Menanti Aksi Cepat Tanggap Kominfo dan KPI

Oleh : Salamun Nasution
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) beberapa waktu lalu melaporkan akun sosial media bernama Awkarin ke Kominfo. Pelaporan itu dikarenakan aktivitas akun tersebut dalam memposting sesuatu yang dianggap akan meracuni anak-anak. Hal yang ditakutkan KPAI jika terus dibiarkan adalah akan banyak dan juga tumbuh subur akun yang sama.

Sehingga seakan postingan tersebut dianggap hal yang biasa di Indonesia. Negara yang menjunjung tinggi identitasnya sebagai negara yang berbudaya. Postingan-postingan dari akun Awkarin berupa aktivitas user bersama kekasihnya. Pos­ti­ngan terbaru akun yang ju­­ga menjadi awal KPAI me­la­porkannya ke Kominfo berupa liburannya bersama sang ke­kasih.

Gaya berpacaran yang ia coba tunjukan merupakan gaya pacaran yang kebarat-baratan. Padahal mereka masih menyandang status sebagai pacar tetapi gaya pacarannya layaknya seperti suami isteri. Contohnya seperti di hotel ber­duan atau berjemur di pantai sambil berpelukan.

Jadi wajar jika KPAI menda­tangi Kominfo untuk melaporkan hal tersebut sebelum terlambat. Harus ada penindakan atau minimal peringatan. Apalagi ini berhubungan dengan dunia maya yang semua bebas untuk melihatnya. Mau dewasa, rema­ja bahkan anak-anak bisa me­lihatnya. Dan hal yang ditakutkan KPAI jika terus dibiarkan bisa saja terjadi. Apalagi saat ini anak-anak mudah terkontaminasi.

Yang sangat disayangkan hal ini malah luput dari perhatian Kominfo. Bahkan mereka ter­kesan tunggu pelaporan baru melakukan tindakan itupun jika didengarkan. Padahal di luar sana ratusan bahkan bertebaran ribuan akun yang bila diperhati­kan tidak mencerminkan budaya Indonesia yang sesungguhnya.

Hal ini seakan dibiarkan sehingga jangan heran jika karena media sosial orang-orang bisa saja berkelahi. Karena media sosial di indonesia tidak lagi bertujuan untuk mendekatkan yang jauh melainkan bertujuan mengum­bar kebencian aktivitas lainnya yang bahkan bisa menimbulkan provokasi.

Padahal dulunya Kominfo telah mengkampanyekan Inter­net positif. Segala situs yang berbau pornografi dan yang lainnya diblokir dan dijadikan kampanye internet sehat. Tapi sekarang semua sudah bebas kembali. Bukan hanya situs-situs atau konten-konten yang berbau pornografi tapi juga sosial media yang sudah kelewat batas. Orang-orang sekarang bebas memposting yang tidak seharusnya dikonsumsi oleh masyarakat.

Internet positif yang digagas belum sepenuhnya aktif. Se­lain itu Kominfo juga jarang mengadakan sosialisasi tentang penggunaan internet dan media sosial yang sehat. Akibatnya dua kerusuhan yang diakibatkan oleh media sebagai alat pro­vokasi sudah terjadi belum lama ini.

Pertama di Tanjung Balai dan Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Apakah hal tersebut belum membuka mata pemerintah? Minimal memantau akun-akun yang dapat merusak identitas Indonesia. Jangan sampai kebebasan yang di­berikan di dunia maya malah jadi kebablasan jika tidak diberi pengawasan.

Sama Tapi Beda
Serupa tapi tak sama atau sama tapi beda. Serupa ka­susnya tapi tak sama lembaga yang menanganinya. Jika yang menjadi sorotan KPAI adalah akun sosial media bernama Awkarin. KPAI juga mungkin belum membuka mata tentang apa yang terjadi di televisi. Padahal ini juga lebih bahaya ketimbang maslah sosial media. Karena televisi penyiarannya tak pernah berhenti.

Jika Awkarin kontennya hanya bi­sa dilihat dengan mengguna­kan in­­ter­net sehingga tidak semuanya bisa mengetahui hal tersebut. Tapi televisi tidak. Setiap rumah rata-rata memiliki te­­levisi. Dan setiap orang atau­­pun anak-anak pernah menghabiskan wak­tunya di depan televisi. Sa­yangnya mereka ditemani dengan siaran-siaran yang sudah mengarah ke penghancuran generasi dan identitas bangsa.

Lihatlah siaran televisi saat ini. mulai dari stasiun televisi berita, Sinetron, sampai ke Stasiun televisi yang seakan sudah kehilangan kewarganegaraan di­biarkan begitu saja mengudara. Pa­­dahal jika diperhatikan semua televisi saat ini sudah melanggar Undang-Undang Penyiaran dan juga standar penyiaran No 32 tahun 2002 dan juga Pedoman Prilaku Penyiaran dan Stan­dar Penyiaran Program Siaran (P3SPS).

Serupa tapi tak sama, KPI juga saat ini masih berdiam diri. Menunggu sesuatu terjadi baru bertindak bak pahlawan di siang hari. Padahal jika terjadi pelanggran di televisi ratusan bahkan ribuan mata telah me­lihatnya, jadi tak ada gunanya jika KPI melakukan teguran atau larangan tayang karena apa yang terjadi sudah keburu dikonsumsi. Selain itu, siaran-siaran nakal akan tetap beroprasi dengan berbagai cara yang dilakukan.

Dalam menyiarkan berita misalnya, sudah tak ada lagi perbedaan dimana kepentingan dan kebutuahan masyrakat. Mereka akan membela pemilik media yang merupakan orang politik. Selanjutnya televisi yang menyiarkan sinetron di waktu Prime Time.

Sinetron yang mengulas kehidupan remaja yang sangat berpengaruh. Sama seperti akun Awkarin, sinetron ini juga mempertontonkan kisah cinta remaja dengan adegan peluk-pelukan. Padahal KPI lagi sibuk-sibuknya sensor sana sonsor sini tapi adegan ini malah dibiarkan untuk dikonsumsi. Sehingga anggapan salah sensor pun terjadi.

Terakhir televisi yang sudah kehilangan “kewarganegaraan” televisi yang mulai dari pagi sampai malam mempertonton­kan drama dari luar. Saat ini stasiun televisi nasional sudah diatur untuk menyiarkan konten-konten daerah. Tidak hanya terpusat di ibukota saja.

Cepat Tanggap
Sekelumit masalah diatas hanya dibutuhkan aksi cepat tanggap dari kedua lembaga tersebu. Baik Kominfo dan juga KPI masih mempunyai tugas la­­ma yang juga belum terselesaikan. Ka­rena kedua lembaga ini be­r­hubungan dengan media mas­sa.

Tentunya kita tidak ingin melihat negara ini kehilangan Identitasnya. Identitas sebagai negara yang menjunjung ting­gi sopan santun, keramah-tamahan dan kebhinekaan. Tapi bagaiaman media yang menjadi pembelajaran akan hal tersebut malah menyiarkan sebaliknya dan juga malah memposting sebaliknya. Sehingga masyrakat sekarang sudah terkontaminasi dan mulai meninggalkan bu­dayanya sendiri.

Untuk Kominfo harusnya lebih aktif dalam memantau konten-konten ataupun akun-akun yang membawa pengaruh negatif bagi masyarakat Indonesia. Selain itu sosialisasi untuk menggunakan media sosial secara sehat harus digalakkan. Peraturan dunia maya juga harus jelas agar semua bisa teratur. Boleh bebas tapi jangan sampai bablas. Kita sebagai warga Negara Indonesia harus paham akan budaya kita. Harus mempertahankan budaya kita tanpa harus mencontoh budaya luar.

Untuk dunia penyiaran, KPI harusnya diberi senjata agar pemilik media bisa jera dan menaati peraturan yang sudah dibuat. Maka dari itu solusi paling jitu adalah dengan merevisi Undang-Undang penyiaran agar ada sanksi tegas bagi perusahan penyiaran yang melanggarnya. Jika seperti ini terus KPI hanya seperti lembaga yang diberi senjata tapi tak ada pelurunya. Sehingga cuma bisa menegur siaran tapi tak bisa menutup perusahaan penyiaran yang sudah melanggar.

Saatnyalah negara penyia­ran dan juga lembaga yang menangani dunia maya mem­berikan kerja yang terbaik de­mi terwujudnya masyarakat sehat. Yang tahu akan identitas bangsanya. Sehingga bisa mem­perkenalkan Indonesia ke luar dunia bukan bisanya hanya mengadopsi dari luar saja. ***
*)Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UMSU

Close Ads X
Close Ads X