Narkoba Dalam Lintasan Sejarah Indonesia

Oleh : Datuk Imam Marzuki

Sejalan dengan perkembangan kolonisasi maka perdagangan candu semakin tumbuh subur dan pemakaian candu secara besar-besaran dilakukan dikalangan ethnis cina, terutama di negara-negara jajahan ketika itu, termasuk Indonesia yang berada di bawah kekuasaan pemerintah kolonial Belanda. Dalam berbagai catatan sejarah, perdagangan candu/opium telah dimonopoli oleh VOC sejak tahun 1677, ketika diadakan perjanjian khusus dengan raja Mataram yang bertakhta pada waktu itu yakni Sultan Amangkurat II. Candu diserahkan kepada raja-raja oleh pihak VOC sebagai hadiah, sehingga tidak heran ketika masuknya candu, para pemimpin lah orang-orang pertama yang menikmati candu.

Menurut dugaan beberapa peneliti, candu menjadi bagian dari gaya hidup para elite dan mungkin saja termasuk rakyat jelata pada akhir tahun 1600. Maraknya konsumsi candu di masa lalu, tercermin ketika Sunan Pakubuwono II pada tahun 1742 melarang penggunaan candu, 1803 gerakan Padri mengecam penggunaan candu, tahun 1810 Paku Buwono IV menulis buku Wulang Reh yang juga mengulas tentang buruknya pengaruh candu, Een Ketjosegeschiedenis pada tahun 1887 menulis novel yang isinya mengecam Hindia Belanda mengenai opium, Kartini dalam suratnya pada tahun 1889 menulis tentang bumi putra Jawa yang menghisap candu, dan pada tahun 1908 Boedi Oetomo menganjurkan agar bumi putra tidak menghisap candu.

Dari imbauan itu dapat kita lihat betapa bahaya pengaruh mengisap candu sudah menyebar dalam berbagai kalangan, dan keberadaan candu adalah atas prakarsa penguasa saat itu.

Sebagaimana diketahui, perdagangan candu sangat penting artinya bagi pendapatan ekonomi negara-negara kolonial, termasuk Belanda. Pada tahun 1921, misalnya, pemerintah kolonial Belanda mendatangkan candu mentah sebanyak 177.344 kilogram dari India. Keuntungan yang diperoleh dari perdagangan itu adalah 44.035.000 gulden (Shanghai: NAOAC, 1929). Untuk meluaskan perdagangan candu di Indonesia, pemerintah kolonial Belanda melakukan strategi pemasaran dengan menunjuk agen-agen candu yang diawasi dan digaji. Melalui agen-agen inilah candu itu didistribusikan kepada konsumen lewat kaki-tangan dan jaringan sub-agen yang tersebar di berbagai tempat.

Adalah menarik untuk dicatat bahwa jumlah candu yang terjual di Sumatera Timur cukup besar jumlahnya. Dari berbagai sumber yang ada diperoleh fakta bahwa golongan penduduk yang banyak mengkonsumsi candu di daerah ini juga adalah para buruh perkebunan. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya kedai-kedai candu yang didirikan di daerah Sumatera Timur.

Bahkan menurut laporan Coolhas, Kontroleur Distrik Padang Begadai di Kabupaten Deli Serdang, bahwa pada tahun 1933 terdapat 14 kedai candu (verkooplaatsen) di daerahnya dan semuanya itu terletak di dekat perkebunan. Dilaporkan pula bahwa di distrik itu telah terjual kira-kira 10.457,96 thail(1,5 Ons) candu, dan menghasilkan keuntungan sebanyak 261.448 gulden (Almanak Nasional 1942). Pada akhirnya memang, perdagangan candu itu telah menyebabkan ribuan buruh tetap bekerja di perkebunan tanpa dapat mewujudkan harapan mereka untuk dapat pulang kembali ke kampung halaman.

Kebiasaan nyandu, madat atau yang lain tidak hanya dilakukan oleh orang pada zaman sekarang, akan tetapi kebiasaan ini telah dilakukan sejak zaman dahulu khususnya pada masa penjajahan Belanda. Hal ini tampak pada beberapa orang yang telah mengenal kebiasaan ini dengan istilah nyeret atau nyandu. Dahulu tujuan nyeret juga dilakukan untuk tidak hanya untuk sekedar menahan kantuk, sebagai contoh seorang dalang yang akan melakukan pertunjukan wayang semalam suntuk.

Perdagangan candu mampu mendatangkan penghasilan/keuntungan yang besar bagi pihak yang terlibat dan mengaturnya. Para pihak yang memperdagangkan candu tidak mempertimbangankan akibat buruk yang disebabkan pada pemakai, mereka mengejar keuntungan semata. Di masa lalu, ada pedagang resmi candu yang mengalami kebangkrutan akibat maraknya aksi para penyeludup candu (bandingkan saat kini tidak ada pedagang resmi candu, tetapi peredaran narkoba tetap ada/marak melalui para penyeludup).

Perdagangan dan penyelundupan candu di masa revolusi dilakukan oleh Negara, demikian hasil penelitian Julianto Ibrahim dalam bukunya yang berjudul “Opium Dan Revolusi: Perdagangan dan Penggunaan Candu di Surakarta Masa Revolusi (1945-1950). Sejalan dengan perkembangan kolonisasi maka perdagangan candu semakin tumbuh subur dan pemakaian candu secara besar-besaran dilakukan di kalangan etnis Cina, terutama di negara-negara jajahan ketika itu, termasuk Indonesia yang berada di bawah kekuasaan pemerintah kolonial Belanda.

Dari gambaran seperti di atas jelaslah bahwa perdagangan candu memang sengaja didorong dan diusahakan oleh pemerintah kolonial Belanda dengan tujuan ganda: di satu sisi untuk kepentingan pendapatan ekonominya, sedangkan di sisi lain untuk mengikat para buruh agar tidak bisa melepaskan diri dari daerah perkebunan.

Sebab biasanya, para buruh yang telah kecanduan menghisap candu itu akan membelanjakan penghasilan kerja kerasnya di perkebunan untuk membeli benda madat itu. Dan pada saat mereka tidak mempunyai uang untuk membeli candu, maka dengan mudah perusahaan perkebunan memberikan pinjaman. Apabila pinjaman itu tidak terbayar, maka masa kontrak kerja buruh itu diperpanjang. Perkembangan penyalahgunaan narkoba sudah sangat memperihatinkan.

Kalau dulu, peredaran dan pecandu narkoba hanya berkisar di wilayah perkotaan, kini tidak ada satupun kecamatan, atau bahkan desa di republik ini yang bebas dari penyalahgunaan dan peredaran gelap obat terlarang itu. Kalau dulu peredaran dan pecandu narkoba hanya berkisar pada remaja dan keluarga mapan, kini penyebarannya telah merambah kesegala penjuru strata sosial ekonomi maupun kelompok masyarakat dari keluarga melarat hingga konglomerat, dari pedesaan hingga perkotaan, dari anak muda hingga yang tua–tua.

Namun bagi kelompok masyarakat lain juga menjadi bagian dari katarsis (melarikan diri dari masalah), rekreasi atau lifestyle. Sebuah sumber yang terpercaya menjelaskan bahwa pada zaman dahulu ada tempat khusus yang disediakan oleh partikelir atau masyarakat umum yang digunakan sebagai tempat untuk menikmati candu, mungkin sama seperti shop gallery yang terjadi di Belanda saat ini.

Di dalam tempat itu orang bisa membeli candu dan menikmati ditempat itu pula. Pada tempat persewaan disediakan tempat tidur (amben), bedudan dan juga air minum teh dengan teko endhog dan gula batu. Mereka bermalas-malan sambil menikmati candu yang konon kabarnya saat itu banyak berasal dari daratan Cina. Kebiasaan nyandu, madat atau yang lain tidak hanya dilakukan oleh orang pada zaman sekarang, akan tetapi kebiasaan ini telah dilakukan sejak zaman dahulu khususnya pada masa penjajahan Belanda.

Candu pernah menghancurkan Tiongkok pada tahun 1840-an yaitu dipergunakan sebagai subversif oleh inggris, sehingga menimbulkan suatu perang yang terkenal dalam sejarah, yaitu Perang Candu (The Opiun War) pada tahun 1839-1842, yang dimenangkan oleh Inggris setelah berhasil merusak mental lawannya melalui candu. Proses pengolahan candu pada zaman dahulu masih sangat sederhana, salah satu prosesnya ialah menghilangkan bau, yakni dengan cara dicampur dengan air sulingan dan disimpan dalam guci 8 (delapan) sampai 12 (dua belas) bulan, setelah kering baru dipergunakan untuk keperluan pengobatan.

Penulis adalah Dosen UMSU

Mahasiswa Pasca UIN RF Palembang

Close Ads X
Close Ads X