Menyulam Asa Palestina

Oleh : Boy Anugerah

23 Desember 2016 tampaknya akan dikenang sebagai hari kelabu bagi Israel. Sebaliknya bagi Palestina, tanggal tersebut akan menjadi momentum untuk merajut kembali asa mereka sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. Pada tanggal tersebut, Dewan Keamanan PBB (DK PBB) akhirnya mengeluarkan Resolusi 2334 perihal desakan untuk mengakhiri pemukiman Israel yang dibangun di atas tanah Palestina.

Resolusi tersebut menyebut bahwa pembangunan pemukiman Israel merupakan sebuah pe­langgaran terhadap hukum in­ternasional dan menghambat terciptanya perdamaian dunia.

Resolusi 2334 DK PBB ini merupakan resolusi yang pertama disahkan menyangkut relasi Is­rael dan Palestina sejak 2009, juga merupakan resolusi yang pertama disahkan untuk mengatasi isu pemukiman Israel dengan kekhususan sejak Resolusi 465 tahun 1980.

Resolusi ini disetujui oleh 14 negara (4 negara anggota tetap, 10 negara anggota tidak tetap), serta 1 negara abstain, yakni Amerika Serikat (AS). Kendati memberikan pukulan telak kepada Israel, resolusi ini tidak memberikan sanksi apapun.

Ada hal-hal yang menarik untuk dicermati pasca dikeluarkannya resolusi ini.

Pertama, resistensi dan sikap kepala batu Israel. Untuk menunjukkan kemurkaannya, Perdana Menteri (PM) Israel, Bejamin Netanyahu, memanggil duta besar negara-negara yang mengusulkan resolusi tersebut. Salah satunya Senegal dengan mengancam akan mencabut ban­tuan proyek agroindustri yang saat ini sedang dijalin ke­dua negara.

Kedua, pilihan abstain atau tidak menyatakan pendapat oleh AS terkait resolusi menjadikan hubungan Israel dan AS panas dingin. Sikap AS ini cukup mengejutkan karena selama ini lobi-lobi Israel sangat handal dalam menjadikan AS sebagai tameng mereka di DK PBB.

Ketiga, siapapun yang mendukung perjuangan Palestina untuk merdeka wajib mengucapkan terima kasih kepada Selandia Baru, Senegal, Venezuela, serta Malaysia yang menjadi inisiator utama lahirnya resolusi.

Keluarnya Resolusi 2334 DK PBB ini sejatinya merupakan harga sepadan atas sikap Israel yang tidak hanya melakukan pelanggaran hukum internasional tapi juga menginjak-nginjak kemanusiaan bangsa Palestina.

Pasca perang selama enam hari pada 1967, Israel secara sepihak menduduki Tepi Barat dan Yerusalem Timur. Di kedua wilayah tersebut, Israel getol membangun pemukiman untuk warganya. Pada 2009, tercatat sedikitnya terdapat 297 pemukiman di Tepi Barat dan 193.737 pemukiman di Yerusalem Timur.

Pada akhir 2016, jumlah tersebut melonjak menjadi 386 ribu di Tepi Barat dan 208 ribu di Yerusalem Timur (Koran Tempo, 4/1). Yang lebih celakanya lagi, pembangunan tersebut tidak hanya merampas hak bangsa Palestina, tapi juga dihiasi aksi-aksi kekerasan, penyiksaan, dan penembakan terhadap bangsa Palestina yang melakukan per­lawanan. Benar-benar biadab.

Selama puluhan tahun, Pe­merintah Israel seakan tutup mata dan telinga terhadap te­kanan dunia internasional. Sikap bebal Israel ini tidak terlepas dari kuatnya pengaruh mereka terhadap AS yang notabene sekutu utama dan pemegang hak veto di DK PBB.

Apapun ancaman terhadap Israel di DK PBB, AS siap mengeluarkan hak vetonya yang berarti keputusan tidak dapat berlaku. Mesranya hubungan kedua negara menjadikan Israel semakin menjadi-jadi.

Israel tak malu menuding Iran yang dianggap mengembangkan senjata nuklir dan mengancam perdamaian di Timur Tengah. Padahal siapapun tahu negara Yahudi ini juga memili­ki nuklir secara ilegal. Lagi-lagi Israel menggunakan AS untuk menekan Iran di segala lini.

Isra­el juga tak sungkan menerima bantuan militer AS baik dalam bentuk hibah ataupun pembelian peralatan militer dengan harga murah untuk mengukuhkan cakar kekuasaannya di bumi Palestina.

Siapapun yang berkomitmen terhadap perdamaian dunia se­yogianya menjadikan momen Resolusi 2334 DK PBB ini sebagai momentum untuk menekan Israel. Jangan biarkan momen ini menja­di “dingin” dan tidak memberikan signifikansi apapun terhadap kemerdekaan dan tegaknya hak-hak bangsa Palestina.

Pernyataan Benjamin Netanyahu bahwa Israel tidak gentar terhadap keputusan tersebut juga patut dicermati.

Ada beberapa tindak lanjut yang harus dilakukan oleh dunia internasional untuk menjadikan resolusi tersebut benar-benar bertaji mengingat tidak ada sanksi apapun terhadap Israel.

Pertama, Palestina selaku pihak yang paling berkepentingan terhadap resolusi ini wajib melakukan tindak lanjut dalam bentuk langkah-langkah taktis di forum internasional. Palestina dapat mendesak Swiss untuk menyelidiki apakah Israel telah melakukan pelanggaran terhadap Konvensi Jenewa atau tidak.

Palestina juga dapat se­langkah lebih maju untuk me­nyeret Israel agar bertanggung jawab terhadap segudang pe­langgaran hak asasi manusia yang mereka lakukan di hadapan Pengadilan Kriminal Internasional (International Criminal Court/ICC).

Kedua, keempat belas negara anggota tetap dan tidak tetap DK PBB yang meloloskan resolusi dapat melakukan kampanye glo­bal terhadap masyarakat inter­nasional untuk melakukan boikot terhadap produk-produk ekspor Israel apabila tidak mematuhi resolusi tersebut.

Jikapun Is­rael masih tetap jumawa dan keras kepala, keempat belas negara jangan sungkan untuk mengkampanyekan pengucilan atau alienasi terhadap Israel dalam pergaulan internasional. Hal ini bukanlah hal tabu untuk dilakukan demi terwujudnya tata dunia yang lebih damai.

Ketiga, pergantian tampuk kepemimpinan AS dari Obama ke Donald Trump perlu dicermati. Cuitan Trump di Twitter yang menyerukan agar Israel bertahan dan menunggu pergantian pada 20 Januari mendatang mengin­dikasikan bahwa AS bisa kembali lagi menjadi tameng kukuh ba­gi Israel.

Menyikapi ini, dunia internasional dapat meminta dukungan Partai Demokrat se­laku oposisi di pemerintahan AS dan masyarakat domestik AS apabila AS di bawah Trump berani melenceng dari komitmen perdamaian Israel dan Palestina.

Terakhir, komposisi keang­gotaan di DK PBB adalah kunci untuk menekan Israel. Oleh sebab itu, setiap pergantian anggota di DK PBB seyogianya melibatkan unsur negara-negara yang berkomitmen terhadap kemerdekaan Palestina.

Negara yang habis masa jabatannya selaiknya merekomendasikan negara lain yang berkomitmen. Ini jugalah yang seharusnya menjadi faktor pendorong bagi Pemerintah RI agar persisten berjuang men­jadi anggota tidak tetap DK PBB periode 2019-2020.

Seperti yang ditegaskan oleh Menteri Luar Negeri RI, Retno Lestari Priansari Marsudi dalam pernyataan pers tahunan Menlu RI (Selasa, 10/1), bahwasanya Pemerintah RI konsisten menjadikan isu kemerdekaan Palestina sebagai fokus utama diplomasi RI.

*) Penulis Pengurus DPP PA GMNI Bidang Politik Luar Negeri dan Pertahanan Keamanan 2015-2020. Tulisan ini merupakan Pendapat Pribadi.

Close Ads X
Close Ads X