Penguatan Peran Dewan Perwakilan Daerah

Oleh : Budi Setiawanto
Keberadaan Dewan Per­wakilan Daerah Republik In­donesia (DPD.RI) sebagai lembaga negara yang menyuarakan aspirasi rakyat daerah di tingkat pusat, diper­tanyakan efektivitasnya.
Sejak keberadaannya pada 1 Oktober 2004, ditandai dengan pelantikan dan pengambilan sum­­­pah 128 anggota DPD hasil Pemilu 2004, keberadaan DPD terbatas dalam menjalankan peran dan fungsinya. Adalah hasil Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) I Partai Kebangkitan Bangsa di Jakarta 5-6 Februari lalu yang merekomendasikan tujuh rekomendasi.

Salah satu butir rekomendasi itu men­yebutkan agar DPD dibubarkan jika kewenangan dan tugas pokok lembaga negara tersebut masih seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945.
“Bagi PKB, sepanjang ke­wenangan dan tugas pokok DPD masih seperti yang tertuang dalam pasal undang-undang seperti hari ini maka kami merekomendasikan untuk dihilangkan,” kata Sekretaris Jenderal PKB Abdul Kadir Karding saat menyampaikan rekomendasi hasil mukernas tersebut.

UUD 1945 hasil amendemen IV (Sidang Tahunan MPR 11-11 Agustus 2002) menyebutkan DPD dapat mengajukan kepada DPR RI rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Selain itu juga ikut membahas dan melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang terkait bidang itu.

Sementara dalam UU Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (biasa disebut MD3) merinci fungsi, wewenang, dan tugas, sebagaimana UUD 1945. Bila dibandingkan dengan fungsi dan kewenangan DPR,maka peran DPD timpang dan tidak menentukan, padahal sama-sama sebagai lembaga negara dan keanggotaannya pun merupakan pilihan rakyat dalam pemilu.

Anggota DPD dari Bali, Gede Pasek Suardika, berterima kasih kepada PKB karena telah me­ngangkat isu keberadaan DPD sehingga publik lebih paham tentang DPD dan keterbatasan kewenangannya.
Isu pembubaran atau penguatan DPD sebaiknya diserahkan kepada rakyat, sebab DPD lahir sebagai amanah reformasi. “Kita tanya saja kepada rakyat, mana saja lembaga negara yang harus tetap ada dan mana yang harus dibubarkan. Kedaulatan ada di tangan rakyat,” ujar Pasek.

Pasek mengatakan keberadaan DPD sangat berkaitan erat dengan keinginan rakyat. Dia me­ngilus­trasikan, untuk dapat menjadi seorang senator di Senayan maka seseorang harus mendapatkan dukungan minimal ratusan ribu suara hingga ada pula yang harus memperoleh dua juta suara baru bisa duduk di DPD.

“Pertanyaan sederhana, ada ‘nggak suara sebanyak itu diberikan rakyat kepada lembaga parlemen lainnya. Nah begitu besar harapan aspirasinya harus diperjuangkan lewat DPD, maka tentu menjadi tanggung jawab negara untuk menyiapkan ins­trumen kewenangan yang memadai sehingga antara jumlah suara yang diperoleh seimbang dengan kewenangan yang harus dijalankan,” kata dia.

Pasek juga menekankan peran DPD sudah semakin tegas dan jelas setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi bahwa DPD boleh menyusun dan membahas RUU sejak awal hingga akhir. Buktinya, kata dia, prolegnas (program legislasi nasional) 2015-2019 sistem pembahasan sudah dengan mekanisme tripartit antara DPR RI, pemerintah, dan DPD RI. Banyak usulan RUU DPD juga masuk dalam prolegnas.

Wakil Ketua DPD Farouk Mu­hammad menilai rekomendasi PKB itu untuk memberikan alternatif bagi eksistensi DPD, bukan ingin membubarkannya. Senator asal NTB itu meyakini PKB ingin memperkuat keberadaan DPD sehingga pihaknya men­dukung amendemen UUD 1945 dalam rangka penguatan in­stitusinya.

Anggota DPD dari NTT Abraham Liyanto menilai kewenangan DPD jika tidak diperkuat lebih baik dibubarkan agar tidak mem­boroskan keuangan negara. “DPD adalah bagian dari lem­baga legislatif di parlemen. Kalau fungsinya tidak kuat untuk melakukan saling kontrol, lebih baik dibubarkan,” katanya.

Jika MPR akan melakukan amen­demen UUD 1945 lagi maka hal itu harus memperkuat kewenangan DPD agar dapat melakukan fungsi saling kontrol. Begitu juga yang disampaikan oleh anggota DPD dari Sumut Parlindungan Purba. DPD perlu memiliki kewenangan saling me­ngontrol dengan DPR. Peran anggota DPD selain menjalankan fungsi legislasi, budgeting, dan pe­ngawasan juga menyerap aspirasi daerah.

Ketua MPR Zulkifli Hasan menampung semua masukan terkait dengan perubahan dalam ketatanegaraan yang sedang digodok oleh Badan Pengkajian MPR. Terkait dengan wacana penguatan atau pembubaran DPD itu bila dilakukan, pasti terkait amendemen UUD 1945 yang memiliki mekanisme yang ketat.

Pasal 37 UUD 1945 untuk ayat (1) menyatakan usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR.

Belum maksimal Forouk yang juga guru besar Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian menyatakan DPD selama ini sudah berperan dalam proses legislasi namun belum maksimal sehingga dibutuhkan penguatan melalui amendemen UUD 1945. “Masih mentok karena kewenangannya dibatasi,” ujarnya.

Menurut dia, perlu ada keseim­bangan antara perwakilan politik dan perwakilan daerah dalam sistem ketatanegaraan In­donesia. Selama ini pengambilan keputusan dalam ketatanegaraan dipengaruhi perwakilan politik namun perwakilan daerah kurang diperhatikan. “Ini mau kami seimbangkan dalam amendemen UUD 1945 bukan minta disejajarkan dengan kewenangan DPR,” katanya.

Sementara Ketua DPR Ade Komaruddin menilai rekomendasi PKB itu perlu ditindaklanjuti dengan kajian ilmiah yang komprehensif. “Keberadaan DPD RI adalah amanah UUD NRI 1945 dan menjadi bagian dari sistem ketatanegaraan In­donesia,” kata Akom, panggilan akrab Ade Komarudin.

Politisi Partai Golkar itu melihat ada pro dan kontra soal wacana pembubaran DPD sehingga tidak bisa asal bicara soal keberadaan DPD RI. Menurut Ade, pimpinan DPR masih akan melakukan kajian dan berdialog dengan lembaga-lembaga negara lainnya.

Sementara itu juru bicara Fraksi PPP di DPR, Arsul Sani, menilai DPD harus menjawab kritik yang disampaikan PKB terhadap eksistensi lembaga tersebut. Sejak keberadaannya hingga sekarang apa saja keberhasilannya menyuarakan aspirasi masyarakat di daerah. “Pertanyaan itu tentunya harus dijawab oleh DPD dengan data empiris, secara kualitatif maupun kuantitatif,” katanya. Setelah lebih dari 15 tahun reformasi ini apakah DPD telah menunjukkan keberhasilannya mengusung aspirasi daerah se­perti diharapkan ketika pem­bentukannya, ujarnya.

Asrul Sani yang juga anggota Komisi III DPR menambahkan setelah DPD menyampaikan ja­wa­bannya maka sebaiknya ditanyakan kepada rakyat apakah DPD perlu dipertahankan atau dihapuskan.
Menurut dia, apabila dihapuskan maka harus disertai reformasi sistem keterwakilan daerah dalam pengisian keanggotaan parlemen Indonesia. Asrul menilai peran dan kewenangan DPD tidak bisa disamakan dengan DPR karena berbeda latar belakang pembentukanya dan DPD mewakili kepentingan daerah.

Apabila DPD ingin disamakan perannya dengan DPR maka lebih baik DPD dibubarkan dan melebur menjadi DPR sehingga masing-masing daerah ditambah empat kursi namun diperbolehkan mencalonkan diri secara in­de­penden atau perorangan dalam pemilu.
(ant)

Close Ads X
Close Ads X