Memolisikan Masyarakat

Oleh : Hidayat Banjar

Memasuki 71 usia Polri, konsep promoter (profesional, modern dan terpercaya) yang dicetuskan Tito Karnavian perlu diakselerasikan agar upaya perlindungan bagi seluruh rakyat Indonesia membumi. Jenderal Polisi Tito Karnavian yang dilantik Presiden Joko Widodo pada 13 Juli 2016 dengan konsepnya diaykini akan membawa “wajah” polisi yang lebih humanis.

Rasa aman dan nyaman adalah kunci keberhasilan sebuah negara dalam menjalankan roda pemerintahan menuju pulau kebahagiaan. Sebagai sosok polisi yang berpikir dan berbuat, Tito sadar, Polri memiliki keterbatasan sumber daya internal.

Di luar persoalan dukungan anggaran dan sarana prasarana, ketersediaan jumlah personil Polri secara keseluruhan belumlah optimal. Rasio polisi dan masyarakat berdasarkan data 2014 ialah 1:575.

Padahal rasio ideal menurut PBB ialah 1:300. Karena itu, partisipasi melalui sistem atau jaringan kemitraan antara polisi dan masyarakat merupakan strategi utama dalam menjaga kamtibmas.

Inisiatif ini telah lama dirintis melalui Surat Keputusan Kapolri No 737/2005 tentang penerapan perpolisian modern yang dikenal dengan community policing atau Pemolisian Masyarakat (Polmas). Polmas mewadahi pranata sosial yang berkembang di masyarakat seperti siskamling (sistim keamanan lingkungan).

Penelitian lapangan yang dilakukan rekan-rekan polisi terhadap FKPM-FKPM menunjukkan beberapa fakta menarik. Di tengah berbagai keterbatasan yang ada, Polmas ternyata berfungsi efektif dalam membantu penyelesaian perkara tindak pidana ringan di masyarakat.

Selain itu, temuan di lapangan menunjukkan bahwa Polmas menjadi media efektif untuk memperoleh masukan masyarakat tentang potensi gangguan kamtibmas di wilayahnya.

Melalui ketentuan ini, infrastruktur Polmas diperluas melalui pilar kemitraan di tingkat desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, hingga provinsi. Bahkan, Polri dalam Rencana Strategis 2015-2019 berkomitmen menggelar Bhabinkamtibmas, yaitu aparat pengemban Polmas di 81.711 desa dan kelurahan se-Indonesia, guna meningkatkan kemampuan deteksi dini terhadap gangguan kamtibmas. Tantangan ke depan bagi penerapan Polmas bagaimana memperkuat partisipasi masyarakat melindungi diri sendiri.

Victimologi
Hal ini sejalan dengan ilmu victimologi, kajian tindak kejahatan dalam perspektif korban, agar kita (masyarakat) tidak jadi korban kejahatan. Dalam pada itu, reaksi dari aksi kejahatan tidaklah muncul dalam bentuk hukum rimba alias pengadilan jalanan seperti membakar dam mengeroyok pelaku tindak kriminal hingga tewas. Tindakan ini sama artinya dengan kejahatan dilawan kejahatan.

Yang dimaksud dengan korban dan yang menimbulkan korban dapat berupa individu, kelompok, korporasi, swasta atau pemerintah. Sedangkan yang dimaksud dengan akibat penimbulan korban adalah sikap atau tindakan terhadap korban dan atau pihak pelaku serta mereka yang secara langsung atau tidak terlibat dalam terjadinya suatu kejahatan.

Dalam kamus ilmu pengetahuan sosial disebutkan bahwa victimologi adalah studi tentang tingkah laku victim sebagai salah satu penentu kejahatan.

Pendapat Arif Gosita mengenai pengertian victimologi ini sangat luas, sebab dan kenyataan sosial yang dapat disebut sebagai korban tidak hanya korban perbuatan pidana (kejahatan) saja tetapi dapat korban bencana alam, korban kebijakan pemerintah dan lain-lain.

Dalam konteks ini, korban (victim) kita batasi sebagai perbuatan manusia, baik dari sisi si korban maupun pelaku yang menimbulkan korban. Dengan demikian kajiannya jadi lebih terarah.

Korban akibat perbuatan manusia dapat menimbulkan tindak kriminal misalnya: korban kejahatan perkosaan, korban kejahatan politik. Yang bukan bersifat kriminal (perbuatan perdata) misalnya korban dalam bidang administratif, dan lain sebagainya.

Dalam kajian victimolotogi, terjadinya tidak kejahatan, sesungguhnya tidak semata-mata karena adanya niat dari pelaku, juga kesempatan. Misalnya, seorang wanita yang tergoda pria ganteng, wangi dan terkesan kaya. Lalu sadar atau tidak, si wanita dengan sukarela menyerahkan kegadisan, harta dan segalanya kepada pria ganteng, wangi dan terkesan kaya tersebut.

Menutup Kesempatan
Agar peristiwa sebagaimana yang dialami wanita tersebut tidak terulang lagi, maka para calon korban – kajian victimologi – dapat menghindar dengan tidak membuka kesempatan. Kerap kali niat jahat dapat dipatahkan dengan menuntup (kesempatan).

Seacara sederhana dapat dikatakan, kajian victimologi bertujuan menjadikan diri masyarakat sebagai polisi yang bisa menjaga dan menghindarkan diri dari bahaya kejatan. Kajian victimologi pun bertujuan membentuk masyarakat menaati peraturan.

Upaya represif dengan menangkap setiap masyarakat bersalah yang dilakukan oleh polisi sesungguhnya tidaklah akan menyelesaikan masalah. Tidak sedikit orang yang sudah dipenjarakan setelah bebas kembali lagi meringkuk di tahanan. Ini artinya upaya penahanan bukanlah penyelesaian sebuah masalah.

Setidak-tidaknya, ada beberapa cara untuk memutus rantai kejahatan ini. Pertama, polisi lebih banyak berpatroli. Peningkatan frekuensi patroli minimal bisa mempersempit ruang gerak terjadinya kejahatan.

Patroli bisa makin diintensifkan di derah-daerah yang rawan tindak kejahatan, minimal di tempat yang biasa muncul aksi kejahatan itu. Bisa pula menerjunkan sniper. Kini saatnya untuk menerjunkan mereka, selain melibatkan reserse berpakaian sipil.

Kedua, mengintensifkan polmas atau pemolisian masyarakat. Polisi harus mengajak masyarakat supaya bisa menjadi “polisi bagi diri sendiri” tanpa harus berarti main hakim sendiri. Bila pola itu makin melembaga, anggota masyarakat secara individu dapat melakukan cegah tangkal kejahatan.

Ketiga, mengeluarkan imbaun kepada pengendara sepeda motor supaya menghindari lewat di jalan-jalan sepi, terutama pada malam hari. Selain itu, lebih mengaktifkan patroli di wilayah polsek yang rawan terjadinya tindak kejahatan. Tidak bisa dimungkiri di masing-masing polsek terdapat daerah rawan, dan ini perlu diantisipasi.

Keempat, memberantas peredaran miras. Sebagian pelaku biasanya mengonsumsi miras sebelum beraksi dengan tujuan supaya mereka merasa lebih berani.

Kelima, membuka hotline supaya masyarakat cepat melapor bila melihat bibit kejahatan di wilayahnya.

Keenam, mengaktifkan ronda di lingkungan yang rawan terjadi tindak kejahatan. Semoga.

*) Penulis dosen dan sastrawan.

Close Ads X
Close Ads X