agar menjadi kebanggaan kita semua. (*)

Close Ads X
Close Ads X