Nasionalis Religius Perspektif Politik

Presiden Joko Widodo menyatakan menggandeng Ketua Majelis Ulama Indonesia, Prof. Dr. Ma’ruf Amin sebagai pasangan bakal calon presiden dan calon wakil presiden pada pemilihan 2019. Jokowi menyatakan mempunyai alasan khusus mengapa memilih sosok Maruf yang cukup senior. Alasannya saling melengkapi, nasionalis-religius. Di Indonesia, agama memiliki ruang gerak struktural dan mengambil fungsi sebagai penyambung lidah kebijakan pemerintahan. Kedua agama berfungsi sebagai prophetic religion, yang berfungsi sebagai kekuatan pembebas, yang merespon persoalan-persoalan konkret yang dihadapi oleh masyarakat, seperti kezaliman, kemiskinan, dan ketidakadilan.

Kita telah akrab dengan konsep “Bineka Tunggal Ika” sebagai identitas bangsa Indonesia. Kalimat itu hakikatnya diadopsi dari Filsafat Nusantara sebagai motto pemersatu Nusantara atas adanya keragaman pada zaman Kerajaan Majapahit. Dalam sejarah pergerakan kemerdekaan, bangsa Indonesia telah mencapai titik kesepakatan trilogy kebangsaan: satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa yang dikenal dengan sumpah pemuda, 28 Oktober 1928. Perbedaan daerah, suku, agama, dan bahasa lokal telah diendapkan dalam kesadaran kolektif kebangsaan yang lebih luas. Ikrar yang diucapakan dengan penuh ketulusan telah menumbuhkan kesadaran kebangsaan yang ideal hingga akhirnya tercapailah kemerdekaan Indonesia.

Dalam konteks dewasa ini, Indonesia menghadapi problem kemajemukan dan keragaman itu. Ada banyak agama, ada banyak ideologi, ada banyak pendekatan, ada banyak cita-cita, dan bahkan ada banyak kelompok. Maka masalahnya adalah bagaimana memecahkan problema realitas kehidupan antara kemajemukan dan kompleksitas di satu pihak dengan persatuan di lain pihak. Ada dua faktor yang dapat dipertimbangkan sebagai sebab mengapa muncul integrasi semacam itu pada masa lalu dalam masyarakat Indonesia. Pertama adalah pemahaman akan gagasan nasionalisme oleh para pemimpin pergerakan sebagai satu produk ide modernitas yang terpenting pada masa pergerakan nasional melawan kaum penjajah, sebelum mereka sempat memikirkan bentuk negara; dan kedua factor agama, khususnya agama Islam.

Kedudukan Islam sebagai agama mayoritas telah menjadi pengikat berbagai suku yang tersebar di kepulauan nusantara dan merupakan salah satu dasar persatuan yang penting. Dalam sejarah Indonesia agama Islam tidak hanya berfungsi sebagai priestly religion, sebagai penyangga status qua, tetapi ia juga berfungsi sebagai propethic religion, yang menjadi model mobilisasi massa untuk menggerakan perubahan. Pasca kemerdekaan, peran agama dalam sejarah kebangsaan Indonesia masih sangat strategis. keberhasilan program keluarga berencana pada masa orde baru, transmigrasi, swasembada pangan tidak bisa dilepaskan dari pengaruh pemuka agama.

Agama melekat pada multi dimensi baik, sosial, ekonomi, dan politik. Oleh karena itu dalam konteks Indonesia tidak dikenal adanya pemisahan struktur agama dari negara, tapi juga agama dan negara bukan menjadi lembaga yang menyatu. Hakikatnya agama lahir dalam ruang budaya, dan tidak bisa dilepaskan dari pengaruh budaya di mana agama itu lahir, tumbuh, dan berkembang, sehingga kehidupan beragama merupakan gejala universal yang ditemukan sepanjang sejarah masyarakat, dari zaman klasik sampai kontemporer. Menurut Bergson (1859-1941), “Kita menemukan masyarakat tanpa sains, seni, dan filsafat, tapi tidak ada masyarakat tanpa agama”.

Bahkan agama adalah the most important aspect of culture yang terus berinteraksi dengan institusi budaya, baik budaya material, perilaku, pandangan hidup, seperti nilai moral, ekonomi, hukum, politik, seni dan sebagainya. Agama merupakan representasi kolektif manusia, sehingga gejala-gejala sosial seringkali ditafsirkan dengan perspektif religius, lebih-lebih masyarakat akan berpaling kepada agama untuk mencari jawaban atas kompleksitas sosial yang rumit. Semakin permasalahan itu fundamental dalam hidup sosial, semakin agama dengan mudah dapat ditemukan.

Tantangan itu sebenarnya bisa dijawab jika kita bangsa Indonesia mengembangkan multikulturalisme dalam bingkai ideologi Pancasila, dalam arti memilih model multikulturalisme yang sesuai dengan ideologi Pancasila. Dalam konteks ini, bentuk multikulturalisme harus cair dalam kelompoknya, demikian pula dalam batasan kelompoknya, kebebasan dalam berafiliasi dan bukan pemaksaan.

Konsepsi identitas kelompok harus non eksklusif. Di samping model batasan kelompok harus cair, kebebasan dalam berafiliasi, dan identitas kelompok non eksklusif sebagai yang digagas oleh Kymlicka sebagai nilai-nilai model multikulturalisme, maka dalam konteks Indonesia harus ditambah dengan kesesuaiannya dengan nilai-nilai Pancasila, seperti nilai Ketuhanan Yang Mahaesa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dan Perwakilan, dan Keadilan Sosial.

Penulis adalah Alumni UMSU

Close Ads X
Close Ads X