Pembangunan Infrastruktur Dalam Kebencanaan dan Melemahnya Rupiah

Oleh : Muhammad Razi Rahman
Sebagai negara kepulauan yang memiliki banyak gunung berapi dan karenanya kerap dikenal sebagai “Ring of Fire”, sangat wajar bila aspek kebencanaan terasa dekat dengan masyarakat di Tanah Air.

Untuk itu pula, pembangunan infrastruktur yang sedang di­galakkan pemerintahan Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Jusuf Kalla di berbagai daerah juga perlu mempertimbangkan kondisi bencana alam yang kerap terjadi di Tanah Air.

“Pembangunan infras­truk­tur di Indonesia perlu mem­pertimbangkan fenomena bencana alam,” kata Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono dalam Rapat Koordinasi Nasional Pimpinan Badan Penanggulangan Bencana di Sentul, Selasa (8/9).

Untuk itu, ujar Basuki Ha­dimuljono, berbagai pihak terkait juga perlu mengoptimalkan serta menyinergikan potensi yang dihadapi. Apalagi, pada saat ini Indonesia juga tengah menghadapi dampak fenomena cuaca global yang kerap disebut sebagai El Nino.

Menteri PUPR mencontohkan, dalam menghadapi kondisi peru­bahan pola dan intensitas hujan maka perlu mengoptimalkan tem­pat penampungan buatan alami seperti situ, embung, dan bendungan.
“Itu diperlukan untuk me­nampung hujan, meredam banjir, serta menggunakan air di musim kemarau,” jelasnya.

Sedangkan terkait dengan bencana gempa bumi, ia me­ngemukakan bahwa pihaknya juga sangat aktif dalam pen­yusunan dan pembaharuan peta gempa Indonesia. Basuki mengungkapkan, data gempa terakhir cenderung me­nunjukkan intensitas yang semakin besar seiring dengan semakin majunya teknologi ke­gempaan yang ada.

Sementara itu, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian PUPR Arie Setiadi mengatakan, pihaknya juga se­dang mengelar rapat koordinasi pembahasan peta gempa. “Semua gempa berpotensi, terlebih gempa yang dipicu akibat beban pengisian air pada waduk,” katanya. Sedangkan Menteri Ba­suki juga menginginkan agar tim yang terkait dalam pembangunan infrastruktur juga harus kompeten dan dilengkapi dengan data yang lengkap dan akurat.

Sesuai rencana Selain fenomena iklim El Nino yang mengglobal, In­donesia juga terkena dampak dari globalisasi lainnya, yaitu kondisi ekonomi global yang juga berdampak antara lain terhadap melambatnya pertumbuhan pe­re­konomian nasional dan me­lemahnya nilai mata uang rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).

Namun, Direktur Jenderal Bina Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Yusid Toyib mengatakan, pembangunan infrastruktur di Tanah Air dinilai masih sesuai rencana meski kondisi mata uang rupiah yang melemah terhadap dolar AS.

“Agar pelaku industri tidak khawatir dengan kenaikan harga tukar dolar terhadap rupiah ter­sebut, saat ini keadaan pe­merintah cukup solid untuk mengatasi permasalahan global seperti ke­naikan harga dollar tersebut dan pembangunan infrastruktur akan sesuai dengan rencana,” kata Yusid Toyib.

Menurut dia, saat ini justru merupakan kesempatan untuk membangun dan jangan sampai kenaikan nilai mata uang dolar AS terhadap rupiah dijadikan sebagai halangan dalam membangun.
Ia mengemukakan bahwa APBD dan APBN untuk sektor infras­truktur tidak berkurang justru diperkirakan akan bertambah setiap ta­hunnya. “Ketika kondisi keuangan membaik, kondisi in­frastruktur kita sudah siap,” ujar Yusid. Dirjen Bina Konstruksi menjelaskan, potensi pasar in­frastruktur di Indonesia dapat dilihat antara lain dari “output” (keluaran) utama Kementerian PUPR. Dengan total anggaran pada 2015 sekitar Rp118 triliun, lanjutnya, Kementerian PUPR akan menghasilkan waduk, irigasi, pengelolaan air baku, jalan nasional, jembatan, jalan tol, air minum, dan pengembangan pemukiman, pengembangan ba­ngunan lingkungan, pengolahan limbah, pengolahan sampah dan drainase, tenaga kerja, badan usaha jasa konstruksi, pembiayaan perumahan, dan penyediaan perumahan.

Sementara itu, Sekretaris Ditjen Bina Konstruksi Kementerian PUPR Panani Kesai mengatakan salah satu tantangan terbesar Indonesia dalam waktu dekat adalah me­ngin­tegrasikan Indonesia dalam menghadapi liberalisasi per­da­gangan barang dan jasa, ter­masuk di antaranya adalah terkait dengan pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015.

“Bagaimana ketahanan masyarakat jasa konstruksi Indonesia dalam menghadapi pasar kompetitif yang baru yang akan memberikan dampak signifikan terhadap kondisi jasa konstruksi nasional,” papar Panani.

Untuk itu, Direktorat Jenderal Bina Konstruksi juga bakal banyak melakukan komunikasi termasuk dengan industri terkait konstruksi agar dapat menciptakan sinergitas yang baik antara pihak swasta dengan pemerintah sehingga tercipta iklim sektor jasa konstruksi yang lebih baik lagi ke depan.

Sebagaimana diberitakan, penurunan harga minyak mentah dunia selama beberapa waktu terakhir ini sebenarnya dapat menjadi peluang untuk menggalakkan pembangunan infrastruktur di berbagai daerah di Tanah Air. “Turunnya harga minyak dunia mestinya membuat ongkos angkut juga menjadi lebih murah,” kata Wakil Presiden Jusuf Kalla di Jakarta, Jumat (4/9).

Wapres mengingatkan bahwa pada tahun 2014 lalu harga minyak dunia dapat mencapai lebih dari 100 dolar AS per barel, namun kondisinya pada saat ini, harga minyak dunia malah berada di sekitar 50 dolar AS per barel.

Untuk itu, ujar dia, kondisi penurunan ekonomi global juga dapat dijadikan sebagai peluang guna membangun infrastruktur karena harga baja dan aspal juga dinilai lebih murah sebagai imbas dari turunnya harga minyak dunia.

Selain itu, Jusuf Kalla juga mengingatkan bahwa saat ini biaya sewa alat berat juga banyak yang memberikan potongan harga karena banyaknya alat besar yang menganggur akibat rendahnya harga sejumlah komoditas dari sektor pertambangan.

Pro-kontra investasi Sementara itu, sejumlah instansi seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga telah berencana membuka investasi baik bagi investor asing maupun domestik untuk mengembangkan pulau-pulau terluar yang ada di kawasan perbatasan di Tanah Air.

Namun, hal tersebut mendapat kritik dari sejumlah pihak seperti Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) yang menilai bahwa fokus untuk pembangunan infrastruktur dasar terutama pasokan listrik dan air yang memadai bagi warga perbatasan, lebih penting daripada membuka investasi di pulau-pulau terluar.

“Presiden mengingatkan kita untuk kerja, kerja, kerja. Oleh sebab itu, sebelum Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti membuka investasi asing di 31 pulau dari 92 pulau kecil terluar, ada baiknya pemerintah terlebih dahulu fokus kerja untuk menyediakan infrastruktur dasar rakyat,” kata Ketua Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) M Riza Damanik kepada Antara di Jakarta, Selasa (8/9).

Menurut Riza, rencana Menteri Susi untuk membuka investasi asing di pulau-pulau kecil terluar terlalu dini dan berisiko tinggi, apalagi pemerintah belum fokus penyediaan infrastruktur dasar seperti air bersih, listrik, dan transportasi.

Padahal, Ketum KNTI mengingatkan, berawal dari penyediaan infrastruktur dasar tersebut maka ekonomi Indonesia juga dinilai akan tumbuh berkualitas dan dinikmati nelayan dan masyarakat di pulau-pulau kecil .

Ia memaparkan, berdasarkan UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, peruntukan pulau kecil terluar terbatas adalah untuk pertahanan dan keamanan, kesejahteraan masyarakat, dan/atau pelestarian lingkungan.

Selain dihadapkan risiko rendahnya kepatuhan investasi asing terhadap aspek kelestarian lingkungan dan perlindungan sosial, ujar dia, sejumlah pulau terluar juga perbatasan, tengah dihadapkan isu- isu pertahanan dan keamanan.

“Strategi APBN 2016 sebenarnya lebih dari cukup untuk membalik ketidakadilan tersebut dan selanjutnya memulai bangkitnya ekonomi pesisir dan pulau-pulau kecil terluar secara berdikari. Kuncinya ada pada kemitraan dengan organisasi-organisasi nelayan, masyarakat adat dan koperasi, mulai dari inisiasi, distribusi, implementasi, hingga pengawasannya,” ujar Riza.

Sebelumnya, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menginginkan berbagai pihak yang memiliki otoritas agar jangan sampai melakukan langkah-langkah yang mengarah kepada komersialisasi atau privatisasi dari pulau-pulau terluar Republik Indonesia.

“Investasi yang seharusnya didorong adalah gotong royong antarmasyarakat dengan pemda setempat, bukan menyerahkan kepada investor asing atau domestik dengan skema privatisasi dan komersialisasi seperti yang dilakukan KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan),” kata Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim kepada Antara, di Jakarta, Minggu (6/9).

Menurut Abdul Halim, rakyat punya semangat gotong royong dan sudah dibuktikan di banyak tempat, seperti dalam program pendampingan Kiara yang terdapat di Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara.

Sedangkan terkait dengan argumen jumlah dana yang tidak memadai dari APBN/APBD untuk mengelola pulau-pulau terluar, Abdul Halim mengingatkan bahwa APBN atau APBD adalah alat untuk menyejahterakan rakyat dan jumlahnya cukup besar. “Karena tidak kreatifnya pemerintah dan pemda berakibat pada tidak terpakainya anggaran untuk kesejahteraan rakyat,” katanya.

Namun, program investasi untuk infrastruktur juga dibela oleh sejumlah pihak, antara lain Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Christine Lagarde yang menilai pemerintahan di Asia, termasuk Indonesia, memerlukan dana pembangunan infrastruktur yang cukup besar.

Christine Lagarde mengemukakan, uang pemerintah yang tidak cukup sehingga infrastruktur juga memerlukan pasar modal untuk menyediakan sumber-sumber baru pembiayaan swasta, termasuk modal risiko dari dana infrastruktur yang dapat dijual kepada investor jangka panjang.

Lagarde menambahkan, investasi swasta juga harus dibangun di atas dasar lingkungan bisnis yang menarik. Hal tersebut juga bermakna bahwa pemerintahan juga harus mendukung dengan aturan yang transparan dan dirancang dengan baik serta intoleran terhadap korupsi. “Hal ini dapat memperkuat ekspektasi bahwa risiko dan hasil yang didapat akan mencapai keseimbangan yang tepat,” ujar Lagarde.

Terjangkau Sebenarnya, pemerintah dinilai dapat saja membangun infrastruktur transportasi yang terjangkau dan terintegrasi dengan sektor pembangunan lain, ketimbang memilih proyek berbiaya mahal seperti kereta api super cepat, kata Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi

Menurut Tulus, pemerintah sebaiknya konsisten dengan rencana induk kebijakan transportasi nasional. Dengan biaya investasi sekitar 5,5-6,2 miliar dolar AS dan rute dengan sarana yang sudah memadai, Tulus mempertanyakan sasaran dan peruntukkan proyek kereta cepat yang diperebutkan investor Tiongkok dan Jepang.

“Yang penting sekarang justru adalah kebutuhan transportasi umum di kota-kota besar, yang saat ini mati suri. Merevitaliasi angkutan umum jauh lebih bermartabat dari KA super cepat yang hanya memanjakan investor,” tuturnya.

Dia menilai pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung dapat memperlebar tingkat kesenjangan ekonomi antara Jawa dan luar Jawa. Sebaiknya pembangunan transportasi dengan paradigma untuk kesetaraan fasilitas trasnportasi antarwilayah menjadi fokus pemerintah. “Lebih baik membangun kereta api di Kalimantan, Sulawesi, Sumatera atau merevitalisasi kereta api di Jawa,” ujarnya.

Sebelumnya, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono mendorong percepatan pembangunan infrastruktur untuk mempercepat penyerapan anggaran 2015. “Rapat kerja di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat ini pertama untuk percepatan pekerjaan 2015. Sampai dengan kemarin 2 September jam 16.00 WIB ‘progress’ (kemajuan) dari Rp118,5 triliun itu 33,04 persen penyerapannya atau sekitar Rp39 triliun,” katanya saat konferensi pers terkait Rapat Kerja Kementerian PUPR 2015 yang membahas tema “Percepatan Pelaksanaan Anggaran Tahun Anggaran 2015 dan Persiapan Pelaksanaan Anggaran Tahun Anggaran 2016”, di Ruang Serbaguna Kementerian PUPR, Jakarta, Kamis (3/9).

Ia mengharapkan penyerapan anggaran pada akhir September dapat mencapai 44 persen, akhir Oktober dapat mencapai 56 persen dan November sebesar 70 persen. Kemudian pada akhir Desember, penyerapan anggaran mencapau 93 persen. “Kalau penyerapan 93 persen, itu ada 7 persen yang mungkin tidak bisa itu diserap itu bagian dari sisa tender,” ujarnya.

Ia mengatakan ada 14.000 paket yang ditender, dan 7 persen tersebut berasal dari sisa tender yang belum dikerjakan optimal. Selain itu, untuk persiapan pelaksanaan anggaran tahun anggaran 2016, salah satu upaya kementerian adalah mulai dilakukannya tender pada September.

“Mulai akan tender pada September ini sudah dimulai. 61 paket di Direktorat Jenderal Bina Marga sebesar Rp3,7 triliun. Ini nanti akan diikuti oleh Direktorat Jenderal Cipta Karya, Sumber Daya Air dan Penyediaan Perumahan,” ujarnya.

Dengan adanya tender yang dipercepat dan dengan jadwal yang telah ditentukan, diharapkan pembangunan infrastruktur juga dapat lancar sesuai jadwal sehingga pembangunan ekonomi nasional juga bisa semakin lebih bergairah. (ant)

:

Close Ads X
Close Ads X