Ramadhan Berakhir Kembali Fitrah

Ibadah puasa yang telah kita laksanakan merupakan suatu upaya pendidikan dan pelatihan jiwa untuk senantiasa bersifat jujur dan sabar. kedua sifat ini sangat dibutuhkan dalam kehidupan kita, baik sebagai pribadi maupun dalam hidup bermasyarakat. Mata dan telinga kita setiap saat melihat adanya penyimpangan dalam kehidupan yang semuanya dilakukan. Peliharalah sifat jujur itu, sebab kejujuran akan mengantarkan pelakunya ke surga. Dalam hadis lain disebutkan : Bukan umatku orang yang sering melakukan ketidakjujuran. Ada getar keharuan dalam hati, Ramadhan yang penuh berkah, berlimpah rahmat, dan ampunan Allah, telah meninggalkan kita. Tapi ada pertanyaan penting yang perlu tanyakan pada diri kita. Apa yang dapatkan melalui puasa sepanjang bulan Ramadhan kemarin? Setelah sebulan penuh hidup dalam suasana Ramadhan yang penuh dengan rahmat dan magfirah, umat Islam akhirnya pada hari ini kembali kepada fitrahnya, bersih dan suci dari segala noda dan dosa, laksana seorang bayi yang baru dilahirkan dari kandungan ibunya. Nabi bersabda:‘Bulan Ramadhân adalah bulan yang di dalamnya difardukan puasa dan disunatkan bagimu qiyâm al-lail, maka barang siapa yang melaksanakan puasa dan qiyâm al-lail tersebut atas dasar iman, maka ia akan keluar dalam keadaan bersih dari dosa sebagaimana ketika ia dilahirkan oleh ibunya.’
Marilah membuka mata, telinga dan hati kita, menyaksikan salah satu tanda kebesaran dan kekuasaan Allah, sekaligus satu perumpamaan yang sangat besar. Marilah kita melihat bagaimana umat Islam yang telah kembali kepada fitrahnya Benarkah kita menjadi makin bertakwa? Bila benar, mengapa semua itu tidak berkorelasi dengan upaya perbaikan kondisi masyarakat dan umat di sekitar kita? Kemiskinan tetap merajalela, korupsi makin menggila, penindasan tak kunjung reda, kerusakan moral, serta beragam bentuk kriminalitas makin tak terkira. Lihatlah apa yang terjadi di sekeliling kita. Hidup semakin terasa berat. Beban ekonomi dan sosial seolah tak tertahankan. Sementara, segelintir orang bergelimang dalam kemewahan. Semua manusia sejak Nabi Adam as. hingga manusia yang terakhir diciptakan Allah akan dikumpulkan pada suatu hari yang oleh Allah di dalam al-Qur’ân disebut yawmun lâ yanfa’ mâl walâ ban¬n, illa man atâ Allah bi qalb salîm (hari yang ketika harta dan anak-anak tidak memberi manfaat, kecuali orang yang datang menghadap Allah dengan hati yang tenang). Semua itu perumpamaan bagaimana ketika umat manusia datang menghadap Allah berkumpul di Padang Mahsyar, menunggu peradilan dari Qâdi Rabb al-Jalîl.
Lebih jauh, puasa merupakan sarana untuk mengendalikan hawa nafsu, bukan melawan hawa nafsu atau menghilangkan sama sekali hawa nafsu itu dari dalam diri kita, sebab selama hayat masih di kandung badan, selama itu hawa nafsu berada dalam diri kita. Pengendalian hawa nafsu merupakan suatu hal yang sangat penting, sebab apabila kita yang dikendalikan hawa nafsu maka pada saat itu kita berada pada posisi yang inferior, lebih rendah derajat kita daripada binatang. Hanya orang-orang mampu mengendalikan hawa nafsunya yang akan memperoleh kenikmatan surgawi yang telah dijanjikan oleh Tuhan. Pengendalian hawa nafsu bisa juga diartikan sebagai upaya menaikkan derajat nafsu yang menguasai diri kita, dari tingkatan nafsu yang paling rendah kepada tingkat nafsu yang paling tinggi. Apabila kita meneliti ayat-ayat al-Qur’ân, maka dikemukakan bahwa setidaknya pada setiap diri manusia terdapat empat tingkatan nafsu. Baik-jahatnya seseorang, saleh-salahnya seseorang, atau sesat dan suksesnya seseorang tergantung pada kecenderungannya pada tingkatan nafsu mana yang ia mampu kendalikan.
Nafsu yang pertama disebutkan oleh al-Qur’ân yang terdapat pada setiap diri manusia al-nafs al-zakîyah, nafsu yang suci bersih). Nafsu jenis ini terdapat pada diri setiap manusia yang baru lahir. Setiap manusia yang baru lahir memiliki kecenderungan jiwa yang bersih, memiliki kecenderungan pada hal-hal yang bersifat baik. Dalam al-Qur’ân di sebutkan : Pemilik jiwa yang bersih inilah yang akan memperoleh keberuntungan, sebaliknya org yang memiliki jiwa yang kotor akan memperoleh kesengsaraan. Nafsu yang kedua ialah al-nafs al-ammârah bi al-sûi, nafsu yang cenderung pada perbuatan dosa dan penyimpangan, yang identik dengan nafsu binatang. Nafsu ini selalu menganjurkan untuk berbuat kejahatan. Dalam al-Qur’ân disebutkan : (Yusuf: 53)
Nafsu ammârah akan menggiring manusia kepada kehinaan, mendorong manusia melakukan maksiat, dan selalu merasa mudah untuk berbuat dosa. Ketika seseorang melakukan suatu kemaksiatan, maka al-nafsu al-ammârah akan kembali mendorongnya untuk terus melakukannya. Selanjutnya al-nafsu al-ammârah akan menjadikan perbuatan maksiat tersebut sebagai suatu yang dicintai oleh pelakunya, sehingga pelakunya memandangnya sebagai suatu hal yang biasa dan wajar. Pada saat itulah perbuatan maksiat akan menjadi wataknya. Nafsu ammârah apabila mengendalikan seorang manusia, maka manusia tersebut tidak akan pernah merasa puas; seorang laki-laki yang dikuasai oleh nafsu seksualnya tidak akan pernah merasa puas hanya dengan seorang wanita; seorang pengusaha yang dikuasai oleh al-nafsu al-ammârah tidak akan merasa puas meskipun semua isi dunia telah menjadi miliknya; seorang penguasa atau pejabat yang dikuasai oleh al-nafsu al-ammârah tidak akan puas meskipun ia telah menguasai seluruh permukaan bumi. Kecenderungan manusia terhadap al-nafsu al-ammârah tersebut adalah suatu hal yang manusiawi.
Penulis adalah Alumni UMSU

Close Ads X
Close Ads X