Menolak Bungkam

Oleh : Prasetiyo S.I.Kom

Lagi, kekerasan terhadap jurnalis kembali terjadi pada jurnalis di Kota Medan. Adi Palapa Harap, ia adalah satu dari sederetan nama jurnalis di kota Medan yang telah merasakan resiko buruk yang harus diterima sebagai seorang profesional di dunia jurnalistik.

Masuk ke dunia jurnalis bu­kanlah perkara mudah. Bukan cuma bisa menulis lalu anda bisa dikatakan sebagai jurnalis. Beberapa pucuk pimpinan di beberapa media cetak lokal di Kota Medan pernah saya kenal. Masing masing memiliki cara tersendiri dalam memimpin medianya. Mulai dari gaya ba­hasa penulisan, tata letak foto hingga judul berita pun ha­rus diatur sedemikian rupa. Tentu saja isi juga yang paling ditekankan.

Jika punya istri, mereka lebih cerewet dari istri. Tak bisa berkelit. Argumen yang disampaikan dari pertanyaan yang dilontarkan mereka penuh paksaan. Harus menjawabnya dengan hati-hati dan berpikir dahulu. Benarkah atau hanya karangan. Penting sekali seperti untuk diutarakan. “Agar beda dan menjadi berita yang tidak murahan,” demikian inti masing-masing dari mereka mengilhami jawaban.

Lebih-lebih dari seorang penyidik, redaktur lebih tajam dalam menggali informasi. Ku­rang satu tanda baca saja akan menjadi pembahasan panjang yang terkadang mendongkol­kan. Aduh, habislah.

Tak salah, jika di lapangan seorang jurnalis juga secara alamiah tertempa untuk selalu kritis dalam menggali sebuah informasi. Tak lengkap datanya maka tak layak menjadi sebu­ah berita. Sehingga, tuntutan rasa skeptis dan prasangka bu­ruk selalu harus menjadi yang utama demi mendapatkan data akurat serta menemukan narasumber yang tepat agar publik mendapatkan kebenaran informasi.

Penyerobotan tanah hing­ga menyangkut penggunaan lahan sebagai lokasi pabrik semen ilegal, diberitakan Adi. Diketahui, pihak kepolisian juga sudah mengetahui, bahkan pernah melakukan razia ter­hadap pabrik semen ilegal tersebut. Namun, tetap saja bangunan pabrik masih tetap beroperasi. Publik tentu harus mengetahui apa permasalahan yang terjadi. Siapa dalang yang memperlancar kegiatan para pelanggar hukum.

Hal-hal seperti inilah yang menjadi buntut dari penyera­ngan seorang jurnalis. Merasa terusik, tidak senang dan me­rasa punya kekuatan seorang seenaknya saja menjuruskan se­rangan kepada sang pemburu berita.

Berlakukah perlindungan untuk jurnalis. Dalam pasal 8 Undang-Undang Nomor 40 Tahun1999 dijelaskan “Dalam melaksanakan profesinya jur­nalis mendapat perlindungan hukum”. Yang dimaksud dengan “Perlindungan Hukum”adalah jaminan perlindungan dari pe­merintah dan atau ma­sya­rakat kepada wartawan dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya sesuai dengan ketentuan pe­raturan perundang-undangan yang berlaku.

Tahuin 2016 silam, Dewan Pers mengeluarkan data in­deks dari kebebasan jurnalis. Indikatornya adalah kategori buruk sekali di nilai 0-31, buruk 31-55, agak bebas 56-69, cukup bebas 70-80

baik sekali 81-90. Dari ha­sil survei yang dilakukan di 24 provinsi di Indonesia, didapatlah data bahwa tingkat kemerdekaan pers berada di persentasi 62-63 atau dalam kategori agak bebas.

Persentasi tersebut agaknya sulit untuk diterjemahkan di kota Medan. Sebab, berbeda halnya di kota Medan. Para pejabat atau pemegang kuasa baik swasta maupun pemerintahan bisa dikatakan sangat anti sekali ketika berhadapan dengan jur­nalis.

Padahal, jurnalis adalah satu profesi yang tidak membahaya­kan kecuali seseorang mencoba menyembunyikan kebenaran untuk suatu kepentingan. Tak jarang beberapa pejabat atau penguasa di kota Medan yang menyetel sambungan teleponnya secara otomatis menolak pang­gilan untuk nomor yang tidak mereka kenal, tidak sukai atau tidak terdaftar. Ya, mereka anggap dengan begitu, para jurnalis akan berhenti untuk mencari akal membuat bahan berita.

Jurnalis adalah profesional yang tahu sedikit dari banyak hal dan bisa mengembangkan­nya sebagai konsumsi layak pada publik. Terkadang, tidak mau­nya dikonfirmasi seorang nara­sumber bukan menjadi ala­san klasik untuk seorang jur­nalis menyebarkan berita. Jalur investigasi dan pantauan langsung di lapangan dan me­minta keterangan warga yang ada di lokasi sumber memperku­at berita sudah layak terbit.

Rosihan Anwar pernah me­nyatakan “Jurnalistiek is een Vrij baantje” yang artinya kewartawanan itu suatu pe­kerjaan (profesi) yang besar. . Harusnya, sebagai narasumber baik dari kalangan pejabat, penguasa, tokoh hingga ma­syarakat harusnya tidak perlu khawatir jika berhadapan de­ngan seorang jurnalis. Bersalah atau tidak, berilah konfirmasi dengan benar.

*)Penulis adalah wakil sekretaris Komunitas Aksi Jurnalis Independen (KAJI) DPRD Sumut

Close Ads X
Close Ads X