Menghapus Kekerasan Terhadap Anak Melalui Pendidikan

Ratusan anak bergandengan tangan mendeklarasikan anti kekerasan terhadap anak di Desa Tegalrejo, Berbah, Sleman, DI Yogyakarta, Rabu (11/1). Aksi yang diikuti warga, guru dan ribuan anak sekolah dengan bergandengan tangan sepanjang 6 kilometer tersebut menolak segala tindakan kekerasan terhadap anak untuk melindungi anak sebagai generasi penerus bangsa. ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah/pd/17.

Oleh : Munawir Pasaribu, MA

Masih banyak anggapan bahwa anak adalah komunitas kelas bawah, yang merupakan pribadi-pribadi kecil dan lemah yang seolah sepenuhnya harus berada dibawah kendali ke­kuasaan orang dewasa, sehing­ga berakibat orangtua pun mera­sa berhak melakukan apa saja terhadap anak.

Paradigma yang keliru tersebut kini terus ber­kembang, sehingga baik di rumah maupun di sekolah banyak diajarkan bahwa anak-anak harus menurut sepenuh­nya kepada orang tua, guru, atau orang dewasa yang lain. Sikap anak tidak boleh membantah, mengkritik, apalagi melawan tanpa adanya penjelasan se­cara terperinci dalam situasi bagaimana hal itu seharusnya dilakukan.

Alfie Kohn (2006) menemu­kan banyak kasus terjadinya tindak kekerasan, penindasan, dan perlakuan diskriminatif terhadap anak. Anehnya, sikap perlakuan tersebut dianggap sebagai suatu hal yang wajar bahwa seolah-olah mendidik anak memang harus dilakukan dengan kekerasan. Padahal mengasuh anak merupakan tugas yang teramat mulia, ka­rena anak adalah anugerah ilahi dan amanah yang patut kita jaga.

Cara pandang yang keliru tersebut harus diubah sesuai paradigma baru dengan pola pengasuhan anak yang benar. Apabila orangtua menginginkan mun­culnya pribadi-pribadi ung­gul di masa depan, diharuskan kepada orang tua dan pendidik untuk menghentikan berbagai kekerasan terhadap anak atas nama pendidikan.

Sebab pendidikan tidak iden­tik dengan kekerasan dan tidak sekedar memberikan instruksi atau komando, melainkan harus memberikan hati dan jiwa ke­dewasaan yang sarat dengan cinta dan kasih sayang.

Sebagai seorang psikolog terkemuka Amerika Serikat, Alfie Kohn memaparkan bagaimana cara mencintai anak. Karena apa yang mereka lakukan (cinta bersyarat) atau mencintai anak karena siapa mere­ka (cinta tidak bersya­rat).

Cinta bersyarat artinya, anak-anak harus mendapatkan­nya dengan bertindak dalam cara-cara yang kita anggap tepat atau melakukan sesuatu dengan standar kita. Cinta tidak bersyarat, dalam hal ini cinta tidak bergantung pada bagaimana mereka bertindak, apakah mereka berhasil atau bersikap baik atau yang lainnya.

Mencintai anak tanpa syarat akan menghasilkan pengaruh positif dan bukan hanya sesuatu yang benar untuk dilakukan secara moral, tetapi juga me­rupakan sesuatu yang cerdas dan mendidik. Anak-anak perlu dicintai sebagaimana mereka apa adanya dan karena siapa mereka.

Karena apabila hal itu terjadi, maka mereka dapat menerima diri sendiri secara mendasar sebagai orang baik, bahkan ketika mereka membuat kesalahan atau gagal. Karena cinta tanpa syarat ini adalah apa yang diperlukan anak-anak untuk berkembang.

Apabila orangtua menggunakan hukuman, peng­hargaan dan strategi lainnya untuk memanipulasi perilaku anak, mereka mungkin merasa disayang hanya jika mereka menuruti permintaannya.

Pengasuhan bersyarat da­­pat menjadi konsekuensi dari pengontrolan, sebaliknya pe­ngontrolan dapat membantu menjelaskan pengaruh merusak dari pengasuhan bersyarat, namun pengontrolan yang ber­lebihan secara umum terbukti jelas menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan mental anak dan keberhasilan mereka di sekolah.

Dalam pola pe­ngasuhan anak yang “otoriter”, orang tua yang seperti itu le­bih sering menuntut daripa­da menerima dan memotiva­si. Orangtua jarang memberi penjelasan atas aturan yang diterapkan. Orangtua sering­kali mengharapkan kepatuhan mutlak dan menggunakan hu­kuman sesukanya, daripada memberi kebebasan kepada anak untuk berpikir sendiri. Saatnya kita mengajak kepada semua orangtua agar mengubur dalam-dalam tujuan ambisius dan menuruti keinginannya dengan memakai cara pe­maksaan dan kekerasan.

Se­bagai solusinya yaitu orangtua harus membangun hubungan yang hangat dan kuat dengan anak, serta memperlakukannya dengan hormat, meminimalkan pengontrolan dengan paksa, dan bila perlu memberi pen­­jelasan yang mendidik. Me­ngasuh anak dengan paksa maupun memberi hukuman tidak akan membuahkan hasil positif, karena ada beberapa dugaan dan alasan yang rasional berikut.

Pertama, konsekuensi hukuman seringkali membuat marah siapapun yang menerima hukuman.

Kedua, hukuman merupakan contoh penggunaan kekuasaan, misal hukuman fisik yang di­berikan kepada anak-anak ada­lah kekejaman yaitu pengguna­­an kekuatan untuk menyelesai­kan masalah.

Ketiga, hukuman pada akhirnya tidak efektif.

Se­per­ti yang ditunjukkan Thomas Gardon, “Akibat yang tidak dapat dihindari dari penggunaan kekuasaan yang terus menerus untuk mengontrol anak-anak ketika mereka masih kecil ada­lah bahwa Anda tidak pernah bela­jar bagaimana cara mempengaru­hi, semakin anda bergantung pada hukuman, maka semakin sedikit pengaruh nyata yang akan Anda miliki dalam kehidupan mereka”.

Keempat, hukuman mengikis hubungan orangtua dengan anak-anak.

Karena dengan menghukum, penghukum di­anggap sebagai musuh, dan membuat anak-anak kesulitan untuk menganggap orangtua sebagai kawan yang penuh perhatian, yang sangat penting bagi perkembangan anak yang sehat.

Kelima, hukuman mengalihkan perhatian anak-anak dari persoalan yang sebenarnya dan membuat anak-anak menjadi lebih egois.

Dari kelima model hukuman tersebut di atas, penting menjadi pelajaran bagi semua orangtua, guru dan siapa saja yang terlibat dalam mengasuh dan membimbing anak. Dengan begitu, diharapkan kekerasan pada anak tidak terjadi lagi, karena salah proses pengasuhan.

*)Dosen Fakultas Agama Islam FAI UMSU

Close Ads X
Close Ads X