Pengaruh Ulama Dalam Kancah Politik

Partisipasi rakyat dalam pemilu biasanya dilandasi oleh kesadaran masyarakat itu sendiri, akan tetapi tidaklah mudah untuk membangkitkan kesadaran masyarakat dalam menyalurkan aspirasinya untuk memilih pemimpin. Hal ini karena masyarakat merasa dibohongi oleh para wakil rakyat maupun pemimpin yang dipilihnya. Apa yang dijanjikan mereka pada saat kampanye tidak terealisasi sama sekali, sehingga masayarakat berasumsi tidak perlu lagi untuk melakukan pemilihan. Hal Ini sangat berimbas terhadap perolehan suara pemilu. Penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam sekitar 89,09%. Menurut statistik, jumlah ini temasuk mereka yang ber-KTP Islam dan mengidentifikasi dirinya sebagai Muslim. Ulama dengan politik tetap menjadi bahan perbincangan menarik untuk dicermati terlebih menjelang pilpres Juli 2019. Upaya mencari dukungan untuk menduduki kursi kekuasaan, suara umat Islam yang nota bene adalah mayoritas sampai saat ini masih menjadi kartu truf dalam upaya untuk memperoleh kursi dalam kekuasaan. Bagi elite politik Indonesia, Islam ibarat “gadis cantik” yang selalu dijadikan rebutan untuk memperbesar kekuatan masing-masing partai politik.

Dalam perjalannya, keduanya tidak pernah benar-benar terlepas dari kegiatan politik walaupun menyatakan diri bukan bagian dari gerakan politik seperti dirumuskan dalam khittah ormas masing-masing.

Maka diperlukan peran serta seseorang yang masih sangat dihargai di dalam lingkungan masyarakat, dalam hal ini adalah seorang ulama. Kehidupan religius dan menghargai serta mengikuti fatwa seorang ulama’ masih sangat kental. Bagi mereka fatwa ulama’ adalah sabdo pandito ratu yang wajib diikuti oleh masyarakat. Karena ulama’ masih dianggap orang yang mampu mempertahankan keagamaan secara baik, sehingga perilaku mereka merupakan panutan bagi masyarakat. Di sinilah pentingnya peran ulama’ untuk meningkat kesadaran pemilih agar mau menyalurkan aspirasinya dalam pemilu. Hilangnya kesadaran pemilih dalam menyalurkan aspirasinya dalam pemilu disebabkan kekecewaan yang mereka alami. Apatisme mereka terhadap wakil rakyat dan pemimpin, menjadikan mereka enggan ikut berpartisipasi dalam pemilihan umum. Mereka beranggapan para pemimpin tidak akan mengubah nasib mereka. Bekerja lebih utama dibandingkan hanya memilih pemimpin yang belum tentu baik nantinya. Baginya kehilangan waktu sehari saja dalam bekerja akan mengurangi pendapatannya. Terlebih bagi mereka yang bekerja serabutan sebagai buruh tani maupun pekerja harian, tentunya akan kehilangan penghasilan yang sangat berarti untuk menyambung hidup. Jika ini dibiarkan terus menerus akan sangat berimbas pada keberhasilan pemilu, meskipun berapapun besarnya kehadiran masyarakat akan tetap sahnya pemimpin yang terpilih asal telah memenuhi persyaratan perolehan suara.

Peran ulama di tengah-tengah masyarakat sangatlah penting dan jarang sekali bisa tergantikan oleh generasi setelahnya. Sebab, ulama bukanlah gelar formal ataupun julukan bagi seseorang. Ulama-lah yang akan menjadi rujukan masyarakat. Maka, sebagai rujukan, tentu harus bisa menjadi teladan yang baik. Ulama lahir dari penghormatan dan pengagungan masyarakat pada seseorang. Ulama ibarat suluh di tengah kegelapan. Mereka adalah pemandu jalan di tengah belantara kehidupan dunia ini.

Mereka merupakan mursyid (pembimbing) bagi manusia dalam menjalankan kewajiban beribadah.

Ummat butuh kepada ulama bukan hanya dalam urusan hubungan dengan Allah, tetapi dalam urusan dengan sesama manusia pun perlu panduan wahyu melalui penjelasan para ulama dan da’i.

Bimbingan ulama juga dibutuhkan urusan jual beli, pernikahan, etika bergaul dan berinteraksi dengan karib kerabat, tetangga, orang tua, mendidik anak, dan urusan muamalat lainnya. Ketidak hadiran peran ulama dalam masyarakat tidak hanya berdampak urusan Agama mereka, tapi berdampak pula pada urusan keehidupan dunia mereka. Para ahli teori memahami elite ulama menjadi perhatian besar karena mempengaruhi distribusi kekuasaan. Alasannya latar belakang sosial ulama merupakan pedoman yang amat berguna untuk refresentatif dan kelompok kepentingan lainnya.

Peran umat Islam tidak diragukan lagi dalam menyumbangkan darah dan tulang belulang terhadap proses integrasi nasional. Itulah lakon di atas panggung sejarah Indonesia, Umat Islam merintis jalan dan berkorban. Spirit kelembagaan ini muncul kembali dalam negara Indonesia setelah kemerdekaan. Upaya-upaya itu adalah perebutan hak untuk mengatur pembangunan yang adil agar umat Islam tidak dianaktirikan dalam struktur ekonomi dan pemerintahan. Penguasa pun seringkali memanfaatkan alam pikiran tradisional masyarakat Islam untuk memperkuat dasar legitimasinya. Maka kekuatan Islam sebagian besar berada di tangan umat Islam Indonesia yang berpotensi dan mampu menjadi pemimpin dunia Islam karena melihat Indonesia negeri Muslim terbesar di dunia. Sebenarnya, penentangan umat Islam terhadap pemerintahan bangsa ini bukan pada dasar negaranya (Pancasila) tetapi haluan Negara Republik Indonesia yang berat sebelah kepada paham komunis pada awal kemerdekaan dan para pemimpin kapitalis seklur yang mengabaikan prinsip-prinsip keadilan dalam struktur negara pasca kemerdekaan sehingga menimbulkan pertentangan abadi Islam. Maka ini dapat dilihat dari upaya memasukkan Islam kedalam kekuasaan menjadi dasar negara secara resmi. Apalagi dalam kenyataannya identitas ideologi politik partai islam selalu berkutat pada jargon doktrin “normatif” keagamaan dan cenderung elitis. Sementara agenda-agenda “seksi” seputar permasalahan sosial seperti kemiskinan, pengangguran, pendidikan yang lebih menyentuh kepada kepentingan masyarakat luas dimanfaatkan dengan baik sebagai platform (bentuk kebijakan) oleh partai-partai berbasis nasionalis. Simpati publik pun mengalir, sehingga mereka meraih dukungan mayorits muslim. Parpol Islam hanya menawarkan platform berdasar rumusan formal ajaran yang kurang membumi tanpa kemauan untuk memahami realitas sosial, ekonomi dan budaya rakyat kebanyakan.

Ulama merupakan status yang dihormati dengan segudang peran dalam masyarakat. Ketokohan dan kepemimpinan ulama menjadi pusat perhatian dari status dan peran yang disandangnya. Ia menunjukkan kecakapan dan pancaran kepribadian dalam memimpin masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari peran strategisnya sebagai pemimpin non formal melalui komunikasi intensif dengan masyarakat. Kedudukannya yang penting di lingkungan pedesaan maupun perkotaan diyakini membawa berkah.

Kharisma ulama memperoleh dukungan masyarakat, karena dipandang memiliki kemantapan moral dan kualitas keimanan. Melahirkan bentuk kepribadian magnetis bagi para pengikutnya. Dari sini para kandidat calon presiden yakin komunikasi dan sosialisasi yang dilakukan Ulama ke arus bawah akan berjalan. Proses ini, mula-mula beranjak dari kalangan terdekat, sekitar kediamannya, yang kemudian menjalar ke luar ke tempat-tempat yang jauh. Maka peran yang melekat pada status keulamaannya dipandang signifikan untuk mendulang suara pilpres 2019.

Kondisi semacam inilah yang sering dimanfaatkan oleh para elite politik untuk menjaring masa dukungan guna memenangi kancah percaturan dalam pemilu. Menggunakan atau memanfaatkan figur ulama untuk memenangi dalam pemilu adalah sah-sah saja, asal ulama sendiri bisa memposisikan diri sebagai pengarah ke arah yang lebih positif atau lebih baik. Dan yang terpenting peran ulama atau kyai dalam percaturan kancah politik tidak melupakan tujuan mulia yaitu mengajak masyarakat untuk sadar menggunakan hak pilihnya yang tentunya untuk memilih pemimpin yang amanah dan selalu mementingkan kepentingan umat atau rakyat.

Penulis adalah Dosen UMSU
Mahasiswa Pascasarjana UIN Raden Fatah Palembang

Close Ads X
Close Ads X