Repot Arus Balik

Kecanggihan sistem transportasi yang dibangun atau dikembangkan pemerintah Indonesia, selalu diuji setiap tahun pada musim mudik lebaran. Karena itu, wajar jika data berupa angka-angka kemudian penting dikemukakan.
Menteri Perhubungan Budi Karya menyebut angka pemudik tahun 2018 menurun meskipun ia belum dapat merinci berapa jumlahnya. Penurunan angka pemudik yang signifikan terjadi pada pemudik yang menggunakan motor. Hal ini juga berpengaruh pada turunnya angka kecelakaan lalu lintas pada musim mudik tahun 2018 (belum termasuk arus balik).

Hal yang dibanggakan pemerintah adalah kesiapan sejumlah ruas jalan tol untuk mudik 2018. Entah siapa yang memulai, muncul istilah “Tol Jokowi”. Lalu, dijawab lagi oleh pengkritik Jokowi bahwa itu adalah “tol rakyat’. Mudik menjelang pilkada dan pemilu kali ini sarat dengan sindiran demi sindiran yang diungkapkan melalui spanduk, meme, atau komentar di medsos. Bahkan, mudik yang sakral ini mengalami polarisasi –menghasilkan dua kubu yang saling berlawanan. Tak urung kritik juga terlontar kepada pemerintah. Mulai soal infrastruktur mudik, pengaturan lalu lintas, hingga tarif transportasi umum yang melambung.

Penumpang gelap pada arus balik bukan persoalan sepele bagi kota. Jumlah mereka yang tak sedikit, bahkan mencapai jutaan jiwa yang menyertai pemudik menambah berat beban kota, seperti Surabaya, Jakarta, Medan, Bandung, dan sebagainya. Kementerian Perhubungan meramalkan bahwa sejuta pendatang baru bakal memadati Jakarta seiring dengan kepulangan pemudik.

Dalam sudut pandang kependudukan, keberadaaan penumpang gelap tersebut diistilahkan dengan urbanisasi. Pengertian urbanisasi berarti perpindahan warga desa (rural) ke kota dengan motivasi mendapatkan pekerjaan di kota (urban). Urbanisasi pascamudik sering diistilahkan dengan migrasi berantai (chain migration) karena perpindahan penduduk ke kota disertai kaum kerabat yang memiliki hubungan darah dan keturunan. Atas dasar jaminan dari kerabat, pendatang baru ke kota besar berani ambil risiko, meskipun bekal dan keterampilan mereka sangat minim.

Padahal, mencari pekerjaan tanpa keterampilan di kota sama dengan menumbalkan diri atas ganasnya kota. Betapa banyak cerita miring yang terdengar tentang pencari kerja yang akhirnya jatuh ke lembah hitam kehidupan. Kaum wanita, banyak yang terpaksa bekerja di panti pijat dan rumah bordil yang menjual kemolekan tubuh. Sementara itu, kaum pria ada yang menjadi pelaku kriminal yang kerap bikin onar di tengah masyarakat sehingga menjadi musuh sosial.

Selain itu, pemerintah pusat juga perlu mengembangkan kota-kota kecil di daerah sebagai pusat pertumbuhan ekonomi baru. Cara ini kini mendapat respons positif dari berbagai negara dan menjadi bahan kajian dari badan kependudukan dunia dalam rangka membangun kemajuan suatu bangsa atau negara. (*)

Close Ads X
Close Ads X