Mengukur Kinerja Parpol

Oleh :   Anang Anas Azhar
Tidak terasa kita sudah melewati tahun 2013, kini kita memasuki tahun 2014. Tahun yang disebut-sebut tahun politik, karena dalam tahun ini juga, kita menggelar pemilihan umum legislatif dan presiden. Geliat partai politik pun semakin nampak. Satu sisi partai politik bekerja untuk meningkatkan elektabilitas, tapi di sisi lain rakyat mulai memberikan penilaian atas kinerja partai politik sebelum pemilihan umum berlangsung.
Selama 2013 ini, partai politik bergumul dengan kompetisi internal partai politik. Pertarungan calon legislatif sesama kader, merupakan bagian kerja internal. Kader partai disibukkan urusan internal untuk mengurusin caleg. Akibatnya, kepentingan publik tercederai karena partai lebih mementingkan kepentingan parsial ketimbang urusan publik.
Penilaian publik terhadap partai politik pun bermunculan, seiring terabaikannya peran dan fungsi partai politik kepada rakyat. Kepentingan rakyat akhirnya menjadi hal yang dinomorduakan, partai politik terlalu asyik mengurus internalnya yang akhirnya mengabaikan kepentingan rakyat.
Buruknya kinerja partai politik sepanjang 2013 ini, tak terlepas dari kiprah para kadernya, apakah di legislatif atau di eksekutif. Sepanjang tahun 2012-2013 saja, ternyata politisi yang berasal dari partai politik ada 29 orang terjerat korupsi. Sedangkan 10 orang di antaranya telah diproses dan dijebloskan ke penjara. Kondisi ini memang sangat memprihatinkan, apalagi kepentingan yang dibangun para politisi ini sebagian besar untuk kepentingan partainya saja.
Kinerja Parpol
Dalam catatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sepanjang tahun 2013 ini, sudah 72 DPR/DPRD yang ditindak lembaga ini. Tentu jumlah ini lebih besar lagi, jika kader partai politik yang tidak duduk di parlemen yang terjerat kasus korupsi.
Munculnya temuan kasus korupsi yang melibatkan legislatif dan kader partai politik, mengakibatkan merosotnya kepercayaan publik, terutama kader partai politik yang duduk di parlemen. Penilaian partai politik dalam menjalankan peran dan fungsinya, ternyata tidak saja dalam kasus korupsi yang menjerat politisi, tetapi aspek lainnya adalah melemahnya fungsi legislasi di DPR.  Kinerja anggota dewan sangat rendah, terutama dalam hal kehadiran dewan dalam rapat-rapat pembahasan RUU menjadi UU.
Kita dapat melihat, bahwa sampai akhir 2013 ini DPR RI baru menyelesaikan 16 RUU menjadi UU, dari 76 RUU yang sudah masuk ke DPR RI. Penurunan kinerja ini terlalu jauh, jika kita membanding pada tahun 2012. Tahun 2012 lalu, DPR RI berhasil mengesahkan 30 RUU menjadi UU dari 69 RUU yang sampai di tangan DPR. Kinerja legislatif ini penurunannya sampai 50 persen. Ragam alasan pun diungkapakn para politisi kita ketika ditanya publik, mulai sibuk mengurusin partai politiknya sampai turun ke daerah pemilihann.
Ketika publik mencap kinerja partai politik memburuk, kejenuhan terhadap partai pun bermunculan sebagai sebab akibat merosotnya kinerja partai politik dalam mengadvokasi kepentingan rakyat. Rakyat mjenilai partai politik terlalu tendesius hanya mengurusin kepentingan saja. Dan akhirnya, kepentingan publik pun terabaikan menjelang Pemilu 2014. Apa yang dilakukan politisi dari partai politiknya, menjadi bagian yang tak terelakkan, bahkan meski dicap jelek menjalankan kinerjanya, partai politik tidak terlalu mempedulikan hal itu.
Kalau kita mencermati lebih jauh, mengapa publik menyatakan kecewa atas pelayanan partai politik kepada rakyat? Ini tidak terlepas dari peran dan fungsinya yang terhambat. Salah satu hambatan yang dirasakan partai politik adalah koalisi partai politik di senayan. Koalisi partai politik untuk mendukung Presiden SBY di parlemen menjadi bagian yang tidak terelakkan. Publik merasa tidak puas, jika partai politik yang berkoalisi terlalu membela pemerintahan SBY.
Dalam suasana genting seperti ini, mau tak mau partai politik harus bersikap lebih tegas. Satu sisi, partai politik harus mempertahankan koalisi parta politik sampai akhir periode Presiden SBY. Tapi di sisi lain, pimpinan koalisi Setgab yang dipimpin Partai Demokrat reputasinya sudah jatuh. Terlebih, setelah beberapa kasus korupsi di partai pemenang Pemilu 2009 itu terungkap ke publik.
Partai Demokrat hancur lebur. Bahkan, banyak pengamat memprediksi elektabilitas Partai Demokrat dalam Pemilu 2014 nanti tidak seperti pemilu 2009 lalu. Demokrat jatuh pada titik nadir yang memprihatinkan, bahkan oleh beberapa lembaga survei menempatkan Partai Demokrat di bawah 10 persen. Rendahnya nilai kepemimpinan di Partai Demokrat ditambah muncuatnya kasus-kasus korupsi yang melibatkan kader partai itu.
Awalnya, banyak harapan yang muncul ketika koalisi partai politik di Setgab berjalan dengan baik. Koalisi Setgab diharapkan sebagai pemberi semangat agar aspirasi rakyat dapat direalisasikan melalui koalisi partai. Tapi, kenyataan yang terjadi sebagian kader di partai politik yang berkoalisi jalannya sendiri-sendiri. Hingga pada akhirnya, kasus-kasus korupsi pun muncul satu per satu.
Kinerja buruk inilah yang memberi sinyal bahwa kader merupakam dalang utama pemicu buruknya kinerja partai politik. Akhirnya, sebagian publik pun tidak percaya terhadap partai politik, dan bisa jadi publik akan menjadi golput pada Pemilu 2014 mendatang. **
** Penulis Adalah Dosen Fisipol UMSU Dan Ketua Pimpinan Pusat Pemuda Muhamamdiyah **  

Close Ads X
Close Ads X