Memuliakan Intelektual, Meyakini Kejujuran

Oleh : Dedy Kurniawan

Dunia pendidikan seharusnya menjadi ladang mendapatkan pahala bagi kaum-kaum intelektual. Tempat untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya dan menuai kejujuran. Apalagi yang dibimbing di sana bukan hanya kapasitas otak manusia tetapi sikap yang mengiri cara berpikir manusia itu sendiri.

Dunia akademik mestinya terlindung dari segala tipu muslihat kejahatan intelektual. Juga bisa menjadi pelindung dari bahaya yang menyerang jantung pendidikan, seperti ketidakjujuran, kebohongan, dan segala tipu muslihat.

Sudah sepatutnya kaum-kaum intelektual memuliakan intelektualitas tersebut. Ketidakjujuran hanya sebatas dahaga bagi kepentingan pribadi lalu meminggirkan martabat. Bahkan mengenyampingkan integritas. Sangat disayangkan apabila kebobrokan sema­cam itu menimpa dunia akademik di Ta­nah Air.

Anehnya, kejadian di dunia pendidikan tinggi beberapa waktu lalu meyakinkan kita bahwa kita tengah darurat tindakan plagiarisme. Persoalan memalukan ini sebenarnya sudah banyak terjadi di negeri ini. Tetapi yang mengherankan baru sekarang ini. kegiatan tersebut malah dipromotori oleh rektornya sendiri.

Terkuaknya praktir plagiarisme tesis program doktoral di lingkungan universitas negeri di Jakarta semacam memberi tamparan bagi dunia pendidikan di Indonesia.

Skandal berikutnya datang dari pengakuan mengejutkan Dwi Hartanto, seorang mahasiswa asal Indonesia yang beberapa waktu lalu mengaku sebagai ilmuan di bidang aerospace engineering dan menjadi assistant professor di TU Delft Belanda.

Setelah pujian diterimanya, terkuaklah kebohongan-kebohongan yang ia samarkan di prestasinya. Dwi ternyata hanya mahasiswa doktoral biasa di TU Delft, tanpa embel-embel prestasi yang seperti disuarakannya selama ini.

Postulat di kalangan akademisi jelas-jelas mengatakan ilmuan boleh salah, tapi tak boleh berbohong. Pernyataan demikian tentu dipahami seluruh kalangan akademisi. Tetapi karena keegoan pribadi me­reka mengenyampingkan hal tersebut.

Jangankan di Jakarta dan luar ne­geri, di Sumatera Utara, di Medan khu­sus­nya, praktik plagiarisme malah banyak menjamur di setiap celah-celah kam­pus. Yang sering kedapatan bukan di dalam skripsi tetapi dalam tulisan yang diter­bitkan sebuah media massa.

Acap kali kita menjumpai kasus demikian, pihak kampus malah diam tak tahu menahu kalau salah satu mahasiswanya melakukan kejahatan intelektual tersebut. Kasusnya pun berlalu begitu saja. Tanpa hukuman yang memberi efek jera kepada calon pelaku plagiarisme berikutnya.

Sikap semacam ini seolah memberikan ‘lampu hijau’ kepada iblis plagiarisme untuk terus menggoda hamba-hamba intelektual yang ‘lurus’ supaya mengikuti aliran mereka. Ironisnya, setiap tahun ada saja yang mengikuti jejak iblis plagiarisme.

Pihak kampus tentu diharapkan menjadi benteng pertahanan terakhir. Sebab lingkungan kampus adalah lingkungan akademis yang sesungguhnya. Tak bisa kita jumpai suasana akademis di warung nasi, warung kopi, pusat perbelanjaan dan sebagainya. Oleh sebab itu kampus hendaknya berperan aktif dalam memlindungi aset kampus maupun bangsa dalam hal intelektual.

Kampus yang abai terhadap persoalan semacam ini seharusnya ditutup saja. Karena pelaku kejahatan intelektual ini akan menciptakan regenerasi koruptor-koruptor di negeri ini. jangankan mengurusi negara, mengurusi dirinya sendiri bahkan harus membohongi dunia. Jika dikaji sejara agama, tanpa sadar dosa yang dilakukan begitu besar. Sebab banyak orang yang terkena kebohongan dari iblis plagiarisme.

Selain plagiarisme, yang harus dibumihanguskan adalah para pembuat skripsi atau lebih dikenal dengan istilah joki skripsi. Joki skripsi sangat banyak bertebaran di bumi kampus. Sebagian mereka ada yang bisa dideteksi keberadaannya. Tetapi ada pula yang sama sekali tak bisa diketahui lokasinya. Kejahatan joki skripsi dengan pelaku plagiarisme sebetulnya sama saja.

Kesamaan ini semakin mempermudah pihak kampus untuk menetapkan aturan yang dapat mengunci gerak-gerik mereka. Memang ini adalah tugas yang sangat berat. Tetapi jika kita ingin menjunjung tinggi nilai kemuliaan sebuah kejujuran, pastilah kita akan berusaha dengan maksimal.

Memuliakan intelektual sudah se­pa­­tutnya kita laksanakan, bahkan wa­jib hukumnya. Karena kita berada di lingkungan akademis. Dengan me­mu­liakan intelektual tentu pula kita akan meyakini kekuatan dari kejujuran.

Orang-orang banyak beranggapan bahwa peme­nang adalah orang-orang yang lang­sung mendapatkan nilai sempurna. Pada­hal puncak dari segala kesuksesan ada­lah bagaimana ia meyakini sebuah proses.

Karena jika proses dijalani dengan baik, hasil tak akan berdusta. Hasil selalu memberikan kepuasan tersendiri. Apa­bila gagal maka ia akan memperbaiki pro­ses. Mari kaum intelektual secara ber­sama memberantas iblis plagiarisme. Ten­tu, Berbahagialah orang-orang yang men­cintai proses.

*)Penulis adalah alumnus UMSU. Pegiat literasi di FOKUS UMSU dan RUMMBA Tanjungbalai.

Tinggalkan Balasan

Close Ads X
Close Ads X