Pernikahan Dini Masih Mengancam

Oleh : Salamun Nasution

Indonesia menempati negara kedua di ASEAN setelah Kamboja dan urutan 34 di dunia dalam hal perkawinan anak yakni satu dari lima anak menikah di bawah umur. Ini menandakan ternyata masih banyak masyarakat di Indonesia menikahkan anak yang masih di bawah umur.

Padahal jika dilihat dari ber­bagai aspek seperti kese­hatan, pendidikan dan lain sebagainya sangat tidak baik jika anak yang masih dibawah umur harus dinikahkan.

Memang Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan menyebutkan batas minimal usia perkawinan adalah 16 tahun. Tetapi ketika dikaji dari berbagai aspek tentang pernikahan anak, Undang-un­dang ini harusnya mengalami perevisian khususnya pada ba­tas usia minimalnya.

Bahkan tak jarang di bawah usia 16 tahun juga banyak anak yang sudah dinikahkan dikarenakan berbagai macam pertimbangan-pertimbangan.

Ketua Kalyanamitra, Listyo­wati mengatakan praktek per­kawinan anak dianggap akan membuat masa depan anak menjadi tidak lebih baik. Sebab, dalam banyak kasus perkawi­nan anak membuat aspek pendidi­­­kan, kesehatan, dan ketenaga­­ker­ja­an semakin memprihatinkan.

Banyak anak yang harus putus sekolah karena perkawinan. Dari aspek kesehatan, perkawinan anak juga dianggap membuat tingginya angka kematian ibu melahirkan atau gizi buruk terhadap anak. (Harian Jurnal Asia).

Dari segi ketenagakerjaan, kurangnya keterampilan mem­buat pelaku perkawinan anak menjadi pekerja yang tidak memiliki keterampilan sehingga diupah rendah.

Hal ini akan menambah daftar panjang ang­ka kemiskinan di Indonesia. Jadi sudah saatnya pemerintah bertindak agar tidak ada lagi perkawinan anak. Anak harus mendapatkan pendidikan yang layak ketimbang harus mengurus rumah tangga di usia yang masih muda.

Mengubah batas usia per­kawinan menjadi 18 tahun ha­rus disegerakan. Peraturan ini juga harus merata ke ber­bagai penjuru dan pelosok di Indonesia. Karena banyak yang melakukan perkawinan anak di bawah umur justru berasal dari daerah pedalaman. Sosialisasi tentang bahaya yang akan di­alami sang anak jika di usia dini sudah dinikahkan harus dilakukan merata, khususnya di masyarakat pedesaan.

Segerakan
Pemerintah harus segera me­lakukan revisi terhadap mi­nimal usia perkawinan. Karena sudah terlalu banyak angka per­nikahan anak. Liat saja In­donesia menempati urutan ke­dua se-negara ASEAN dalam kasus pernikahan anak. Mala­ysia dan Singapura yang angka pernikahan anaknya kecil mem­buktikan bahwa negara ini bisa maju dan angka kemiskinannya juga sedikit.

Berarti pernikahan dini me­mang berpengaruh terha­dap angka kemiskinan. Bisa dibayangkan jika anak-anak yang masih usia belajar menikah, ke­mudian kehilangan pendidikan. Ia tak akan mampu bersaing di dunia kerja karena tidak memiliki keterampilan. Untuk menghidupi orangtuanya kerja serabutan pun ia jalani.

Jadi sebelum terlambat, pe­me­rintah harus memikirkan dampak-dampak buruk perni­kahan anak di bawah umur. Tentunya juga kondisi fisik mereka belum memungkinkan untuk mengandung, karena dapat membahayakan baik ibu dan anaknya.

Bukan hanya pemahaman tentang bahayanya perkawinan anak di bawah umur, pemerintah juga harus tegas bagi mereka yang menikahkan anaknya dikarenakan berbagai alasan.

Karena kita pasti akan prihatin melihat masa depannya nanti ketika sudah berumah tangga. Ia akan terasing dengan teman-temannya yang masih menikmati masa-masa muda dengan bela­­jar.

Sementara ia harus meni­mang anak dan bekerja sebagai ibu rumah tangga. Tentunya ini tak boleh terjadi khususnya untuk anak perempuan yang sering dinikahkan di usia yang masih sangat muda.

Negara ini sudah menjunjung tinggi emansipasi wanitanya. Jadi bukan hanya pria tetapi wanita juga berhak mempunyai mimpi setinggi langit. Berhak memperoleh pendidikan se­tinggi-tingginya.

Jangan sampai karena masalah orangtua ia malah menjadi tumbal untuk dinikahkan agar masalah selesai. Oleh karena itu sangat penting peraturan yang tegas mengatur tentang pernikahan anak yang masih di bawah umur. Sehingga tak ada celah bagi mereka untuk menikahkan anaknya yang masih di bawah umur.

Peran Orangtua
Alangkah baiknya menya­darkan kembali peran-peran orangtua untuk ikut ambil bagian dalam menyelamatkan nasib anak, juga ikut ambil bagian untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Mengapa harus orang­tua? Karena orangtua adalah orang yang paling dekat de­ngan mereka. Selain itu ada juga beberapa orangtua yang menikahkan anaknya yang masih dibawah umur dikarenakan tradisi keluarga karena ia juga pernah mengalaminya. Terutama untuk ibu.

Maka ibu sangat berperan dalam memangkas jumlah per­­kawinan anak yang marak ter­­jadi di Indonesia. Zaman se­karang tidak bisa disamakan dengan zaman dulu dimana anak-anak yang masih di bawah umur sudah dinikahkan. Tetapi zaman sekarang sudah saatnya anak-anak mendapatkan pendidikannya untuk menyam­bung masa depan yang lebih cerah ketimbang mengurus rumah tangga.

Pemahaman terhadap kaum ibu betapa bahayanya menikah di usia muda harus ditanamkan. Seperti penulis paparkan se­belumnya bahwa pernikahan anak lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya.

Anak-anak masih punya masa depan yang cerah. Sebagai orangtua seharusnya mendukung sang anak untuk meraih cita-citanya. Jangan sampai dipaksa untuk menikah di umur yang masih belia. Terutama anak perempuan yang sering menjadi target dinikahkan di usia dini dengan berbagai alasan.

Ada juga pernikahan dini terjadi dikarenakan pergaulan yang salah dan akhirnya ha­mil di luar nikah. Daripada membuat malu orangtua akhir­nya ia pun dinikahkan. Tak peduli bagaimana kehidupan ke depannya nanti apa bahagia atau malah sengsara. Ini juga harus jadi perhatian para kaum ibu.

Jangan sampai pergaulan bebas menyelubungi anak-anak. Ibu sebagai orang yang terdekat dengan anaknya harus mampu menanamkan nilai pemahaman bahwa pergaulan bebas sangat berbahaya.

Jika ini sudah sukses dila­kukan dan kaum ibu juga ikut ambil bagian, maka kelak angka pernikahan anak di Indonesia akan mengalami penurunan. Semua masyarakat akan sadar betapa pentingnya pendidikan bagi anak dan pasti enggan untuk menikahkannya di usia belia.

Para orangtua akan me­milih untuk mendukung anak-anaknya meraih cita-cita mereka demi masa depan yang cerah.

*) Penulis adalah Alumnus FISIP UMSU

Close Ads X
Close Ads X