Politik Banjir

Lagi-lagi Jakarta kebanjiran. Pemandangan tak sedap ini diekspos berbagai media nasional. Sebenarnya tak ada yang terlalu istimewa dalam kejadian atau peristiwa tahunan tersebut. Namun yang berbeda adalah ketika banjir ini datang di saat situasi politik ibukota dalam kondisi genting atau memanas.

Pasca menyelesaikan putaran pertama, pasangan Ahok-Djarot bersama Anies-Sandiaga melaju untuk putaran kedua. Pastinya beragam kejadian akan dikait-kaitkan dengan politik dan kebijakan. Pasalnya, trik-trik seperti itu dilakukan untuk menjatuhkan lawan politis dan meraih dukungan warga sebanyak-banyaknya. Termasuklah diantaranya insiden banjir di ibukota.

Dari kacamata penulis, Pemprov DKI menyatakan kalau ada pengurangan titik-titik banjir bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Ini artinya Pemprov DKI sudah bekerja semaksimal mungkin untuk mengatasi masalah tahunan ini.

Banjir menjadi masalah bagi orang yang menempati daerah-daerah korban banjir. Tetapi bagi para paslon gubernur dan wakil gubernur ini adalah berkah. Berkah untuk berkampanye gratis dan dengan itu bisa menarik simpati warga terutama mereka yang menjadi korban di daerah banjir.

Masalah sudah ada di depan mata para paslon, mereka tinggal datang ke lokasi banjir dan membawa solusi. Makanya, tinggal siapa yang pandai untuk menyikapi masalah ini. Tinggal dua paslon yang akan bertarung pada putaran kedua, Badja (Basuki-Djarot) versus Anis-Sandi.

Keduanya bisa menggunakan masalah banjir sebagai bahan untuk berkampanye. Ada hal-hal yang mesti dilihat dari situasi seperti ini. Pertama, status paslon no 2 (Basuki-Djarot) bisa unggul apabila mereka menerapkan solusi yang tepat sasar atas persoalan banjir yang terjadi. Mereka adalah petahana, terlebih lagi sekarang mereka kembali aktif bekerja di Pemprov DKI.

Dengan posisi seperti ini, mereka bisa datang ke lokasi dan memberikan solusi yang realisti dan tepat sasar dengan keadaan. Jabatan mereka bisa menjadi alat untuk bersosialiasi dengan masyarakat tanpa menurunkan tim kampanye mereka.

Yang terpenting adalah eksekusi nyata dari solusi dan bukan memberi janji. Sementara, paslon no 3 (Anis-Sandi) mau tidak mau mesti hadir dengan timnya untuk turun ke lokasi banjir. Mereka pasti membawa konsep yang sudah dibandingkan dengan apa yang sudah dilakukan oleh petahana dalam memecahkan persoalan banjir di DKI.

Namun konsepnya mesti melampaui apa yang ditawarkan dan dibuat oleh petahana. Tidak hanya sekadar retorika dan janji, tetapi solusi yang “membumi.” Dalam arti, paslon no 3 menawarkan sesuatu yang berbeda dan secara akal sehat solusi itu bisa dieksekusi.

Namun kalau hanya sekadar janji tanpa program atau pun solusi yang realistis, masyarakat pasti tidak tertarik. Terlebih lagi mereka melawan petahana yang “sedang” mengeksekusi solusi karena mereka sudah aktif bekerja di Pemprov DKI.

Singkatnya, banjir adalah alat ampuh untuk mendiskreditkan atau menaikkan posisi masing-masing paslon. Secara kasat mata, banjir tahun ini adalah momen untuk mencari suara tambahan bagi para paslon, terlebih lagi pada putaran pertama suara mereka bersaing sangat ketat.

Namun di balik kepentingan politik, yang pasti persoalan banjir adalah masalah bagi warga Jakarta selama bertahun-tahun. Namun bukan dengan itu, banjir tidak bisa diatasi. Buktinya, ada pengurangan titik banjir dari tahun sebelumnya menurut Pemprov DKI Jakarta.

Kalau memang itu yang terjadi, maka banjir bisa hilang dari ibukota. Inilah yang mesti dicatat oleh para paslon dalam melihat realitas banjir yang terjadi sekarang ini. Banjir bukan instrumen untuk kampanye semata.

Banjir adalah persoalan warga dan mesti dipecahkan. Siapa pun yang menang masalah banjir mesti hilang dari kamus ibukota. Karena apapun cerminan ibukota DKI pasti cerminan Indonesia. (*)

Close Ads X
Close Ads X