Politisasi HAM, Siapa Ambil Untung?

Oleh :   Toni Sudibyo
Asian Human Rights Commission (AHRC) dan Human Rights and Peace for Papua (ICP) meluncurkan sebuah laporan berjudul “The Neglected Genocide” (Genosida yang diabaikan) mengenai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi di Pegunungan Tengah Papua, Indonesia, selama tahun 1977–1978. Laporan ini membahas pelanggaran-pelanggaran atas Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida yang dilakukan pemerintah Indonesia pada periode tersebut dan ditujukan pada.
Laporan yang merupakan hasil penelitian selama tiga tahun oleh AHRC ini mengungkapkan kematian lebih dari 4,000 orang Papua, termasuk anak-anak, akibat operasi yang dilakukan oleh tentara Indonesia. Di antara mereka yang terbunuh terdapat bayi dan anak-anak usia 10 tahun ke bawah dan juga orang tua yang berusia lebih dari 60 tahun.
Metode pembunuhan yang umumnya digunakan oleh tentara Indonesia di antaranya pengeboman dari udara dan penembakan oleh pesawat OV-10 Bronco dari Amerika Salah satu rekomendasi yang diajukan di dalam laporan ini ialah pembentukan suatu komisi kebenaran dan rekonsiliasi lokal di Papua sebagaimana diamanatkan oleh UU Otonomi Khusus tahun 2001. Laporan ini juga mendesak pemerintah Indonesia untuk mematuhi kewajiban HAM internasionalnya dengan mencabut pembatasan yang tidak masuk akal dan tidak proporsional terhadap kebebasan berekspresi guna mendorong terciptanya diskusi terbuka mengenai sejarah kekerasan di Papua.
Dandengan menjamin keselamatan setiap individu yang berbicara mengenai AHRC, suatu organisasi non-pemerintah tingkat regional yang memonitor hak asasi manusia(HAM) di Asia, mendokumentasikan pelanggaran-pelanggaran HAM dan mengadvokasi keadilan serta reformasi institusional untuk memastikan perlindungan dan pemenuhan HAM.
Organisasi yang bermarkas di Hong Kong ini didirikan pada Human Rights and Peace for Papua (ICP) adalah suatu koalisi organisasi berbasis kepercayaan dan masyarakat sipil internasional yang bekerja untuk mengatasi kondisi serius hak asasi manusia di Papua Barat dan mendukung solusi damai atas konflik yang terjadi di daerah tersebut.
Permasalahan pelanggaran HAM di Papua tampaknya menjadi isu utama dalam peringatan Hari HAM Internasional pada 10 Desember 2013, karena setidaknya sudah ada pemanasannya yaitu peringatan 13 tahun peristiwa Abepura tahun 2000. Peringatan itu yang disinyalir merupakan pra kondisi menjelang 10 Desember 2013.
– Setidaknya ada beberapa organisasi di Papua yang sudah siap-siap menyambut Hari HAM Internasional tersebut antara lain, Kontras Papua, BUK Papua, Parlemen Jalanan, Forum Rekonsiliasi Tapol/Napol Papua dan Solidaritas Korban Pelanggaran HAM Papua. sedangkan beberapa NGO di ranah nasional seperti Kontras, Imparsial, Human Rights Watch, Setara Institute, Wahid Institute dll yang sudah hampir dapat dipastikan akan mengeluarkan pernyataan yang keras terkait pelanggaran HAM di Indonesia.
Tidak menutup kemungkinan pernyataan keras tersebut juga merupakan “laporan” kepada pihak-pihak di dalam dan luar negeri yang dipandang perlu mendapatkan “laporan” oleh mereka. Selain Papua, permasalahan lainnya yang akan diangkat dalam hari HAM Internasional antara lain, konflik Sunni-Syiah di Sampang, Madura, masalah intoleransi seperti kasus GKI Yasmin dll.
HAM: Netral atau Pesanan?
Untuk mengetahui permasalahan HAM itu netral atau pesanan dapat dilihat dari berita ini. Asian Human Rights Commission yang bermarkas di Hong Kong ternyata tidak mengetahui pelanggaran HAM yang dialami TKI di Hongkong, karena berdasarkan laporan Amnesty International (AI), lembaga nirlaba asal London, dari lebih 149.098 orang TKI, banyak yang mengalami pelanggaran dalam bentuk penyiksaan fisik dan verbal serta mengekang.
Dalam laporannya, Amnesty International mengkritik pemerintah Hong Kong yang dinilai tidak cukup mengawasi agen-agen perekrut dan penempatan TKI. Laporan ini disusun berdasarkan wawancara mendalam dengan 97 TKI dan survei atas 930 TKW oleh Serikat Buruh Migran Indonesia
Berita lainnya juga dapat menjadi refleksi. Perdana Menteri Australia, Tony Abbott menyatakan, pemerintahannya tidak akan menghentikan kegiatan intelijen terhadap Indonesia dalam sebuah wawancara dengan jaringan Fairfax Australia (6/12). Ketika ditanya apakah Australia telah sepakat untuk berhenti memata-matai Indonesia, Abbott mengatakan, “Tidak”.
Politisasi masalah HAM jelas membawa keuntungan kepada kelompok tertentu yang notabene komprador asing. Melaporkan sejumlah pelanggaran HAM di dalam negeri seperti Dewan HAM PBB secara pilih kasih kasusnya juga merupakan tindakan yang berlebihan.
Politisasi masalah HAM sudah jelas dapat memicu masalah baru seperti menilai bahwa negara gagal melindungi minoritas sembari mempersoalkan UU No 1 PNPS 1965 tentang Perlindungan Agama dari Penodaan, walaupun sebelumnya beberapa upaya terkait masalah ini gagal. Pernyataan Perdana Menteri Australia, Tony Abbott misalnya yang tidak mau menghentikan kegiatan memata-matai Indonesia juga dapat dinilai sebagai pelanggaran HAM, karena aksi spionase, mata-mata dan penyadapan bertentangan dengan Konvensi Vienna tahun 1930, namun pertanyaannya adalah adakah NGO asing ataupun NGO nasional yang mempersoalkan masalah ini?
Inilah yang menjadi indikasi kuat bahwa permasalahan HAM tidak akan pernah lepas dari masalah politisasi dan keberpihakan, sehingga tidak ada satupun yang dapat dipercaya dari berbagai laporan pelanggaran HAM yang mereka perbuat. Mungkin ada pelanggaran HAM, namun tidak seburuk yang dilaporkan mereka.
*) Penulis adalah alumnus Fisipol Universitas Jember dan alumnus pasca sarjana Kajian Intelijen Strategik (KSI), Universitas Indonesia.

Close Ads X
Close Ads X