Penghalang Proses Pendidikan

Oleh : Fitri R. Nasution

Pendidikan akan sejalan dengan apaadanya peraturan. Entah itu untuk memudahkan tenaga pendidik atau malah menyulitkannya. Tetapi yang sering terjadi adalah penyulitan terhadap tenaga pendidiklah yang hadir.

Pendidikan searah pernah diterapkan sebelum tahun melenium. Pendidikan sekarang diminta untuk dua arah, artinya antara murid sudah bisa memprotes gurunya. Padahal secara pendidikan, guru tersebut berada jauh di atas murid tersebut.

Aksi protes secara langsung menjadi penghalang proses pendidikan. Apabila seharusnya murid mendapat hukuman, ia bisa saja menolak dan tak menyetujuinya. Tenaga pendidik pun harus memilah dan memilih hukuman apa yang bisa diterima oleh muridnya. Biasanya murid tersebut akan berlindung di balik perisai manusia di negeri ini, Hak Asasi Manusia (HAM).

HAM adalah hak dasar yang dimiliki manusia sejak dilahirkan ke dunia yang secara kodrati sudah melekat dalam diri manusia tersebut yang harus dijunjung tinggi dan diakui oleh semua orang.

Melalui HAM murid akan sering menidakkan hukuman dari guru. Sikap ini kurang berkenan terhadap tujuan pendidikan Indonesia sekarang yang meminta para guru di seluruh negeri menjadikan muridnya berkarakter. Tentu karakter yang diharapkan adalah karakter yang baik.

Namun, oleh adanya HAM karakter yang baik itu tampaknya sulit untuk dicapai. Akibatnya Indonesia ke depan menjadi ladang bagi orang-orang bejad. Penerus bangsa yang bobrok mental tapi berkemauan mengurus Indonesia.

Mengurus Indonesia harus bisa pula mengiris diri sendiri. Taat dan patuh terhadap hukum yang ada di sekolah atau pun di kelas. Di kelas gurulah yang memegang kekuasaan penuh.

Kekuasaan penuh itu sering terhalang dari HAM. Jika dilihat pada zaman dahulu. Khususnya yang dapat kita tanyakan kepada orang tua masing-masing. Mereka dan murid zaman sekarang berbanding terbalik.

Murid zaman sekarang sudah sangat enak tetapi mereka sering lalai dari keenakan tersebut. Ketika pada zaman dahulu, melihat guru mereka dari jauh, murid itu sudah ketakutan. Bahkan ketika murid berbuat salah lalu ditampar dan berdarah, murid tersebut malah takut melaporkan ke kepala sekolah atau ke orang tua mereka.

Tetapi kalau sekarang malah terbalik. Guru bisa menjadi teman. Hal ini membuat keercayaan murid terhadap guru berkurang. Biasanya jika sudah berteman murid tersebut akan diam-diam menganalisis apa kelebihan dan kekurangan guru tersebut.

Bagaimana menghadapi ia bicara. Bagaimana menyangkal argumen guru. Nah, ini menjadi tanda bahaya untuk dunia pendidikan.

Di satu sisi, hal ini sangat baik. Karena sesuai dengan perkembangan zaman. Anak-anak malah menjadi malas apabila di sekolah terdapat guru yang tidak menyenangkan. Tetapi kalau anak tersebut memang berniat untuk belajar. Pasti semua guru menyenangkan.

HAM memang penghalang bagi dunia pendidikan Indonesia. Apalagi jika pemikiran orang tua murid tak sejalan dengan pemikiran guru. Contoh kasus, ketika murid melakukan tindakan mencuri di kantin sekolah. Lalu guru menegur murid tersebut.

Kemudian memanggil orang tua murid untuk memberitahukan perilaku anaknya. Seharusnya apa yang akan terjadi. Jangankan orang tua, guru pun boleh menampar murid tersebut. Ya, sebelum menampar pasti akan ada tanya jawab terhadap anak. Tentang apa alasan dia mencuri.

Tetapi jika sudah terbukti bersalah, barulah hal itu dilakukan. Namun, apa yang terjadi sekarang? Orang tua malah membela anaknya yang jelas salah. Tanpa rasa malu.

Pertanyaannya adalah apakah HAM secara mutlak menghalang proses pendidikan yang berkarakter? Mungkin ya. Mungkin juga tidak.

Pernyataan tersebut benar seperti apa yang sudah disampaikan sebelumnya. Pernyataan tersebut salah mungkin zaman sekarang, banyak pula guru yang semena-mena terhadap muridnya.

Artinya adalah jangan sampai ada murid atau orang tua murid yang menjadikan HAM senjata untuk melindungi diri walau pun sudah terbukti salah. Perlu ketulusan hati pula untuk sabar menerima kenyataan atas kesalahan yang dilakukan dan menerima hukuman tanpa pembelaan.

Kalau murid tersebut memang pantas untuk ditampar, maka tamparlah. Jika murid pantas untuk dilempar dengan kursi lemparlah. Tetapi tidak boleh berlebihan. Makanya perlu aturan yang baku terhadap proses mendidik semacam itu. Jangan sampai guru lemah di mata muridnya.

Konvensi aturan mendidik anak perlu dirancang dengan sungguh dan matang. Supaya seluruh guru baik yang baru masuk ke sekolah tersebut atau yang sudah lama memiliki ketahanan wibawa yang kuat.

Sehingga setiap murid memiliki rasa takut dan segan seperti apa yang dialami murid pada zaman dahulu. HAM tak boleh menjadi senjata bagi tindakan yang salah oleh anak. HAM harus berdiri di antaranya. Berdiri di samping guru dan murid. Sehingga aturan mendidik itu sangat perlu menjadi penengahnya.

*)Penulis adalah alumnus UMSU. Tenaga pendidik di YPI Al-Ulum Terpadu. Pegiat literasi di FOKUS UMSU.

Close Ads X
Close Ads X