Oleh : Hasrian Rudi Setiawan
Pada tahun 2015, hasil temuan badan pendidikan PBB Unicef menyebutkan bahwa hampir setengah anggaran pendidikan di Negara berpenghasilan rendah, termasuk Indonesia, hanya dinikmati sekitar kurang lebih 10% penduduknya. Dengan demikian kesempatan bagi orang miskin untuk mengecam pendidikan bagi orang miskin di Negara-negara berpenghasilan rendah semakin sedikit.
Dan Unicef juga menyimpulakan hasil temuanya bahwa anggaran pendidikan akan lebih banyak dinikmati golongan menengah ke atas. Bahkan sekitar 20% siswa kaya dapat menerima menerima sumber daya umum yang 17 kali lebih banyak jika dibandingkan dengan 20% siswa yang miskin tersebut.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, terhadap ketimpangan pendidikan di Negara-negara miskin dan berkembang, termasuk Indonesia. Maka UNESCO menyarankan agar investasi dalam pendidikan didistribusikan secara lebih merata.
Dengan kata lain, semua orang harus mendapat kemudahan mengecam pendidikan, termasuk anak miskin yang tinggal dipedesaan maupun yang dari kelompok minoritas. Menurut Unicef sebagaimana data yang dirilis oleh Bank Dunia bahwa ketimpangan pendidikan yang ada di Indonesia tersebut dipicu oleh rendahnya angka partisipasi pendidikan masyarakat dan tingkat pendidikan.
Selain itu juga, ketimpangan pendidikan yang ada di Indonesia juga bertalian erat dengan ketimpangan ekonomi. Bahkan menurut Bank Dunia, ketimpangan pendidikan di Indonesia, setara dengan Etiopia, Uganda, dan beberapa negera miskin lainnya.
Sampai saat ini, bagi orang miskin keterbatasan dalam mengecam pendidikan merupakan masalah yang sangat serius yang belum terselesaikan hingga saat ini. Keterbatasan dalam mengecam pendidikan itu tidak hanya di tingkat dasar, namun juga pada jenjang yang lebih tinggi.
Disebutkan bahwa menurut data Statistik Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bahwa ada sekitar lebih kurang lima juta anak yang tidak mengecam atau putus pendidikan. Mereka tidak mengecam mendidikan dikarenakan berbagai hal mulai dari kemiskinan, tinggal di daerah yang sulit mendapatkan pendidikan, atau terpaksa bekerja dan lain sebagainya.
Menurut data Badan Pusat Statistik menyebutkan bahwa orang miskin di Indonesia dari tahun ketahun belum mengalami penurunan yang signifikan bahkan kelihatanya malah semangkin bertambah.
Bahkan kelihatannya dalam konteks tertentu orang miskin seakan terus dipelihara. Bahkan dalam kondisi tentu orang miskin tampak begitu diagung-agungkan.
Misalnya dalam pemilu legislatif, pilpres, pemilihan bupati/wali kota, maupun pemilihan lurah. Namun, akan tetapi, ketika sang kandidat sudah berhasil meraih kursi kekuasaan, dan proses politik berakhir, orang miskin kembali pada penderitaan mereka.
Karena itu, pembodohan dan kemiskinan yang terjadi harus diakhiri. Caranya adalah dengan membuka akses seluas-luasnya bagi orang miskin untuk mengecam pendidikan. Selain itu, komersialisasi pendidikan harus segera dihapus dari Indonesia. Sebab, hanya akan menghilangkan roh pedagogi.
Ketika pendidikan sudah didapat dengan cara mahal, melalui komersialisasi maka akan terbangun karakter mengejar materi agar modal kembali. Karena itu, sudah saatnya pemerataan akses pendidikan dibuka seluas-luasnya bagi semua anak bangsa, tanpa memandang si kaya dan si miskin.
Pemerintah dalam hal ini, sebagai salah satu yang memfasilitasi terciptanya lingkungan pendidikan, diharapkan agar melakukan pemerataan pendidikan yang meliputi persamaan kesempatan untuk mengecam pendidikan.
Persamaan kesempatan mengandung maksud setiap anak bangsa memiliki peluang yang sama mengakses pendidikan. Artinya mereka yang berasal dari daerah pedesaan memiliki akses pendidikan yang sama dengan yang tinggal di daerah perkotaan. Karena itu, strategi pemerataan pendidikan dalam arti pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan merupakan solusi yang tepat agar orang miskin bisa bersekolah.
Saat ini, pemerintah Indonesia telah menjalankan program dalam mencerdaskan kehidupan anak bangsa dan pemerataan pendidikan lewat program Indonesia Pintar, yang diikuti dengan peluncuran Kartu Indonesia Pintar (KIP). Hal ini, sebenarnya dapat menjadi solusi dalam mengatasi keterbatasan akses dan ketimpangan pendidikan.
Agar program ini berjalan dengan yang diinginkan, syaratnya, program tersebut harus dilakukan dengan efektif dan efisien. Sebagai program perlindungan sosial di bidang pendidikan. Sesuai dengan tujuan diluncuran Kartu Indonesia Pintar (KIP), maka sebenarnya program ini dibuat untuk memastikan dan menjamin seluruh anak usia sekolah dari keluarga kurang mampu bisa mengenyam pendidikan.
Tentunya, seberapa besar keefektifan Kartu Indonesia Pintar (KIP) yang diprogramkan oleh pemerintah,tentunya sangat bergantung pada kerja sama semua pihak. Dengan demikian akan tercipta akses pendidikan yang seluas-luasnya bagi setiap anak bangsa. Sehingga keadaan tidak menghalagi siapapun orangnya yang ingin mengecam pendidikan baik itu orang miskin sekalipun.
*) Penulis Dosen FAI UMSU.