Netralitas Media Dalam Pemilu

Kebebasan, satu kata itulah yang mungkin bisa menggambarkan adanya pembedaan jelas kondisi media masa pra dan pasca reformasi. Pada masa sebelum reformasi baik pada orde lama maupun baru, pers benar-benar harus berpikir dan bekerja keras agar terhindar dari represi politik, dengan cara memilih sebagai pers yang berpihak kepada pemegang kekuasaan, atau memilih jalan tengah dengan cara menggeser konsep penerbitan, yakni menjauhi isu-isu yang berbau politik (memilih isu-isu netral) dan konsep hardnews, dengan merubahnya menjadi konsep newsmaking.

Kebebasan di dalam bermedia ini pada akhirnya mendorong adanya diversifikasi industri media, termasuk penyiaran yang sebelumnya hanya dimonopoli oleh satu atau sekelompok tertentu, mengingat izin pendirian media termasuk televisi sebelumnya cukup sulit.

Akibatnya, saat itu terjadi monopoli kepemilikan media termasuk halnya tentang konten atau isi media, sehingga salah satunya muncul sindiran “Indonesia bukan hanya Jakarta, Bung”, dan lain sebagainya.

Munculnya Undang-Undang Penyiaran disamping UU Pers makin memperluas kesempatan masyarakat untuk mendapatkan informasi dan menghapus sentralisasi penyiaran. Banyaknya sumber informasi, khususnya televisi baik televisi swasta nasional maupun lokal ditambah dengan media penyiaran berlangganan lain yang bisa diakses masyarakat ini tentunya sangat menguntungkan masyarakat.

Masyarakat dapat memilih informasi yang mereka inginkan, dan memenuhi semua kebutuhan informasi mereka dengan sekian saluran yang ada. Kita juga melihat, media pun tak lagi menunjukkan ketakutan mereka untuk menyampaikan isu-isu panas sebagaimana dihindari masa pra reformasi.

Media saat ini bebas bahkan sangat bebas dalam mengemas dan menyajikan fakta-fakta yang mereka dapat. Tak ada lagi ketakutan dalam menyajikan informasi termasuk terang-terangan menyerang pemerintah atau pihak penguasa, sekiranya dianggap perlu dikritik, dalam rangka menjalankan kontrol sosial atas fungsi pers. Ini merupakan sejarah baru bagi pers Indonesia khususnya pasca orde baru, dimana sejumlah media di negeri ini secara terang-terangan menunjukkan keperpihakan atau dukungan mereka terhadap tokoh politik, penguasa.

Sejumlah media khususnya televisi, begitu jelas dapat kita lihat, sering menyiarkan kegiatan politik pemilik modal. Hal itu jelas dapat kita lihat mulai jelang masa pemilihan umum presiden. Ini tentu sangat ironis.

Jika dahulu para pekerja media harus berjuang menghindar dari represi politik sang penguasa, kini pekerja media harus berjuang menghindari represi pemilik modal dan segala kepentingan melingkupinya, demi mewujudkan pers yang benar-benar adil dan bertanggungjawab.

Sangat ironis karena kebebasan pers kini justru diciderai dan direnggut oleh internal media massa itu sendiri. Di internal media sendiri bukan berarti lepas dari pergolakan yakni antara menuruti perintah dengan alasan ekonomis ataukah harus mengedepankan idealisme dan nurani.

Dari sini kita dapat melihat bahwa pers (pekerja) akan tetap dan terus berjuang melawan adanya represi-represi dalam wujud dan tingkatan berbeda sebagaimana masa pra reformasi, namun pada substansinya adalah sama.

Apa yang menimpa media kita khususnya dalam bidang pemberitaan, jika boleh diwujudkan dalam bentuk tanda tanya, bahwa jurnalisme telah dirusak oleh para pemilik profesi itu sendiri? Mereka yang berdiri di balik pemberitaan, tentu akan mengakui jika tidak akan pernah lepas dari namanya tekanan pemilik modal sebab bagaimanapun media massa adalah institusi bisnis yang juga mengutamakan keuntungan.

Pengetahuan dan kesadaran pula dari para pemilik modal akan inti dari jurnalisme merupakan sesuatu yang penting dan utama sebab kepercayaan masyarakat yang menjadi taruhan.

Berita menjadi komoditas sebab berita dijual dan dibeli melalui agen berita. Terlepas dari adanya kewajiban untuk kepentingan publik, media secara umum beroperasi menurut dikte ekonomi pasar.

Dedy N. Hidayat menyatakan, selama semua itu dipandang dari sisi ekonomi, maka berita sebagaimana dikatakan pula oleh Graemen Burton, tak akan lebih dari sekadar komoditas. Tendensi liberalisasi industri media memunculkan ancaman tersendiri terhadap kualitas pers.

Terus bertambahnya jumlah televisi membuat persaingan di dunia usaha ini semakin sengit. Kedikdaktoran pasar akan menentukan siapa dan apa yang akan dikesampingkan media penyiaran.

Penulis adalah Dosen UMSU
Aktifis Perempuan Sumatera Utara

Close Ads X
Close Ads X