Menyelamatkan Toko Fisik dari ‘Kepunahan’

Oleh : Sagita Purnomo

Dahulu kala, saat ingin membeli suatu barang, seseorang harus pergi kepasar atau toko untuk mendapatkan barang yang diinginkan. Intinya ada suatu usaha atau proses perjuangan tertentu yang harus dilakukan seseorang untuk pergi mendapatkan barang yang dimaksud.

Namun saat ini seiring dengan per­kembangan teknologi, men­jadikan proses mendapatkan barang semakin mudah. Cukup dengan bermodalkan jempol dan smartphone, seseorang tinggal membuka situs e-commerce atau toko online untuk membeli barang yang diinginkan.

Sisanya tinggal melakukan pembayaran via transfer bank atau dapat langsung dibayar ketika barang itu sampai langsung kerumah dalam hitungan beberapa hari.

Kemudahan berbelanja via e-commerce menjadikannya sangat digandrungi oleh mas­yarakat urban yang perlahan mulai meninggalkan sistem belan­­ja konvensional. Pergese­ran ‘budaya’ ini tentu mendatangkan dampak buruk bagi para peda­gang fisik/konvensional.

Dalam beberapa tahun terakhir, teru­­tama saat memasuki demam e-commerce, para pedagang konvensional di berbagai kota mengeluhkan berkurangnya pen­­­dapatan mereka. Ini tentu sa­ngat disayangkan karena dapat mempengaruhi stabilitas ekonomi kecil yang selama ini justru menjadi penggerak urat nadi perekonomian bangsa.

Celakanya lagi, meski peme­rintah telah mengeluarkan re­gulasi khusus bagi pelaku bisnis dunia maya, terutama dalam pengenaan pajak, masih saja banyak pelaku e-commerce yang mengeplang pajaknya.

Kon­­­­­­disi ini tentu sangat disa­yangkan mengingat potensi pasar e-commerce Indonesia sangatlah besar, jika mereka patuh terhadap pajak, maka penerimaan negara dari sek­tor pajak yang nantinya dapat digu­nakan untuk memba­ngun ban­gsa semakin besar pu­la. Mengingat kondisi ini, pemerintah setidaknya dapat memberi batasan quota bisnis e-commerce dan menyelamat­kan para pedagang konvensional guna menciptakan persaingan yang sehat.

Imbasnya
Menanggapi dampak buruk kehadiran e-commerce di nega­ra ini, salah satu pengusaha suk­­­­­­­­­­­­­­ses di Indonesia, Chairul Tanjung (CT), mengatakan bah­­­wa perkembangan industri e-commerce telah memakan ba­nyak korban. Korban yang dimaksud adalah pedagang-pedagang kecil.

Dengan ha­bisnya toko-toko kecil maka ketimpangan sosial akan sema­kin lebar, sebab pemilik toko merupakan masyarakat kecil. Belum lagi akan menambah jumlah tingkat pengangguran.

Ia menambahkan masa ter­­­s­e­but sudah ada di depan mata, oleh karena itu menurut CT perlu ada tindak lanjut seba­­gai antisipasi dampak ne­ga­tif dari perkembangan ekono­mi. Sebab perkembangan e-com­­merce merubah pola per­­­da­gangan konvensional.

“Kita bangga sekali dengan yang namanya e-commerce. Tapi dengan e-commerce berkem­bang pedagang kecil akan ha­­bis. Itu akan menambah ketim­­pangan, menambah tingkat pe­­­ngangguran. Karena ketika warungnya tidak bisa bersaing lagi maka akan tutup,” imbuhnya. (JurnalAsia.com)

Berdasarkan informasi yang penulis himpun dari Detik.com menyebutkan bahwa perkemba­ngan e-commerce turut mem­pengaruhi menurunnya omset pedangan, salah satunya di Pasar Tanah Abang Jakarta. Jika pada tahun 2015 lalu, omset pedagang di Pasar abang rata-rata menca­­­­pai Rp. 20 juta per hari, namun tahun ini meski banyak pengunjung omset me­­reka turun menjadi Rp. 10 sam­pai Rp 5 juta per harinya.

Membandel
Kehadiran sebagian besar perusahaan e-commerce di Indo­nesia ibaratkan benalu yang perlahan menggerogoti induk­nya. Meski kehadirannya sa­ngat digandrungi dan mendapat peng­­hasilan cukup besar, ma­sih banyak pihak-pihak yang terlibat e-commerce enggan memenuhi tanggungjawab pa­jak­nya.

Padahal pemerintah Indonesia telah mengeluarkan beberapa regulasi seperti izin usaha, perusahaan harus berba­dan hukum, memiliki NPWP perusahaan, hingga Surat Edaran Direkttur Jenderal Pajak Nomor SE-06/PJ/2015 sebagai dasar pengenaan pajak e-commerce.

Peraturan ini juga mengi­kat ba­g­i e-commerce melalui sosial media seperti Facebook, Instagram, Twitter dan lain sebagainya dengan catatan omset atau penjualan men­capai lebih dari miliaran ru­piah. Regulasi ini ditujukan bagi kalangan artis maupun selebgram yang paling banyak melakukan endorsment dengan penghasilan besar.

Kondisi ini tentu sangat kon­tras dengan pedagang konven­sional atau pelaku UKM yang omsetnya tidak seberapa namun patuh membayar ber­ba­­gai pajak, mulai pajak resmi hingga tidak resmi. Oleh karenanya, pemerintah harus bersikap tegas dalam memungut pajak e-commerce.

Selain itu, penguatan toko fisik dengan modrenisasi manajemen, penataan tempat yang menarik, hingga penambahan modal agar toko konvensional tidak punah karena ‘ganasnya’ jual beli dunia maya.

*) Penulis adalah Alumni UMSU 2014

Close Ads X
Close Ads X