Oleh : Sagita Purnomo
Teknologi memberi pengaruh yang sangat besar bagi kehidupan masyarakat modern. Berbagai hal bersifat praktis, murah, mudah dan cepat, merupakan hal yang paling diminati oleh kaum urban saat ini, termasuk juga dalam bidang transportasi.
Sekarang ini, transportasi berbasis aplikasi (online) terus tumbuh dengan suburnya, mulai dari kendaraan roda dua, tiga hingga empat, dapat dipesan kapan saja dimana saja dari smartphone. Sistem penggunaanya yang praktis, nyaman dan biaya relatif terjangkau membuat transportasi online jauh lebih diminati dibandingkan transportasi konvensional.
Rezeki sudah diatur masing-masing, anekdot ini sepertinya sudah dilupakan sebagaian kalangan masyarakat. Buktinya, kehadiran transportasi online dianggap sebagai ancaman oleh pelaku transportasi konvensional seperti angkot, becak atau ojek (RBT) yang merupakan senior dan sesepuh di dunia pengangkutan.
Konflik transportasi konvensional vs online yang dilatarbelakangi persaingan tak sehat pun pecah di beberapa daerah, seperti Jakarta, Bandung bahkan kota Medan. Korban luka hingga jiwa pun telah tumpah dikedua belah pihak.
Pemerintah melalui kementerian dan dinas terkait terkesan lamban dalam menyikapi masalah ini. Baik itu dari kementerian perhubungan maupun dinas perhubungan provinsi/kota, belum mengeluarkan regulasi khusus untuk mengatur prihal transportasi online (selain pengenaan pajak).
Selain faktor lebih diminati masyarakat, kelemahan regulasi inilah yang menimbulkan kecemburuan sosial pemicu konflik.
Menjamur
Tanpa bermaksud menyebut merek, serbuan transportasi online di kota-kota besar, terutama Medan, tidak dapat dibendung. Mulai dari kendaraan roda dua hingga mobil VIP telah terlibat dalam bisnis transportasi online yang bernaung dalam beberapa manajemen.
Mereka hanya cukup bermodalkan kendaraan, smartphone, SIM, dan sejumlah uang pendaftaran, sudah dapat beroprasi mengantar jemput penumpang, bandingkan dengan pelaku transportasi konvensional yang harus bernaung dalam Organda, kejar setoran dan membayar pajak serta harus mematuhi regulasi khusus (trayek) dari pemerintah maupun kedinasan tarkait.
Kesenjangan pendapatan juga sangat mencolok antara transportasi online dan konvensional. Karena lebih laris dan sangat diganderungi, dalam sehari transportasi online dapat meraup pendapatan tiga sampai lima kali lebih besar dibandingkan transportasi konvensional.
Alhasil pada bulan Februari lalu, konflik dan sejumlah aksi penolakan besar-besaran antar pelaku transportasi yang menuntut haknya pun terjadi.
Menanggapi aksi dan konflik antar penyedia jasa transportasi (online dan konvensional) ini, salah seorang anggota DPRD Sumut, Brilian Moktar, mendesak Pemko Medan untuk segera turun tangan menyelesaikan polemik ini.
Menurutnya, jika masalah tersebut tidak segera diatasi dengan mencari solusi penyelesaiannya, dikhawatirkan polemik yang ada tersebut justru akan berkembang menjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Apalagi, transportasi merupakan sektor jasa yang akan selalu ada karena menjadi salah satu faktor kebutuhan dan pendukung aktivitas masyarakat dan pertumbuhan daerah.
“Masalah ini harus segera diselesaikan karena polemik yang muncul antara pengemudi becak bermotor dengan jasa transportasi online telah menimbulkan ketidaknyamanan. Terlebih lagi di Kota Medan yang merupakan salah satu kota besar tanah air yang selalu memunculkan bisnis, termasuk jasa transportasi,” katanya. (JurnalAsia.com)
Regulasi
Sangatlah mustahil bagi manusia untuk menolak perkembangan teknologi. Oleh kerenanya, jasa transportasi online sangat tidak bijaksana jika dihapus, solusi yang paling bijak dan benar ialah segera menghadirkan regulasi yang tepat dan efesien bagi keberadaan transportasi online.
Status badan hukum perusahaan, pembatasan armada, penanggungjawab, tarif, pajak dan yang paling penting pembagian trayek operasional haruslah segera ditetapkan.
Sungguh tidak etis jika pihak berwenang terus membiarkan transportasi online berkeliaran merajarela dan merusak pasar jasa angkutan. Apabila semakin banyak sopir angkot dan becak memilih beragung ke sistem online, tentu akan berdampak buruk bagi bisnis pengangkutan yang juga berkontribusi besar dalam penerimaan kas daerah. Semoga transportasi online dan konvensional dapat berjalan mesra dalam melayani masyarakat kota tanpa masalah.***
*)Penulis adalah Alumni UMSU