Menyoal Sindikat Gila

Oleh : Prasetiyo, S.I.Kom

Kota sudah tak aman lagi untuk berjalan.Termasuk untuk mengunjungi tempat-tempat baru agaknya juga sudah tidak nyaman lagi. Jika ada yang curiga berlebihan, habislah menjadi bulan-bulanan massa. Dikabarkan, beberapa hari lalu seorang wanita tengah membagikan permen kepada anak-anak di Tanjung Balai, ia bukan warga di kawasan tersebut.

Entah siapa yang meng­hembuskan isu miring ten­tangnya. Alhasil, ia pun harus diamankan ke kantor kepolisian.

Benar, belakangan ini pe­ristiwa kejahatan terhadap anak mulai terjadi kembali. Tidak hanya kisah penculikannya saja yang menggeramkan tapi pe­ristiwa pelecehan seksual yang dialami oleh beberapa anak memancing emosi.

Tak salah jika setiap orang menjadi waspada terlebih ter­hadap orang asing. Meleng sedikit saja.Anak bias mendadak hilang. Seperti yang terjadi di Kota Tanjung Balai, Provinsi Sumatera Utara. Masyarakat di sana sangat khawatir, anaknya menjadi korban penculikan. Pelakunya adalah pemulung dan pengemis, begitu diamankan oleh aparat keamanan seketika kejiwaannya terganggu.

Mungkin penculikan bukanlah kejahatan baru di dunia ini. Modusnya beragam. Dalam model ekstrim, penculikan ini dilakukan dengan membawa paksa korbannya. Seiring dengan perkembangan pengetahuan.

Cara seperti ini dirasakan kurang efektif dan beresiko besar dalam aksi penculikan. Selain karena takut di teriaki, pelaku juga bisa saja beradu otot terlebih dahulu dengan para korban atau orang-orang di sekitar korban.

Para pelaku penculikan mulai memperhalus cara mereka dalam memuluskan aksinya. Yakni berpura-pura sebagai perawat, memberikan hadiah atau pura-pura bertanya alamat, bahkan ada yang berani terang-terangan menawarkan diri dengan ala­san ingin mengadopsi dan mem­berikan sejumlah uang sebagai imbalan.

Teringat, sebuah pengala­man yang dialami oleh Sunarti (22) Seorang ibu muda baru saja melahirkan dengan se­la­mat di sebuah klinik kecil di perbatasankotaMedan de­ngan Deliserdang. Tak lama setelah melahirkan, seorangibu paruh baya mengintip dari celah pintu yang tak tertutup rapat. Sepertinya ia tengah mencari seseorang.

Tinggallah Sunarti sendiri di dalam ruangan, ibu paruh baya tersebut langsung masuk keruangan. Pura-pura salah ruangan, sang ibu lantas me­nanyakan keadannya. Seka­dar basa-basi, Ibu paruh baya itu mencoba mendekatkan diri. Hingga sang ibu me­ngajukan pertanyaan yang men­ce­ngang­kan. “Bayinya boleh saya adop­si? Nanti saya kasih uang,” Untunglah, pertanyaan tersebut langsung putus, keluarga Sunarti segera muncul dan ibu paruh baya itu langsung pergi.

Meskipun modus yang terjadi di Kota Tanjung Balai dengan cara memberikan permen tam­pak berbeda dengan yang di­alami oleh Sunarti di sebuah klinik persalinan. Sebenarnya keduanya dilakukan dengan teknik yang sama, yakni pen­dekatan. Pelaku sama-sama berusaha melakukan pendekatan kepada korbannya.

Self disclosure theory, teori komunikasi ini disampaikan oleh seorang ahli dalam psi­kologi humanistik bernama Sidney Mareshall Jourrard yang setuju bahwa ketika seseorang mencoba membuka diri kepada orang lain, maka orang tersebut cenderung akan melakukan keterbukaan balasan.

De Janasz et al (2006:27) menyatakan pembuakaan diri sebagai the process of letting others know what you think, feel, and want.Pembukaan diri yang dimaksud hanya dalam konteks bercerita tentang profil melain­kan dalam arti luas keterbu­ka­an diri adalah bagaiamana seseorang dapat melakukan respon kita dalam suatu situasi dan membuat orang-orang di sekitar menjadi yakin dengan apa yang diceritakan atau di­perbuat. Respon keterbukaan ini kemudian dimanfaatkan untuk membuat korban lengah dan terpedaya dengan pesan yang disampaikan pelaku tampak meyakinkan, padahal bohong.

Terkadang situasi seperti itu mengacaukan kepercayaan kita pada orang lain. Sampai-sampai memperburuk situasi bahkan bisa mengancam keselamatan jiwa orang lain karena rasa kecurigaan yang tinggi.

Memang, menilai orang bu­kanlah perkara mudah. Me­nebaknya sebagai pelaku pen­culikan tanpa ada bukti akan menimbulkan persoalan baru.Tapi apakah kita hanya duduk diam. Tidak seperti itu juga.

Kita harus mencari tahu, kenapa hal ini bisa terjadi. Observasi sudah pasti. Dalam kasat mata, perekonomian ru­mah tangga dalam kondisi tidak stabil bahkan terpuruk. Angka kriminalitas yang menjadikan indikatornya, salah satunya adalah aktivitas penculikan.

Dengan melakukan penculi­kan, pelaku bias mendapatkan sum­ber uang. Baik dari te­bu­san atau mengeksploitasi korban penculikan dengan men­jadikannya sebagai pe­ngemis di jalan, menjualnya sebagai budak seks atau yang lebih ekstrim mengambil organ tubuhnya untuk di jual.

Bantuan yang disebut-sebut pemerintah untuk membantu rakyatnya tak merata, mulai dari bantuan beras miskin (ras­kin), program keluarga harapan (PKH) dan bantuan lainnya. Ke­mana bantuan tersebut, siapa yang mendapatkannya perlu menjadi persoalan. Beberapa warga mengeluh karena tidak mendapatkan bantuan dengan alasan kurang dekat dengan kepala lingkungan.

Keterpurukan ekonomi yang semakin panas membuat ma­syarakat tidak ambil pusing untuk bisa bertahan hidup, Dengan kondisi ini, informasi-informasi negatif yang belum ada bukti langsung menjadi pemantik emosional warga. Beda dengan orang-orang yang dalam kehidupan yang mapan yang kehidupannya lebih sibuk.

Sadar. Ini bahagian dari provokasi. Baik, jadi sebenar­nya apa yang harus dilakukan. Tanjung Balai bukanlah satu-satunya kota dengan kondi­si ekonomi yang labil. Kota Medan juga, begitu banyak pengemis yang berlalu lalang dari warung ke warung terlebih ketika malam hari. Pemerintah kurang preventif. Sibuk memikir persoalan diri, keluarga maupun kelompok.

Karakter yang jelas. Tak ada tempat pengaduan dan jika pun ada hanya formalitas. Tak ada kelanjutan dari penanganan keluhan rakyat. Apa benar, kita harus berpura-pura gila dahulu. Ntahlah.

*) Penulis adalah Wakil Sekretaris Komunitas Aksi Jurnalis Independen (KAJI) DPRD Sumut

Close Ads X
Close Ads X