Menyoal Eksistensi TNI/Polri di Lembaga Sipil

Oleh : Boy Anugerah, S.I.P., M.Si.

Menarik mencermati pernyataan dua petinggi Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) baru-baru ini terkait penetapan Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil bulan April lalu.

Tasdik Kinanto, Komisioner KASN menyatakan bahwa PP Manajemen PNS dibuat untuk menertibkan mekanisme penempatan Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) yang selama ini berlangsung tidak fair dan penuh intervensi. Hal ini merujuk pada banyaknya kasus alih status TNI/Polri ke jabatan sipil.

Pada kesempatan berbeda, Ketua KASN, Sofyan Effendi menyampaikan bahwa PP Manajemen PNS membuat TNI dan Polri tidak bisa leluasa menjadi pejabat tinggi di instansi sipil. Lebih lanjut, Sofyan Effendi menegaskan bahwa jika TNI/Polri hendak menjadi pejabat tinggi, maka mereka harus pensiun terlebih dahulu, baru ikut melamar bersama yang lainnya (RMOL, 19 Agustus 2017).

Dua pernyataan petinggi KASN tersebut secara tersurat menyatakan bahwa terdapat dua permasalahan utama terkait eksistensi TNI/Polri di lembaga sipil. Pertama, terkait eksistensi TNI/Polri itu sendiri dan kedua, terkait posisi jabatan tinggi di lembaga sipil yang diisi oleh kedua korps tersebut.

Tulisan ini dibuat tidak untuk mendiskreditkan TNI/Polri. Tulisan ini merupakan saran konstruktif agar TNI/Polri konsisten menjalankan Tupoksi yang melekat kepadanya serta menciptakan relasi yang harmonis dengan Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lembaga-lembaga sipil.

Tidak bisa dimungkiri bahwa TNI/Polri begitu eksis di lembaga-lembaga sipil. Eksistensi mereka dapat dilihat di Basarnas, BNN, Lemhannas, BNPT, Kemenko Polhukam dan masih banyak lagi. Sedikitnya ada 10 (sepuluh) instansi sipil yang bisa dilekati oleh kedua korps tersebut.

Seakan tak cukup bernaung di 10 (sepuluh) instansi tersebut saja, saat ini muncul upaya agar TNI/Polri juga bisa menduduki jabatan atau posisi di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Lembaga Pemasyarakatan, hingga Pemerintah Provinsi DKI Jakarta (Tulisan Purnomo Sucipto di Laman Sekretariat Kabinet/Setkab).

Sejatinya, eksistensi ini memiliki payung hukum yang jelas yakni Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Merujuk peraturan tersebut, TNI/Polri dapat menduduki jabatan di lembaga sipil tanpa harus beralih status menjadi PNS.

Alasannya, ada kesesuaian tugas pokok dan fungsi di lembaga tersebut dengan tugas pokok dan fungsi di TNI/Polri. Eksistensi TNI/Polri juga diperkuat dengan ketentuan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang menyatakan bahwa pengisian jabatan ASN tertentu oleh TNI/Polri hanya dapat dilaksanakan di instansi pusat dan bukan instansi daerah dengan tetap mengacu pada UU TNI/Polri.

Meskipun memiliki payung hukum, eksistensi korps baju coklat dan loreng di lembaga-lembaga sipil menimbulkan beberapa problematika. Pertama, memang benar bahwa PNS di lembaga sipil campuran dengan TNI/Polri jumlahnya lebih besar.

Namun demikian, posisi elitis di lembaga tersebut lebih banyak diisi oleh TNI/Polri. Mereka menduduki piramida tertinggi kekuasaan, sedangkan PNS yang notabene “warga pribumi” menduduki struktur bawah. Faktanya bisa ditengok pada sepuluh kementerian dan lembaga yang disebut dalam UU Nomor 34 Tahun 2004.

Kedua, budaya kerja di lembaga sipil campuran tersebut lebih banyak diwarnai oleh budaya kerja TNI/Polri. Jujur diakui bahwa karakteristik militer pada TNI menghadirkan budaya disiplin tinggi yang bersifat positif bagi organisasi.

Namun demikian penerapan sistem jaga kantor ala militer atau sistem mutasi, promosi, serta demosi melalui panitia kecil terbatas dan tertutup yang penuh subjektivitas tidak sesuai dengan khitah lembaga sipil.

Sistem jaga kantor di lembaga sipil seyogianya cukup dijalankan oleh petugas keamanan saja seperti Satpam yang sudah digaji. Demikian pula halnya dengan sistem pembinaan karyawan harus menggunakan sistem yang lebih objektif dan terbuka seperti assessment pegawai.

Permasalahan TNI/Polri di lembaga sipil semakin mengental ketika ada upaya dari kedua korps tersebut untuk menduduki jabatan pimpinan tinggi melalui mekanisme alih status. Melalui mekanisme tersebut, terkesan ada upaya untuk memperpanjang masa kerja selayaknya para PNS.

Hal ini jujur tidak fair karena seakan menyerobot posisi yang sudah selaiknya menjadi hak PNS karir di lembaga tersebut. Untung saja hal ini bisa difilter dan dimitigasi dengan adanya PP mengenai Manajemen PNS. TNI/Polri harus pensiun terlebih dahulu untuk menduduki jabatan tersebut.

Penulis memiliki hipotesis sendiri mengapa kondisi ini bisa terjadi. Pertama, efek menetes dari instansi induk ke instansi pemerintah lainnya. Baik TNI maupun Polri bisa saja mengalami kelebihan jumlah pegawai, sehingga dibutuhkan semacam lembaga tampungan atas kelebihan tersebut.

Dikarenakan sesama lembaga pemerintah, maka lembaga sipil menjadi sasaran tujuan. Kedua, adanya arogansi sektoral antar lembaga . Satu lembaga menganggap diri lebih elitis dari lembaga lainnya.

Elitisme seperti inilah yang kerap menghadirkan apa yang disebut sebagai “tirani minoritas”. Ketiga, bisa jadi esksisnya TNI/Polri di lembaga sipil bahkan ada upaya untuk menduduki jabatan pimpinan tinggi melalui upaya alih status merupakan upaya untuk memperbaiki kesejahteraan.

Mereka lebih sejahtera atau lebih ringan kerjanya jika bertugas di lembaga sipil. Sekali lagi penulis tekankan bahwa ini semua adalah hipotesis. Penulis mengajak semua pembaca untuk sama-sama melakukan kroscek.

*)Alumnus Magister Ketahanan Nasional Universitas Indonesia, Pengurus PA Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (2015-2020)

Close Ads X
Close Ads X