Revitalisasi Peran Keluarga dalam Mengawal Pendidikan Anak

Oleh : James P Pardede
Pilihan sekolah terbaik untuk si buah hati pastilah akan memilih sekolah yang bagus, keberadaan sekolahnya juga bagus dan tidak bermasalah. Fasilitasnya lengkap, dan bila perlu bahasa pengantarnya bahasa Inggris atau guru-gurunya kebanyakan dari luar negeri. Untuk urusan memilih sekolah yang bagus haruslah direncanakan dengan matang sejak jauh-jauh hari sebelumnya.

Memilih sekolah A atau B tidak bisa diputuskan hanya karena ikut-ikutan atau sekadar gengsi-gengsian. Karena, yang mau sekolah bukan orangtua tapi anak-anak kita. Jangan karena ingin merasa terhormat, dianggap hebat orang lain lantas kita memaksakan anak-anak untuk bersekolah di sekolah yang tidak disukainya. Atau di sekolah yang akhirnya menjadi sangat asing baginya.

Ketika kita memaksakan anak-anak kita bersekolah di tempat yang salah dan tidak disukainya, sama saja kita sedang melempar ranjau ke satu tempat dan tinggal menunggu kapan ranjau tersebut tersandung dan meledak. Memilih sekolah untuk anak harus benar-benar memperhatikan banyak aspek.

Mulai dari keberadaan sekolah apakah benar-benar bisa membentuk karakter anak kita, menempanya menjadi manusia yang mandiri dan percaya diri. Jarak tem­puh dan fasilitas sekolah perlu juga menjadi perhatian orangtua.

Jika melihat beberapa kasus yang terjadi di negeri ini, terkadang kita merasa miris. Ada anak membunuh ibunya, ayah memperkosa anaknya, anak terjerumus ke dunia kelam narkoba serta bentuk-bentuk ke­jahatan lainnya termasuk persoalan k­orupsi, kolusi dan nepotisme. Yang dipersalahkan adalah sistem pen­didikan kita yang belakangan ini diang­gap tidak ampuh lagi dalam membentuk moral dan karakter anak.

Apa yang salah dengan pendidikan kita ? Persoalan karakter dan pola pikir peserta didik sudah berubah haluan dan cenderung ke arah yang salah. Akibatnya, mutu pendidikan dan kualitas sumber daya manusia yang kita miliki semakin menurun. Ada ketakutan dalam sepuluh atau lima belas tahun ke depan kita akan mengalami lost generation, atau kehilangan generasi yang cerdas, bermoral dan berkarakter.

Menyikapi hal ini, lembaga pen­didikan mengambil sikap untuk melakukan pembenahan ke dalam dan membangun hubungan baik dengan dunia luar. Peran keluarga dalam mengawal pendidikan anak juga perlu mendapat perhatian dari semua kalangan. Berbagai usaha untuk meningkatkan kualitas pendidikan pun dilakukan, misalnya pengembangan kurikulum nasional dan lokal, peningkatan kompetensi pendidik melalui pelatihan, penggandaan buku dan alat pelajaran, pengadaan sarana dan prasarana pendidikan, serta peningkatan manajemen sekolah.

Sekolah sebagai Institusi (lembaga) pendidikan yang me­r­u­pakan wadah tempat proses pendidikan dilakukan, memiliki sistem yang komplek dan dinamis. Dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah bukan hanya sekadar tempat berkumpul pendidik dan peserta didik, tetapi sekolah berada dalam satu tatanan sistem yang rumit dan saling berkaitan. Oleh karena itu, sekolah dipandang suatu organisasi yang membutuhkan pengelolaan.

Kompleksnya permasalahan di bidang pendidikan harus diurai satu per satu dan dimulai pada periode perkembangan anak, saat anak masih berusia dini. Untuk itu, perlu ditingkatkan peran keluarga dalam proses pendidikan anak. Lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa yang berkutat di bidang anak, UNICEF, dalam laman resminya mengingatkan pentingnya partisipasi orangtua dan komunitas dalam proses pendidikan anak sejak dini.

Keterlibatan orangtua berkorelasi erat dengan keberhasilan pendidikan anak. Sejumlah penelitian me­nun­jukkan, keterlibatan orangtua yang lebih besar dalam proses belajar berdampak positif pada keberhasilan anak di sekolah. Keterlibatan orangtua juga mendukung prestasi akademik anak pada pendidikan yang lebih tinggi serta berpengaruh juga pada perkembangan emosi dan sosial anak.

Pentingnya peran orangtua dalam pendidikan anak harus dibangkitkan kembali terutama dalam mengawal proses tumbuh kembang anak dan pendidikannya. Sejumlah upaya dilakukan keluarga untuk mendukung pendidikan anak. Salah satunya dengan menciptakan lingkungan belajar yang kondusif di rumah.

Peran aktif keluarga perlu did­ukung oleh komunikasi yang baik antara pihak sekolah dan orangtua siswa. Adanya interaksi antara orangtua dan pihak sekolah menjadi kunci berlangsungnya proses pendidikan anak yang efektif, baik di sekolah maupun di rumah.

Anak perlu didukung orang-orang dewasa di sekitarnya, baik guru maupun keluarga, untuk keberhasilan pendidikan mereka. Kesadaran ini tampaknya ditangkap pemerintah dengan mengeluarkan kebijakan baru terkait peran keluarga dalam pendidikan anak. Selain upaya mem­­perbaiki kurikulum pendidikan, Kementerian Pendidikan dan Ke­budayaan menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 11 Tahun 2015 tentang Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga.

Direktorat baru ini diharapkan mampu mendorong proses penguatan prestasi belajar siswa, pendidikan kecakapan hidup, serta pendidikan karakter dan kepribadian. Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga memiliki program penanganan peri­l­aku perundungan (bullying), pen­didikan penanganan remaja, serta perilaku destruktif. Semua program tersebut diperuntukkan tak hanya untuk meningkatkan peran aktif orangtua kandung dari siswa, tapi juga wali atau orang dewasa yang bertanggung jawab dalam pendidikan anak.

Revitalisasi Peran Keluarga
Dibentuknya Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan karena keprihatinan atas sikap orangtua terhadap anak-anaknya belakangan ini yang cenderung abai dan tidak care. Seperti disampaikan pengamat sosial Jannerson Girsang, hari-hari belakangan ini banyak orangtua yang bangga bermewah-mewah, tamasya ke luar negeri, rajin menyumbang rumah ibadah dan lembaga sosial.

Akan tetapi, anak-anaknya dibiarkan di rumah, saat anak meminta uang sekolah atau uang kuliah, uang belanja, atau keperluan sekolah lainnya si anak harus merengek-rengek dan terkadang harus menerima kemarahan dulu dari orangtua. Orang tua punya 3 mobil mewah pakai AC kemana-mana, tetapi anak-anak dibiarkan naik sepeda motor, naik bus, dengan filosofi : “supaya mereka tau hidup susah”.

Banyak anak-anak saat ini hampir tidak pernah ketemu orangtuanya karena masing-masing punya ke­sibukan. Penulis pernah bertanya kepada seorang anak di salah satu sekolah terbaik. Ia curhat dan me­ngatakan bahwa ia hanya bisa ber­temu dengan ayahnya pada hari Sabtu dan Minggu. Itu pun tidak pernah ada interaksi, karena masing-masing sibuk dengan gadget-nya.

Diluar rumah, banyak orangtua yang rajin berdiskusi banyak hal dan mengurusi organisasi sosial atau organisasi profesi. Tetapi ketika urusan anak-anak, tentang sekolahnya, tentang pekerjaan rumahnya (PR), tentang kebutuhan anak, diskusi dengan anak tak jarang berakhir dengan kemarahan. Pergaulan anak diluar rumah tidak pernah mendapat perhatian orangtua.

Komunikasi orangtua dengan anak cenderung semakin memburuk. Pada posisi seperti ini biasanya anak akan mencari teman bicara dan teman curhat diluar rumah. Syukur kalau ketemu orang yang tepat. Kalau salah orang dan tempat, maka mereka akan terjerumus ke dunia kelam narkoba.

Anehnya, orangtua yang tadinya tidak punya waktu dan cenderung otoriter terhadap anak ternyata bisa berbalik arah setelah anaknya dinyatakan harus direhabilitasi karena ketergantungan narkoba. Orangtua yang abai tadi mampu membayar rehabilitasi anaknya dan memiliki waktu setiap hari mendatangi anaknya di tempat rehabilitasi.

Penyesalan selalu datang terlambat, demikian kata pepatah. Padahal, kalau saja orangtua benar-benar memiliki waktu dan ikut mengambil peran dalam mengawal pendidikan anaknya pasti ada harapan untuk menuntun anak tetap ada di jalur yang benar. Andaikan orangtua ada dan selalu hadir dalam membekali mereka dengan iman dan percaya yang sungguh-sungguh serta meluangkan waktu untuk mendengar keluhan-keluhannya, paling tidak anak sudah punya benteng untuk menangkal ajakan yang salah.

Revitalisasi peran keluarga dalam mendi¬dik anak agar memiliki moral yang baik men¬jadi kata kunci. Lembaga pendidikan tidak lagi kondusif bagi penanaman nilai-nilai moral bagi anak, maka keluarga harus cepat-cepat mengambil peran. Derasnya arus demoralisasi akibat gerak dinamika sosial budaya, tek­nologi komunikasi dan informasi membawa ekses yang luar biasa bagi anak. Oleh karena itu, keluarga adalah agen untuk menciptakan kondisi yang ramah bagi penanaman nilai-nilai moral, kebiasaan dan perilaku anak dalam kehidupan pribadi maupun sosial masyarakat. Anak harus dipo­sisikan sebagai subjek utama pen­didikan dalam keluarga.

Kegiatan pembelajaran dalam keluarga harus dimulai dari apa yang telah diketahui oleh anak. Di sini, orangtua berperan sebagai fasilitator dalam proses penanaman nilai-nilai moral kemanusiaan melalui interaksi dengan anak dalam kehidupan sehari-hari. Peran orangtua hanya sebagai perancang dan pengelola, sehingga tidak boleh melakukan indoktrinasi terhadap anak.
Sebagai fasilitator, orangtua dalam keluarga harus memiliki pribadi yang berkarakter dan mampu memberikan ketela¬danan.

Di sinilah orangtua berperan sebagai teladan dalam memberikan contoh yang baik bagi anak. Keteladanan harus dipelihara dengan menjaga komitmennya untuk selalu bersikap dan berperilaku serta mewujudkan nilai-nilai moral dalam kehidupan keluarga.

*)Penulis adalah tenaga pendidik di Nanyang Zhi Hui School Medan.

Close Ads X
Close Ads X