Mendedah Pusaran Korupsi e-KTP

Oleh : Raju Moh. Hazmi

Terungkapnya mega skandal korupsi pada proyek pengadaan e-KTP membuat kanal publik bergemetar. Para elit kuasa pun keliweran dan sesak nafas. Betapa tidak, dari sisi kerugian keuangan negara hingga mencapai 2,3 triliun, korupsi e-KTP adalah kasus terbesar yang pernah ditangani KPK. Sejumlah nama “beken” petinggi negara (kembali) tersangkut daftar panjang pegusutan kasus korupsi di negara ini.

Mulai dari “mafioso” penghuni singgasana kekuasaan (legislatif-eksekutif) yang menyeret ang­gota DPR, para menteri, elite partai hingga para dedengkot yang bersemayam di korporasi.

Sekilas pandang, muasal mega-korupsi pengadaan e-KTP ada­lah narasi klasik yang sudah tercium pada penghujung ta­hun politik di era SBY. Sempat terhenti pengusutannya di tangan Kejagung karena kekurangan alat bukti Tahun 2012 , KPK pun kembali menyisir ruang-ruang yang diduga menjadi “bilik” dalam melakukan praktik banal korupsi pengadaan e-KTP.

Alhasil, mega skandal tersebut “dimejahijau­kan” Tanggal 9 Maret 2017 lalu dengan menggaet 2 tersangka mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri Irman dan Mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Ditjen Dukcapil Kemendagri Sugiharto.

Patut diduga bahwa,Para tersangka tersebut bukanlah jajaran pemain inti dalam skema permainan. Ini dikuatkan dengan dakwaan yang dibacakan jaksa KPK yang menyebutkan nama-nama “kelas kakap” lainnya yang diduga menerima aliran dana dari kasus tersebut.

Mengingat pola dalam kasus pengadaan e-KTP ini terjadi secara sistematis, terstruktur, dan masif, tak me­nutup kemungkinan untuk mun­culnya kembali deret pelaku “kelas kakap” yang masih berada dibalik pusaran arus kekuasaan.

Terlepas itu, Ditengah de­ruh ombak pelemahan yang meng­hantam KPK, mulai dari “pengebirian” kewenangan pada revisi UU KPK dan degradasi moralitas anti korupsi yang terpantul dalam Putusan MK 25. Pengungkapan korupsi “ber­jemaah” ini pun menjadi titik tolak bahwa KPK hingga sekarang masih menunjukan taji sebagai organ “pembasmi” praktik banal korupsi. ini adalah momentum bagi KPK untuk menggunakan “senjata” tambahan dalam membongkar tuntas polarisasi skandal korupsi ini.

(Masih) Pola Yang Sama
Erat kaitannya korupsi e-KTP terjadi karena adanya ce­lah dan kongkalingkong dari pemerintah dan DPR. Celah yang dimanfaatkan adalah ke­bijakan dalam menetapkan ang­garan (APBN). Satu-satunya organ yang berwenang dalam pengawasan APBN adalah DPR.

Penyalahgunaan anggaran da­lam proyek e-KTP merupakan jalinan yang saling berkelindan ditubuh DPR dan Pemerintah. Kedua organ tersebut me­la­kukan penyimpangan dalam menjalankan perannya, baik itu pemerintah sebagai pihak yang mengajukan dan melaksanakan anggaran dan DPR sebagai pihak yang mengawasi pelaksanaan anggaran.

Peran mengawasi dan diawasi itu memantik terbukanya “kran” politik transaksional yang mem­perperdagangkan peran pada kedua organ tersebut. Bagi legislatif, Uang yang dihasilkan dari politik transaksional itu mengalir jauh ke nadi partai.

Tak heran jika pada persidangan pertama kasus e-KPT ini nama-nama yang terngiang adalah orang-orang yang menjadi elit kuasa pada partai . Sebut saja ketua DPR, ketua komisi II DPR, dan mantan bendahara partai. Melaui perdagangan “pengaruh” antara elit partai, mata rantai aliran dana tersebut dapat disamarkan.

Mencuatnya nama-nama pe­tinggi elit partai dalam pu­saran korupsi e-KTP tersebut menggariskan “sinyal”, bahwa ketergantungan partai terhadap perolehan dana sangatlah ting­gi. Apalagi jika disandingkan dengan biaya politik di indonesia.

Total dana kampanye yang dihabiskan partai politik pada tahun pemilu 2014 adalah Rp 3,1 triliun sedangkan biaya politik pada pilkada mencapai Rp 5,7 Miliar (tempo.com). Dana hasil dari korupsi e-KTP itupun patut diduga kelak digunakan sebagai tambahan biaya dalam menghidupi partai. Baik itu dalam kampanye, belanja ke­organisasian partai, dan ak­tivitas rutin partai.

Biaya menggelambung inilah yang kemudian mendorong par­tai untuk “bernafsu” memperoleh dana dengan berbagai cara yang pada akhirnya memicu untuk terjadinya praktik korupsi ditubuh legislatif.

Adanya akses politik ke sumber dana negara, cara “pemburuan rente” acapkali menjadi senjata pamungkas yang digunakan kader partai untuk melakukan praktik korupsi. Sehingga kementerian, BUMN, parlemen bahkan korporasi dijadikan “sapi perah” oleh kader-kader partai.

Tak diherankan lagi, dari hasil penelitian Global Corruption Barometer (GCB) Tahun 2017 menunjukan bahwa lembaga legislatif menduduki lembaga terkorup di Indonesia dengan angka 58% (Transparency In­ternational).

Ini menjadi bukti bahwa tubuh legislatif yang berperan sebagai penga­­was dalam kebijakan anggaran (APBN) masih dimanfaatkan se­ba­gai pola dan celah yang sama dalam praktik banal korupsi.

Momen Menjerat Korporasi
Menculnya nama besar kor­porasi (PT. LEN industri , PT Sandipala Artha Putra, PT mega Lestari Unggul, PT Sucofindo, dan PT Quadra So­lution, Konsorsium PNRI) yang tersangkut dalam kasus inipun dapat dimanfaatkan KPK sebagai peluang untuk menggunakan “senjata” tam­bahan, yang se­belumnya terjadi kekosongan hukum dalam upaya pengusutan korporasi sebagai pelaku tindak pidana.

Peluang itupun terjawab de­ngan lahirnya “senjata” baru, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang tata cara penanganan tindak pidana oleh korporasi. Peraturan ini menetapkan syarat sebuah korporasi dapat dijerat dengan tindak pidana yaitu korporasi mendapatkan keuntungan dari sebuah tindak pidana, mem­biarkan terjadinya tindak pidana, dan tidak mencegah terjadinya tindak pidana.

Pidana pokok untuk korporasi yang terbukti bersalah adalah denda dan jika tidak dibayar pengurusnya dapat dikenai hukuman kurungan hingga dua bulan. Perma juga mengatur anatara lain cara memanggil dan memeriksa korporasi se­­bagai saksi kasus pidana dan siapa yang mewakilinya.

Atu­ran ini juga mengatur cara menagih denda jika korporasi dinyatakan terbukti bersalah. Untuk mencegah pihak korporasi menghindar dari proses hukum, maka aturan ini memungkinkan bagi penegak hukum un­tuk menyita korporasi sejak awal penyidikan dan melelang aset sebelum putusan hakim dijatuhkan.

Dengan adanya perma ini, maka tidak ada lagi kekosongan hukum acara pidana korporasi. Dalam kasus ini KPK dapat mengoptimalkan pengusutan dengan menggandeng Perma sebagai senjata tambahan un­tuk menguliti korporasi yang tersangkut dalam kasus e-KTP.

Langkah ini penting tidak saja memberikan efek jera buat pelaku korporasi, tetapi juga dapat menjadi peringatan bagi korporasi lainnya untuk ti­dak melakukan tindakan me­nyim­pang dan korup dimasa mendatang.

Dukungan Terhadap KPK
Kemunculan nama-nama yang menerima aliran dana proyek e-KTP menimbulkan kekhawatiran terhadap nasib KPK kedepan. Kekhawatiran itu terjadi karena nama-nama itu adalah aktor yang berada pada pusaran arus kekuatan di indonesia. Politikus, birokrat, dan swasta.

Patut diduga akan adanya upaya kriminalisasi (kem­bali) terhadap KPK. Bahkan lebih besar. KPK akan rentan mendapat serangan balik dalam bentuk upaya-upaya pelemahan dari pihak-pihak yang terancam oleh sepak terjang KPK. Hal itu dapat dilihat akhir-akhir ini melalui upaya revisi UU KPK.

Namun, KPK tak usah ta­kut. Se­lain memiliki pegangan undang-undang. Ada kekua­tan rak­yat yang berdiri dibelakang un­tuk selalu mendukung upaya KPK dalam pemberantasan korupsi. Dengan adanya du­kungan rak­yat tersebut, KPK tak harus ciut dan getar meng­hadapi an­caman maupun upaya-upaya pelemahan.

Jika mega-skandal kasus korupsi e-KTP ini dapat diungkap hingga tuntas maka KPK akan semakin dipercaya oleh rakyat dan KPK akan Semakin Ditakuti Koruptor. Semoga.

*)Peneliti Hukum FH UNAND

Close Ads X
Close Ads X