Menanti Sertifikasi Halal dan Haram MUI

Oleh : Datuk Imam Marzuki

Kita dikejutkan temuan dengan produk obat Viostin DS dan Enzyplex yang mengandung DNA babi. Hampir sama beberapa contoh kasus yang telah sangat menyakiti konsumen Muslim di Indonesia, yang pada akhirnya menimbulkan kerugian besar bagi produsen dan dunia usaha, yaitu: kasus bakso mengandung daging babi di Bandung, kasus makanan yang memakai bahan dari babi di Malang, dan kasus Vaksin Meningitis jemaah haji yang mengandung enzim babi dan lain sebagainya.

Menyikapi hal ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LP-POM) dan Komisi Fatwa telah berikhtiar untuk memberikan jaminan produk makanan halal bagi konsumen muslim melalui instrumen sertifikat halal

Sertifikasi halal dalam dunia perekonomian juga menunjukkan pengaruh yang kuat dalam angka penjualan. Produsen yang mendaftarkan produknya dari tahun ke tahun terus bertambah. Survei yang pernah diadakan oleh LPPOM MUI menunjukkan bahwa produk yang telah bersertifikasi halal meningkat penjualannya hingga dua kali lipat.

Hal ini diklaim karena tuntutan masyarakat terhadap jaminan halal atas produk yang mereka konsumsi. Maka serasa sempurna kedudukan MUI dalam domain halal ini. Produsen membutuhkannya untuk mendapat kepercayaan konsumen, sedang konsumen sendiri membutuhkan untuk menjamin kenyamanan konsumsi.

Pelaku usaha yang hendak mengajukan sertifikat halal atau haram produknya, diisyaratkan menyiapkan beberapa hal. Pertama, produsen menyiapkan suatu SJH; kedua, SJH tersebut harus didokumentasikan secara jelas dan rinci serta merupakan bagian dari kebijakan manajemen perusahaan; ketiga, dalam pelaksanaan-nya, SJH ini diuraikan dalam bentuk panduan halal (Halal Manual); keempat, produsen menyiapkan prosedur baku pelaksanaan (Standard Operating Prosedure) untuk mengawasi setiap proses yang kritis agar kehalalan produknya dapat terjamin; kelima, baik panduan halal maupun prosedur baku pelaksanaan yang di-siapkan harus disosialisasikan dan diuji coba di lingkungan produsen, sehingga seluruh jajaran, dari mulai direksi sampai karyawan memahami betul cara memproduksi produk halal dan baik; keenam, produsen melakukan pemeriksaan intern (audit internal) serta mengevaluasi apakah SJH dilakukan sebagaiman mestinya; dan ketujuh, untuk melaksanakan huruf tersebut, perusahaan harus mengangkat minimum seorang Auditor Halal Internal yang beragama Islam dan berasal dari bagian yang terkait dengan produksi halal.

Namun dalam perkembangannya MUI banyak menemui kendala. Terutama masalah kewenangan dan legitimasi. Hal ini dipicu oleh tidak adanya produk hukum yang jelas, yang mendukung MUI untuk menerbitkan sertifikasi halal. Masalah lain timbul ketika banyak produk yang telah bersertifikasi halal tetapi nyatanya haram. Seperti penemuan BPPOM pada produk daging dendeng atau abon. Meski secara jelas disebutkan daging sapi, hasil tes menunjukkan bahwa produk yang beredar adalah daging babi.

Kelemahan MUI semakin bertambah dalam hal pengawasan. Bahkan Transparency International Indonesia (TII) menyebut MUI sebagai salah satu lembaga yang paling banyak menerima suap dalam hal pengurusan sertifikasi halal. Namun, kepentingan yang lebih besar, nyata dan tidak bisa dikesampingkan adalah soal materi atau keuntungan.

Pernyataan TII kepada MUI sebagai lembaga korup barangkali ada benarnya. Dalam situs LPPOM MUI disebutkan mengenai biaya pengurusan sertifikasi halal. Berkisar antara Rp500 ribu hingga Rp2 juta rupiah per produk, ditambah penyediaan jasa penginapan, makanan, dan transportasi selama tim pemeriksa LPPOM MUI berada di lokasi pengolahan produk. Inilah yang menjadi celah besar terjadinya kongkalingkong antara pengusaha dan MUI.

MUI bisa meminta lebih dari biaya yang ditetapkan. Terlebih lagi tidak ada payung hukum dan undang-undang yang mengatur, sehingga standardisasi biaya ditetapkan secara sepihak oleh MUI. Keadaan semakin diperparah dengan tidak adanya audit aliran uang sertifikasi halal. Bisa dibayangkan berapa aliran dana yang masuk ke dalam kantong MUI. Alasan-alasan inilah yang paling kuat mendasari mengapa MUI terus ingin memegang kuasa dalam pengurusan sertifikasi halal. (Tesis Afroniyati/Gusdurian)

Sama seperti sertifikat halal, maka masyarakat produsen juga bisa mendapatkan sertifikat haram. Bagi produsen, sertifikat haram mempunyai beberapa peran penting. Pertama, sebagai pertanggungjawaban produsen kepada konsumen muslim, terkhusus di Indonesia yang mayoritas masyarakatnya muslim menunggu kepastian apakah makanan ini halal atau haram dengan memberikan labeling produk.

Mengingat masalah haram merupakan bagian dari prinsip hidup muslim; kedua, meningkatkan kepercayaan dan kepuasan konsumen ke sejumlah lembaga yang terlibat dalam persoalan halal haram suatu produk, yaitu Departemen Agama, Badan POM, dan MUI (Komisi Fatwa MUI, LPPOM-MUI), Departemen Pertanian tergabung dalam Komite Halal Indonesia (KHI). Sama seperti sertifikat halal, sepertifikat haram juga berlaku dua tahun dan dapat diperbaharui untuk jangka waktu yang sama. Setiap pelaku usaha yang telah mendapatkan sertifikat haram terhadap produknya mencantumkan keterangan atau tulisan haram dan nomor sertifikat pada label setiap kemasan produk. Selama masa berlaku sertifikat haram tersebut, perusahaan harus dapat memberikan jaminan bahwa segala perubahan baik dari segi penggunaan bahan, pemasok, maupun tekonologi proses hanya dapat dilakukan de-ngan sepengetahuan LPPOM MUI yang menerbit kan sertifikat halal. Jaminan tersebut dituang-kan dalam suatu sistem yang disebut Sistem Jaminan Halal (SJH). SJH dibuat oleh perusahaan berdasarkan buku panduan yang dikeluarkan oleh LPPOM MUI.

Sertifikat Haram, ini menjadi logika terbalik bagi MUI merespon tentang hanya label halal yang dikeluarkan lembaga teknis yang ditangani LP-POM MUI. Bagi konsumen, sertifikat haram memiliki fungsi. Pertama, terlindunginya konsumen muslim dari mengonsumsi pangan, obat-obatan dan kosmetika yang haram; kedua, secara kejiwaan perasaan hati dan batin konsumen akan tenang; ketiga, mempertahankan jiwa dan raga dari keterpurukan akibat produk haram; dan keempat, akan memberikan kepastian dan perlindungan hukum. Tujuan akhir dari sertifikasi haram adalah adanya pengakuan secara legal formal bahwa produk yang dikeluarkan telah nyata haram. Labelisasi haram adalah pencantuman tulisan atau pernyataan haram pada kemasan produk untuk menunjukkan bahwa produk yang dimaksud berstatus sebagai produk haram. Sertifikasi produk haram diberlakukan tidak hanya terhadap produk dalam negeri tetapi juga produk luar negeri. Mengenai produk yang bersertifikat haram dari lembaga sertifikat luar negeri, perlu diperhatikan bahwa tidak semua standar luar negeri atau internasional dapat diterapkan di Indonesia karena di Indonesia batasan yang paling ketat dan tidak dapat disaingi. Misalnya di luar negeri babi yang telah berubah menjadi X dapat menjadi tidak diharamkan lagi, sedangkan di Indonesia babi yang telah mengalami perubahan apapun tetaplah diharamkan.

Penulis adalah Dosen UMSU

Mahasiswa Pasca UIN Raden Fatah Palembang

Close Ads X
Close Ads X