Rayakan dengan Kesederhanaan

Besok, Jumat (16/2), seluruh masyarakat Tionghoa akan merayakan Imlek. Menurut literatur yang dihimpun penulis, malam tahun baru Imlek sebagai Malam Pergantian Tahun. Perayaan Imlek bagi warga Tionghoa dalam konteks Indonesia, lebih dari sekadar peringatan tahun baru, tetapi juga merupakan selebrasi tahunan warisan dari budaya atau kultur leluhur. Merayakan Imlek berarti juga merayakan kebebasan mempertahankan dan melestarikan budaya.

Orang Tionghoa ialah warga negara Indonesia yang secara politik dan hukum dilindungi oleh negara dengan tetap mempraktikkan budaya mereka. Mantra Binneka Tunggal Ika yang dahulu hanya berlaku bagi suku bangsa pribumi sudah mencair dengan masuknya Tionghoa ke dalam kebinnekaan.

Hari Raya Imlek yang secara resmi menjadi hari libur nasional menjadi bukti nyata negara untuk makin memperkaya budaya Indonesia. Hak berbudaya sudah dijamin negara, tinggal kemudian kewajiban semua kultur yang ada untuk bergotong-royong dan bekerja sama memajukan Indonesia.

Merayakan Imlek selalu dikaitkan dengan peran besar dari KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Lewat Keppres RI No. 6/2000, mantan Presiden Gus Dur, mencabut Inpres yang memarginalkan etnis Tionghoa di segala bidang. Dengan Keppres itulah Gus Dur memberikan kebebasan bagi etnis Tionghoa untuk merayakan Imlek di bumi khatulistiwa ini. Gus Dur telah menebarkan angin segar bagi etnis Tionghoa untuk mengekspresikan spirit religiusitasnya dengan penuh kebebasan dan kedamaian. Maka tak heran bila Gus Dur dianugerahi gelar Bapak Tionghoa.

Perayaan Imlek kiranya cukup relevan untuk mengembalikan kesadaran multikulturalisme bangsa Indonesia. Sebab, sampai detik ini cerita “lama” tentang konflik antargolongan di negeri ini masih saja terus bergejolak dan tampaknya belum berakhir. Itulah sebabnya mengapa Imlek patut dirayakan tidak hanya oleh etnis Tionghoa, melainkan juga oleh seluruh elemen di negeri ini. Setidaknya kita bisa mengambil spirit perdamaian yang tersimpan dalam ritual imlek.

Kita harus belajar banyak dari pengalaman etnis Tionghoa dalam menyikapi keberagaman, yang mana secara tidak langsung telah membawa spirit Bhineka Tunggal Ika.Dalam konteks ke- Indonesia-an yang multi etnis, suku dan agama, kita dituntut untuk mengembangkan suasana tenggang rasa, saling menghormati yang bisa menyejukkan suasana masyarakat yang sejuk, tentram, damai. Dengan masyarakat Indonesia yang multikultural justru menciptakan sinergitas berbagai elemen dalam susunan, tatanan hidup yang adil, damai, toleran, harmonis, dan sejahtera. Mari kita jadikan perayaan Imlek tahun ini momentum untuk mengakhiri semua prasangka dan mulai menumbuhkan spirit menghargai perbedaan dalam keberagaman (Bhineka Tunggal Ika). Gong Xi Fa Chai. (*)

Close Ads X
Close Ads X