Pengajuan Grasi Kini Tak Terbatas Waktu

Oleh : Maria Rosari
Pada hari itu terpidana mati Suud Rusli bisa bernapas sedikit lega karena Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materi yang dia ajukan terkait dengan dengan Pasal 7 ayat (2) Undang Undang Nomor 5 Tahun 2010 yang memuat tentang pembatasan waktu pengajuan grasi.

Suud adalah anggota TNI Angkatan Laut yang dipidana mati atas kasus pembunuhan Dirut PT Aneka Sakti Bhakti (Asaba) Budyharto Angsono. Mungkin bukan hanya Suud, tetapi terpidana lain yang belum sempat mengajukan grasi karena dianggap sudah melewati batas waktu, kini bisa bernapas sedikit lega.

Pada pertengahan Juni 2016, Ketua Majelis Hakim Konstitusi Arief Hidayat membacakan amar putusan Mahkamah yang menyatakan mengabulkan permohonan Suud untuk uji materi UU Grasi terkait dengan batas waktu pengajuan grasi.

Awalnya pada 2013 Suud sudah mengajukan grasi namun ditolak karena dianggap melanggar UU Grasi terbaru yang dibuat oleh Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam undang undang yang dibuat oleh Pemerintahan Pre­siden Susilo Bambang Yudhoyono tersebut menyatakan bahwa grasi yang diajukan lebih dari satu tahun sejak inkracht nya putusan (berkekuatan hukum tetap) maka akan dianggap kadaluarsa, sehingga pengajuan grasi lebih dari satu tahun setelah inkracht dianggap seolah-olah telah melanggar undang undang.

Sementara itu, Suud baru mengajukan permohonan grasi pada 2013, beberapa ta­hun setelah Mahkamah Agung me­ngeluarkan putusan ber­kekuatan hukum tetap. Pada permohonannya, Suud menyebutkan bahwa pemberian grasi merupakan hak prerogatif presiden yang tidak boleh dibatasi waktu pengajuannya karena bertentangan dengan keadilan yang diatur dalam UUD 1945.

Selain itu Suud juga menilai bahwa grasi telah dijamin oleh konstitusi sehingga tidak dapat direduksi atau dibatasi oleh undang-undang di bawahnya. Mahkamah Konstitusi rupanya berpendapat serupa karena dalam pertimbangannya, Mahkamah menyebutkan bahwa permohonan grasi merupakan hak prerogatif presiden yang tidak dibatasi oleh waktu pengajuannya karena menghilangkan hak kon­stitusional terpidana.

“Pembatasan jangka waktu pengajuan permohonan grasi sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) UU Grasi, ternyata berpotensi menghilangkan hak konstitusional terpidana khususnya terpidana mati,” ujar Hakim Konstitusi Aswanto ketika membacakan pertimbangan Mahkamah di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta.

Selain itu Mahkamah menilai bahwa pembatasan demikian juga menghilangkan hak pemohon jika hendak mengajukan upaya hukum luar biasa peninjauan kembali atau PK, yang salah satu syaratnya adalah adanya novum atau data yang memang belum terungkap. “Sedangkan ditemukannya novum itu sendiri tidak dapat dipastikan jangka waktunya,” ujar Aswanto.

Selain itu Mahkamah juga berpendapat bahwa grasi tidak hanya penting untuk terpidana, namun juga bisa menjadi kepentingan negara. Hal ini dikatakan Aswanto terkait dengan besarnya beban politik yang ditanggung atas penghukuman yang diberikan kepada terpidana yang mungkin ada kaitannya dengan tekanan rezim kekuasaan.

Grasi juga dapat dijadikan sebagai jalan keluar terhadap seorang narapidana yang sangat memilukan keadaannya seperti mengalami sakit keras, sakit tua, ataupun penyakit menular yang tidak mungkin dapat bertahan hidup dalam lembaga pemasyarakatan.

“Terpidana menjadi gila, sehingga secara akal yang sehat dan atas dasar pertimbangan perikemanusiaan haruslah diberi kesempatan secara hukum dalam hal ini melalui pemberian grasi,” pungkas Aswanto.

Pendapat ahli Dalam persidangan dengan agenda mendengarkan keterangan ahli pada akhir tahun 2015, beberapa keterangan ahli yang dihadirkan mendukung permohonan Suud terkait batas waktu pengajuan grasi.

Aidul Fitriciada Azhari yang saat ini menjabat sebagai Ketua Komisi Yudisial, pada Oktober 2015 juga sempat pada hadir untuk memberikan keterangan sebagai pakar hukum pidana.
Aidul menyebutkan bahwa kekuasaan Presiden untuk memberikan grasi adalah kekuasaan konstitusional yang tidka dapat dicampuri oleh cabang kekuasaan yang lain.

“Demikian pula halnya dengan pembatasan terhadap kekuasaan tersebut akan bertentangan dengan hakikat kekuasaan presiden dalam memberikan grasi yang bersifat pribadi,” kata Aidul.
Lebih lanjut Aidul dalam keterangannya juga menyebutkan bahwa pengajuan permohonan grasi paling lama dalam jangka waktu satu tahun setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht), adalah bertentangan dengan hakikat kekuasaan presiden untuk memberikan grasi yang bersifat pribadi dan mengandung kebaikan hatinya kepada individu warga binaan.

Selain itu, pakar hukum pidana Andi Muhammad Asrun dalam keterangannya sebagai ahli dalam persidangan di Mahkamah Agung juga menyebutkan bahwa memberlakukan batas waktu untuk pemberian grasi merupakan tindakan yang sangat tidak beralasan dan bertentangan dengan semangat yang dikandung dalam Pasal 1 ayat (3) juncto Pasal 28D ayat (1) Undang Undang Dasar 1945. “Bahwa pembatasan waktu pemberian grasi juga telah membatasi, menghalangi, menegasi hak konstitusional Presiden baik kepala Negara untuk memberikan grasi,” kata Andi.

Andi juga menjelaskan bahwa pemberian grasi sesungguhnya juga bermuara pada semangat perlindungan hak asasi manusia warga negara, dari perlakuan semena-mena dari proses peradilan yang memperlihatkan tidak terpenuhinya unsur keadilan. “Kemudian putusan hakim yang tidak adil itu dapat bersumber dari tekanan kekuasaan di luar kekuasaan kehakiman, seperti tekanan politik pemerintah,” jelas Andi.

Pakar hukum pidana lainnya, Firman Wijaya, menegaskan bahwa pemberian grasi bukanlah merupakan campur tangan presiden dalam bidang yudikatif, melainkan hak konstitusional Presiden untuk memberikan pengampunan. “Grasi juga tidak terkait dengan penilaian terhadap putusan hakim dan tidak menghilangkan kesalahan terpidana,” jelas Firman.

Firman dalam keterangannya juga mempertanyakan bagaimana presiden selaku kepala negara dan pemerintahan untuk memajukan bangsa, mensejahterakan, mempersatukan, dan menegakkan keadilan substantif jika kemudian hak pemberian grasi dibatasi ruang dan waktu. “Terbukti grasi tidak dapat digugat melalui pengadilan tata usaha negara,” pungkas Firman.

Dengan tidak terbatasnya waktu pengajuan Grasi, maka para terpidana yang merasa sudah terlambat untuk mengajukan grasi, kini dapat mengajukan grasi dengan harapan mendapatkan keringanan hukuman. (ant)

(1)

Close Ads X
Close Ads X